Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MARKAS GARAM
Waktu: 11.00 WIB.
Lokasi: Kawasan Sayangan, Ruko Tua Eks-Gudang Garam.
Isuzu Elf milik Mang Yanto berhenti mendadak di depan deretan ruko tua bergaya kolonial yang cat dindingnya sudah mengelupas parah, menampilkan batu bata merah yang ditumbuhi lumut hitam. Kawasan Sayangan di siang hari terasa sibuk dengan aktivitas pasar, namun ruko nomor 13 itu seolah memiliki zona sunyinya sendiri.
"Turun sini yo, Pak, Bu," kata Mang Yanto buru-buru. Dia bahkan tidak mematikan mesin. Matanya melirik gelisah ke arah pintu rolling door besi yang penuh karat itu. "Sayo dak berani lamo-lamo parkir depan gudang ini. Angker. Uji kabar, tiap malam jumat ado suaro wong nyinden sambil nangis."
Tanpa menunggu uang kembalian atau basa-basi "semoga selamat sampai tujuan", Mang Yanto tancap gas begitu Pak Tio menurunkan koper besinya. Debu knalpot mengepul, meninggalkan dua agen negara itu berdiri di trotoar yang panas.
Larasati memandang bangunan itu dengan skeptis. Di atas pintu, masih tergantung papan nama kayu yang sudah lapuk, nyaris tak terbaca: TOKO GARAM & HASIL BUMI: CAP DUA IKAN.
"Ini Markas Daerah kita, Pak?" tanya Larasati, menahan napas karena bau got yang menyengat dari selokan di dekat kaki mereka. "Ini lebih mirip rumah hantu di pasar malam daripada Safe House Deputi VII."
"Justru itu poinnya, Ra. Tingkat kamuflase level 5. Tidak ada yang curiga," jawab Pak Tio santai.
Dia tidak mencari kunci. Pak Tio hanya menempelkan telapak tangannya yang kapalan ke permukaan pintu besi yang panas terpanggang matahari. Bukan mengetuk, tapi menyalurkan sedikit getaran tenaga dalam—sebuah kunci sonik manual.
KLAK. GREK.
Kunci grendel di bagian dalam terbuka sendiri. Pak Tio mengangkat rolling door yang berat itu dengan satu tangan, menciptakan suara besi beradu yang memekakkan telinga.
Begitu pintu terbuka, bau itu langsung menyergap keluar.
Bukan bau got, bukan bau sampah. Itu adalah bau apek yang khas, bercampur dengan aroma asin yang sangat tajam dan menusuk hidung. Udara di dalam sana terasa kering dan padat, seolah partikel garam di udara menyerap semua kelembapan—dan suara.
"Masuk," perintah Pak Tio. "Dan jangan sentuh dinding kalau tidak mau kulitmu gatal."
Mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan. Larasati menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya putih menyorot lantai ubin tegel kuno yang tertutup lapisan debu putih halus.
"Gudang Garam," gema suara Pak Tio terdengar lebih berat di ruangan ini. "Garam adalah kristal penolak bala alami paling tua. Residu garam yang meresap ke pori-pori tembok ini selama lima puluh tahun menciptakan barrier alami. Setan, jin, demit, atau Saka liar tidak akan betah masuk ke sini. Bagi mereka, udara di sini terasa membakar."
Larasati mengangguk, mulai paham logika di balik pemilihan lokasi yang buruk rupa ini.
Senter Larasati menyapu ruangan lebih jauh. Meja kerja dari kayu ulin tua yang kokoh, peta kuno Palembang yang tertempel miring di dinding dengan paku berkarat, dan tumpukan karung goni di sudut.
CKLEK.
Suara pemantik api terdengar tajam dari sudut ruangan yang paling gelap.
Seberkas nyala api kecil dari korek gas menyala, menerangi wajah keriput seseorang, lalu membakar ujung rokok kretek. Asap berbau cengkeh mengepul, bercampur dengan aroma garam.
"Matikan lampumu, Nona. Silau," suara pria itu serak, seperti gesekan pasir di atas kaca.
Larasati reflek menurunkan ponselnya. Matanya mulai beradaptasi dengan keremangan.
Di atas tumpukan peti kayu, duduk seorang pria tua. Dia kurus, kulitnya cokelat gelap terbakar matahari dengan otot-otot liat seperti akar pohon bakau. Dia hanya mengenakan kaos oblong putih tipis yang sudah melar, sarung motif kotak-kotak yang dikalungkan di leher, dan peci hitam yang miring ke kiri.
Kapten (Purn.) Burhanuddin. Atau dikenal di dunia bawah tanah Palembang sebagai Datuk Burhan.
"Kau datang bawa masalah, Tio," kata Burhan tanpa menoleh, matanya terpejam menikmati hisapan rokok pertamanya. "Sungai Musi sudah 'demam' tiga hari ini. Ikan-ikan pada mati dengan mata melotot. Arus bawahnya gelisah."
Pak Tio meletakkan koper besinya di atas meja ulin dengan bunyi BUM yang berat, membuat debu di meja beterbangan. Dia menatap mantan rekan satu peletonnya itu dengan tatapan datar.
"Dan kau cuma duduk ngopi di sini sambil merokok, Burhan? Mana laporan intelijenmu? Jakarta butuh data taktis, bukan dongeng ikan mati."
Burhan terkekeh pelan. Suara tawanya kering. Dia melompat turun dari peti kayu dengan gerakan yang aneh—terlalu ringan, tanpa suara langkah kaki, seolah dia tidak memiliki bobot tubuh.
"Laporanku ditolak server Jakarta," jawab Burhan santai, berjalan menuju meja dan menuangkan kopi hitam pekat dari teko lurik ke dalam gelas belimbing. "Katanya format file-nya salah. Lagipula, kuota internet kantor habis kemarin sore. Belum diisi."
Larasati menepuk jidatnya. Birokrasi dan kuota internet. Musuh terbesar intelijen negara.
"Ini Larasati," Pak Tio menunjuk dengan dagunya. "Anak baru. Lulusan terbaik, tapi belum pernah lihat hantu air."
Burhan menatap Larasati. Matanya tajam, hitam pekat, seolah bisa melihat menembus seragam dinas Larasati hingga ke tulang rusuknya. Larasati merasa merinding, nalurinya mengatakan orang tua ini berbahaya.
"Anak muda," sapa Burhan, lalu menyodorkan gelas kopi itu pada Pak Tio. "Selamat datang di rawa. Hati-hati, jangan berdiri terlalu dekat di pinggir sungai. Nanti ditarik."
"Terima kasih atas peringatannya, Pak," jawab Larasati formal.
Burhan beralih ke peta kuno di dinding. Dia mengambil spidol merah yang tintanya sudah macet, lalu melingkari area di sekitar Pulau Kemaro dengan kasar.
"Musuhmu bukan cuma hantu, Tio," kata Burhan, nadanya berubah serius. Rokok di bibirnya bergerak naik turun saat dia bicara. "Bayangga... mereka sudah menyuap 'penjaga-penjaga kecil' di darat. Preman pelabuhan, jawara bayaran, sampai siluman air rendahan sudah dibayar pakai tumbal."
Jari telunjuk Burhan yang kasar menunjuk ke tengah sungai.
"Tapi di sini... di kedalaman ini, mata batinku buta."
"Buta?" tanya Pak Tio, menyeruput kopinya.
"Ada yang memblokir. Bukan sihir. Tapi alat. Semacam... dengungan mesin yang bikin sakit kepala kalau aku mencoba 'melihat' ke sana secara batin. Pasti teknologi canggih milik Bayangga. Mereka membangun sesuatu di bawah sana."
Larasati mencatat cepat di tabletnya. Interferensi sinyal spiritual. Kemungkinan base bawah air.
"Lalu, apa persiapan kita?" tanya Pak Tio.
Burhan tersenyum lebar, memamerkan gigi yang kecokelatan karena tembakau. Dia berjalan ke sudut ruangan lain, menyingkap kain terpal kumal dengan gaya teatrikal.
"Ini aset terbaik yang bisa kusiapkan dengan anggaran nol rupiah," katanya bangga.
Larasati menjulurkan leher, berharap melihat tumpukan senjata api ilegal atau minimal rompi anti peluru.
Tapi yang ada di sana hanyalah tiga buah tombak trisula yang berkarat parah, sebuah jala ikan yang terlihat rapuh, dan beberapa bilah parang yang gagangnya sudah retak diikat karet gelang.
"Jala ini ditenun pakai campuran benang sutra dan kain kafan tujuh orang yang mati tenggelam," jelas Burhan antusias, membelai jala itu. "Sangat efektif buat nangkep tuyul air. Dan trisula ini... kalau kena kulit, tetanunya lebih mematikan daripada racun kobra."
Larasati menatap horor tumpukan barang rongsokan itu. Dia menoleh ke Pak Tio, wajahnya pucat.
"Pak," bisiknya. "Kita... kita mau perang lawan organisasi kriminal internasional yang punya teknologi manipulasi cuaca... pakai rongsokan ini? Ini melanggar SOP K3!"
Pak Tio tidak menjawab. Dia hanya menggeleng pelan, meletakkan gelas kopinya, lalu meletakkan tangannya di atas koper besi hitam yang dia bawa dari Jakarta.
"Biar kearifan lokal urusan Burhan," kata Pak Tio dingin. "Urusan pembantaian, biar jadi bagianku."
KLIK. PSSSSHHH.
Pak Tio menekan kode biometrik. Koper besi itu terbuka dengan desisan hidrolik yang futuristik, kontras dengan suasana gudang yang kumuh. Uap dingin nitrogen tipis keluar dari sela-sela koper.
Di dalamnya, tersusun rapi komponen-komponen logam berwarna perak matte yang berkilau jahat. Ada laras senapan panjang dengan tabung kaca berisi cairan biru menyala, dan beberapa butir peluru seukuran lengan bayi yang terbuat dari kristal garam murni.
"Meriam Garam Tipe-4. Modifikasi khusus untuk target non-fisik," gumam Pak Tio. Tangannya bergerak cekatan, merakit laras senjata itu. Bunyi klik-klak logam presisi mengisi ruangan gudang yang apek itu, terdengar seperti musik kematian.
Datuk Burhan bersiul kagum. "Wah, boleh juga oleh-oleh dari Jakarta. Bisa buat meledakkan kepala Naga, tuh."
Pak Tio mengokang senapan futuristik itu. Suaranya berat dan mengancam. Matanya menatap tajam ke arah peta Sungai Musi, seolah dia siap menembak peta itu sekarang juga.
"Burhan, seduh kopi satu teko lagi," perintah Pak Tio. "Kita akan begadang malam ini. Tamu kita sudah mulai main air."
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit