Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Reruntuhan dan Luka Mendalam
Tombak energi ungu itu melesat dengan kecepatan yang tak bisa dihindari mata biasa. Udara terbelah, tanah di sekitar Yanzhi bergetar hebat.
Namun sesaat sebelum tombak itu menembus dada, cahaya perak meledak dari tubuh Yanzhi.
ZRRRHHH!!
Tubuhnya terangkat lagi. Sorot matanya berubah tenang, tajam, dan penuh kewaspadaan.
Tangan kanannya diangkat cepat dengan gerakan tegas, jari-jarinya mengepal lalu terbuka dengan presisi membentuk lingkaran energi yang berputar deras. Udara di depannya bergetar hebat, suhu turun drastis seketika.
Tombak itu menghantam perisai tak kasatmata dan hancur berkeping.
Sosok berjubah hitam itu terdiam, lalu bergumam pelan, "Kau… benar-benar bangkit."
Yanzhi orang yang mengendalikan tubuhnya, menatap lurus ke depan. "Kau menyimpan sisa kekuatan dari Selatan yang lama. Bau darah dan dendam… menjijikkan seperti biasa."
"Mulutmu masih sombong."
"Kau masih hidup rupanya. Kupikir dulu kami sudah menguburmu bersama pasukanmu di dasar lembah merah."
"Dan kini aku kembali… untuk menyelesaikan yang belum selesai."
Yanzhi melayang turun ke tanah. Gerakannya ringan tapi penuh tekanan. Tanah di bawah kakinya retak.
"Sayangnya, tubuh ini belum stabil. Jadi mari kita percepat saja," gumamnya, kemudian mengangkat dua jari dan menggoreskan simbol perak di udara.
Seketika, langit di atas mereka retak seperti kaca. Cahaya perak menyembur keluar, membentuk segel raksasa yang berputar pelan.
Sosok berjubah hitam mengangkat kedua tangannya, menciptakan dinding hitam pekat. Tapi cahaya perak itu turun, menembus kegelapan seperti pisau panas menembus lilin.
BRAAKK!!
Ledakan dahsyat mengguncang sisi gunung. Awan debu membumbung, pohon-pohon tercabut, dan tanah terbelah.
Ketika semuanya mereda, sosok berjubah itu terdorong jauh ke belakang, jubahnya hangus terbakar. Tapi ia masih berdiri, meski lututnya gemetar.
"Roh tua… kekuatanmu belum hilang."
"Tapi tubuh ini tak bisa menahan lama," bisik Yanzhi dalam hati, kini ia sadar, ia melihat segalanya dari balik matanya sendiri.
"Apa yang akan terjadi kalau aku tak kuat lagi menahanmu?"
"…Maka tubuh ini akan hancur. Kau akan mati. Dan aku… kembali tertidur. Atau ikut musnah bersama."
Yanzhi menggertakkan giginya. "Lalu kenapa kau bantu aku sekarang?"
"Hanya karena aku lebih benci dia dibanding aku benci kau."
Sosok berjubah itu mendesis, lalu mundur beberapa langkah. Matanya yang merah menyala kini mulai meredup.
"Kita akan bertemu lagi… ketika tubuhmu mulai runtuh oleh kekuatannya sendiri."
Lalu ia menghilang, menyatu ke dalam kabut yang kembali menyelimuti hutan.
Yanzhi jatuh terduduk, tubuhnya kembali ke kendali. Napasnya terengah, peluh dingin mengucur deras.
"…Aku hidup," bisiknya, hampir tak percaya.
Suara itu bergema pelan dalam kepalanya, lebih tenang dari sebelumnya. "Untuk sekarang."
Yanzhi memejamkan mata, mencoba meredakan detak jantungnya yang memburu.
Ia tahu, ini baru awalnya saja.
Setelah pertempuran itu usai dan kabut mulai menghilang, Yanzhi terengah-engah, duduk bersandar pada batang pohon. Tubuhnya masih terasa berat… bukan hanya karena luka, tapi karena keberadaan yang terus menempel dalam dirinya.
"Jawab aku satu hal," katanya lirih, tapi tegas. "Gimana caranya kau bisa keluar dari tubuhku?"
Tak ada jawaban.
Yanzhi menoleh, menatap lurus ke depan. "Kau dengar, kan? Aku gak mau terus seperti ini. Aku nggak tahu siapa kau, dan aku nggak peduli seberapa kuat kau. Aku cuma… ingin jadi diriku sendiri."
Jawabannya datang dengan lambat.
"…Aku tidak tahu."
Alis Yanzhi berkerut. "Kau tahu tentang banyak hal. Makhluk spiritual, medan pertempuran kuno, bahkan nama-nama yang tak pernah kudengar. Tapi untuk satu hal ini… kau tiba-tiba tidak tahu?"
"Aku tidak berbohong," sahutnya lirih. "Aku tidak tahu… atau mungkin telah melupakannya. Ikatan ini terbentuk dalam keadaan yang tidak sepenuhnya kusadari."
Yanzhi berdiri. Tangannya mengepal, dan napasnya sedikit gemetar.
"Tubuh ini milikku. Hidup ini milikku. Kau mungkin telah menyelamatkanku… tapi kau juga mengambil kebebasanku."
Tak ada jawaban. Hanya sunyi yang menjalar di antara mereka.
"Aku akan kembali ke Klan Langyun," lanjut Yanzhi. "Tetua Klan pasti tahu cara menghapus ikatan semacam ini."
Masih tak ada suara. Tapi Yanzhi tak peduli. Ia telah memutuskan.
Yanzhi mengerutkan kening, suaranya mulai meninggi dengan kesal.
"Aku tidak mau gara-gara roh ini masuk ke tubuhku, aku jadi incaran musuh-musuh yang bahkan aku tidak tahu siapa mereka!
Aku tidak siap menghadapi bahaya yang datang dari kegelapan yang aku tak mengerti!"
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi ketegangan masih jelas terasa.
"Kau pikir aku bisa hidup tenang jika terus dibayang-bayangi ancaman yang kau bawa? Aku ingin bebas dari semua ini, hidup seperti dulu, tanpa beban atau ketakutan."
Yanzhi menatap kosong ke depan, lalu menambahkan dengan suara berat:
"Kalau tidak ada jalan keluar, aku harus mencari sendiri. Aku tidak mau terus-terusan jadi korban dari sesuatu yang bahkan bukan pilihanku."
Roh itu terdiam sejenak, kemudian suaranya keluar pelan, penuh kegetiran.
"Aku mengerti ketakutanmu. Aku pun terperangkap dalam ikatan ini, tidak lebih bebas darimu."
Tak ada balasan dari Yanzhi. Hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.
Lalu, perlahan, ia berdiri. Menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah meninggalkan hutan dengan langkah pasti meski tubuhnya masih lelah. Kabut yang tersisa di antara pepohonan semakin menipis, memberi jalan terang menuju dunia luar.
Setiap langkah membawanya semakin dekat ke Klan Langyun, tempat yang ia harapkan bisa memberi jawaban dan harapan. Namun, di dalam hatinya, kecemasan tetap bergelayut, membayangi setiap pikiran.
Angin dingin menyapu wajahnya saat ia memasuki jalan setapak yang mengarah ke markas klan, di mana rahasia… dan mungkin penyelamatannya… menanti.
......................
Setelah menembus kabut terakhir di antara pepohonan, Yanzhi akhirnya berdiri di depan gerbang besar Klan Langyun. Matahari sore mulai merunduk di balik bukit, mewarnai langit dengan warna kemerahan yang suram.
Namun pemandangan yang menyambutnya jauh dari harapan.
Gerbang klan terbuka lebar, tapi sepi. Tidak ada penjaga yang menyambut, tidak ada suara aktivitas seperti biasanya.
Langkah Yanzhi terhenti saat matanya menangkap sosok terkapar di depan gerbang dua penjaga klan, tubuh mereka penuh luka, napas tersengal tapi sekarat.
"Kakak senior Lei…?" Suaranya bergetar, penuh ketidakpercayaan.
Ia bergegas mendekat, mencoba menggerakkan tubuh mereka, memanggil dengan suara panik, "Bangun! Bangunlah! Katakan apa yang terjadi…"
Namun mata para penjaga itu sudah kosong, hanya ada keheningan yang mencekam.
Yanzhi menelan ludah, dadanya sesak. Ia menunduk, menyentuh tangan dingin salah satu penjaga.
"Kenapa... kenapa ini bisa terjadi? Klan… klan kita…" pikirnya berputar liar, rasa takut dan bingung mulai merayap ke dalam dada.
Namun belum ada jawaban.
Dengan langkah berat, ia memasuki gerbang klan yang kini sunyi dan rusak, mencoba menahan rasa sakit yang mengoyak hatinya. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah dan ini baru permulaan.
Yanzhi berdiri terpaku sesaat, menatap sekeliling yang sunyi dan hancur. Bangunan megah klan Langyun yang dulu berdiri kokoh kini hancur berantakan, sebagian besar dinding batu dan pilar-pilarnya runtuh, sementara asap tipis masih mengepul dari reruntuhan. Aroma darah dan debu memenuhi udara, mengiris hidungnya.
Ia mengerutkan dahi, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia mendengar suara tawa atau langkah kaki di sini. Kini hanya ada kehampaan.
Langkahnya berat menuju halaman tengah, di mana seharusnya para tetua dan anggota klan berkumpul.
Tiba-tiba, suara dalam pikirannya kembali muncul.
"Apa klanmu punya musuh? Yang cukup berani menyerang ke inti wilayah seperti ini?"
Yanzhi diam sejenak. Ia menelan ludah. "Tidak… kami tak pernah terlibat konflik besar. Klan ini hidup damai sejak dulu…"
Ia menatap sekeliling lagi.
"Siapa yang bisa melakukan ini…"
"Kalau ini bukan perang… maka mereka datang memang untuk menghabisi. Tanpa sisa."
Yanzhi menggeleng lemah. "Tapi kenapa… semua dibunuh…"
"Semua… kecuali kau."
Yanzhi terdiam.
Langkah Yanzhi terhenti di ambang aula utama. Cahaya matahari sore menyelinap masuk melalui celah reruntuhan, menyinari pemandangan yang membekukan darah.
Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak berserakan. Para sesepuh... wajah-wajah yang ia lihat setiap hari, sekarang diam, kaku, membeku dalam kematian yang mengenaskan.
"Tidak… ini…" gumamnya, suaranya nyaris tak keluar.
Ia melangkah maju, lututnya lemas, matanya menyapu seisi ruangan, berharap menemukan satu saja yang masih bernapas.
Namun semuanya sama. Luka-luka menganga, darah mengering, dan keheningan yang menyesakkan.
"Tidak mungkin…" napasnya memburu. "Semua orang…"
Suara di tenggorokannya tercekat, dadanya sesak. Tangannya gemetar saat ia berjalan melewati satu per satu tubuh, menatap wajah-wajah familiar yang tak lagi hidup.
Yanzhi nyaris tak sanggup berdiri lagi, lututnya menghantam lantai dingin aula, tubuhnya berguncang hebat. Tapi saat matanya menatap ke sudut ruangan, sesuatu membuatnya terhenti.
Di antara tumpukan tubuh yang tak bergerak, ada satu yang masih... bergerak lemah.
Matanya melebar. "Tetua Yu?"
Ia bergegas merangkak mendekat, lututnya menyeret lantai yang berlumuran darah. Tangannya menyentuh bahu Tetua Yu hangat. Masih hidup.
"Tetua…? Aku di sini… aku Yanzhi!" suaranya gemetar, ia menepuk perlahan wajah yang penuh luka itu.
Kelopak mata Tetua Yu terbuka sedikit. Pandangannya sayu, napasnya pendek dan berat. Darah menetes dari sudut mulutnya, tapi masih ada kesadaran yang samar.
"…Yanzhi…" suara itu lirih, nyaris tenggelam. "Kau… selamat…"
Yanzhi mencengkeram tangannya. "Aku… aku tidak tahu kenapa semua ini terjadi… siapa yang melakukan ini? Siapa yang..."
Sebelum Tetua Yu sempat menjawab, roh dalam tubuhku berbicara lagi dengan tenang, tapi tajam, seolah tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
"Luka ini… bukan luka biasa."
"Sayatan panjang… dalam... ditarik ke bawah. Teknik seperti ini tidak umum. Ini bukan kerja bandit biasa."
Yanzhi memandang luka-luka di tubuh Tetua Yu, dan baru menyadari: luka itu rapi. Bukan bacokan membabi buta. Tapi seperti sabetan yang terlatih.
"Mereka tahu apa yang mereka lakukan… ini pekerjaan seseorang yang ahli. Mungkin… pembunuh dari aliran seni bela diri tingkat tinggi."
Yanzhi menggigit bibir, menahan gejolak emosi yang kembali naik. "Apa… klan kita punya musuh sebesar itu… sampai-sampai—"
Tetua Yu tiba-tiba menggenggam tangannya lebih kuat, sisa tenaga terakhir yang ia miliki. Bibirnya bergerak, pelan.
Tetua Yu mengerang, suaranya sangat lemah.
"Mereka… bukan datang untuk kita… mereka mencari sesuatu… yang tidak kita punya…"
Yanzhi terdiam. "Maksudmu apa?"
"Inti… sesuatu yang… tersembunyi… di antara kita…"
Napas Tetua Yu mulai berat. "Kami… tidak pernah tahu… siapa… yang memilikinya…"
Matanya perlahan tertutup. "…mereka menyangka kita menyembunyikannya…"
Hening.
Lalu suara itu muncul lagi dari dalam kepala Yanzhi. Tenang, tapi dingin.
"Jika yang mereka cari benar-benar tersembunyi di klanmu… dan tak seorang pun di antara kalian mengetahuinya…"
"…maka itu berarti sesuatu yang bahkan mereka sendiri… tak sadar sedang mereka lindungi."
Yanzhi memandangi para korban, jantungnya berdetak tak karuan.
"Dan sekarang… mungkin kau satu-satunya yang tersisa… yang membawa kunci dari segalanya…"
Yanzhi menggigit bibir, dadanya terasa sesak.
Tapi roh itu tak berkata lebih. Hanya diam, seakan tahu lebih banyak… tapi memilih menunggu saat yang tepat.
...****************...