Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30.
“Mas Pungki, cepat masuk mobil!” teriak suara Andien, kepala nya menyembul dari dalam mobil dengan wajah tegang.
Pungki menoleh. Ia cepat cepat melangkah, langkahnya terburu buru menapaki tanah yang masih lembap oleh embun pagi hari.
“Wind, kamu kenapa?” gumamnya dalam hati. Ia menunggu suara imut itu muncul seperti biasa.. namun hening. Tidak ada sahutan. Padahal ia bisa merasakan sesuatu di punggungnya… semacam beban ringan, padahal ranselnya sudah ia letakkan di bagasi.
Sunyi.
Hanya desau angin yang melintas di telinganya.
Dengan dada berdebar, Pungki masuk ke mobil yang mesinnya sudah menyala. Dari sudut mata, ia melihat Ndaru dan Syahrul duduk di belakang sopir, sementara Ningrum, Fatima, dan Andien di kursi paling belakang. Seperti biasa, Pungki duduk di depan, di samping kemudi.
Namun begitu ia mendudukkan tubuh, ada sesuatu yang berat di pangkuannya.
Dia menunduk cepat.. tidak ada siapa siapa.
Dan suara Windy tetap tidak terdengar.
Bulu kuduknya langsung berdiri.
“Jangan jangan… yang menempel di tubuhku sekarang bukan Windy…” bisik batin nya ngeri.
Mobil mulai bergerak perlahan, meninggalkan halaman rumah Pak Hasto yang tertelan bayang bayang kabut pagi.
“Mas Pungki nyari apa sih?” suara Andien tiba tiba memecah keheningan. “Aku lihat tadi Mas Pungki serius banget natap Mbak Anisa. Suka, ya? Kagum, ya? Hati hati, Mas, aku nggak mau lagi disandera Sang Ratu sama Sang Pangeran!” Nada suaranya terdengar setengah cemburu, setengah takut.
Fatima menimpali dengan tawa kecil. “Ah, jangan cemburu, Ndien. Sudah pasti Mbak Anisa yang jadi pengantin wanitanya.”
Pungki menghela napas. Tatapannya kosong menembus jendela yang gelap.
“Aku tadi mau bilang sesuatu ke Mbak Anisa… tapi nggak jadi. Di belakang tubuhnya ada jin kerajaan.” suaranya pelan, hampir seperti desahan.
“Hah?!” serempak mereka berteriak, kecuali Syahrul yang tetap diam. Pak sopir bahkan sempat menoleh cepat dengan ekspresi kaget.
“Sang Ratu tidak mau pernikahan anaknya gagal lagi,” kata Syahrul lirih. “Dia kirim jin kerajaan untuk melindungi Mbak Anisa.”
Syahrul menatap Pungki lewat kaca spion. “Ada apa kamu Pung mencari Mbak Anisa?” tanya Syahrul kemudian..
“Mau minta tolong agar bisa membantu Windy, kasihan dia. Dan entah sekarang dia di mana, aku tidak melihat dan mendengar suaranya. Tapi kalau Mbak Anisa ada yang menjaganya bagaimana aku bisa membicarakan itu, jin kerajaan itu pasti akan mendengar.” Ucap Pungki sambil menoleh menatap Syahrul.
Ndaru cepat meraih ponselnya. “Aku kirim nomornya ke kamu. Chat dia aja sekarang, sebelum telat.”
“Iya, cepat,” sambung Syahrul. “Takutnya nanti begitu sampai, sinyal kalian sudah diputus.”
Mobil terus melaju. Dari jendela, Pungki bisa melihat deretan mobil lain di belakang... rombongan yang mengantar calon pengantin wanita. Di salah satu mobil itu, Anisa duduk bersama Bu Hasto, Emak, dan ibu kepala pelayan. Sementara Pak Hasto serta ayah Fatima berada di mobil yang berbeda.
Begitu nomor kontak Anisa diterima, Pungki segera mengetik pesan. Jemari nya gemetar di atas layar, dan sebelum menekan kirim, suara imut yang lama dinantinya akhirnya terdengar.
“Kakak Pung Pung, besok aku ajari menulis dan membaca, ya...” suara Windy bergetar lembut, penuh permohonan.
Pungki tersenyum samar. Ia menatap pangkuannya.. kini tampak sosok Windy, kecil dan mungil, duduk menatap layar ponselnya yang menyorot wajah imut nya dengan cahaya kebiruan.
“Kamu tadi kenapa diam dan tidak kelihatan? Sekarang malah kepo, ya...” gumam Pungki dalam hati.
Windy menjawab cepat,
“Aku tadi dalam mode tidak terlihat dan tidak bersuara untuk siapa pun, Kak Pung Pung. Aku takut... takut kalau abdi Sang Ratu diberi tugas menangkap aku lagi.” Suaranya naik satu oktaf, getar ketakutannya terasa nyata. Namun hanya Pungki yang mendengar suara itu.
Pungki menunduk dan mengecup lembut ubun ubunnya, mencoba menenangkan.
“Aku juga khawatir kamu dalam bahaya, Wind. Makanya aku mau usahakan popokmu bisa kembali semua,” bisiknya dalam hati.
“Terima kasih, Kakak Pung Pungku...” sahut Windy dengan senyum kecil, lalu mencium pipi Pungki.
“Sama sama, Windy sayang,” jawabnya pelan, senyumnya getir.
Pungki melanjutkan mengetik pesan untuk Anisa. Setelah selesai, ia kirim. Centang dua muncul.. lega sedikit mengalir di dada nya. Tak lama kemudian, centang berubah biru. Ia menarik napas lega.
Di sisi lain, Anisa yang duduk di dalam mobil membaca pesan itu. Bibirnya tersenyum malu, pipinya merona. Ia mengetik balasan cepat, jemari nya sedikit bergetar.
“Baik, Mas Pungki. Nanti akan saya bantu. Semoga berhasil.”
Pesan terkirim. Langsung centang biru.
Pungki membaca dan membalas singkat: terima kasih.
Mobil terus melaju menuju bandara. Langit cerah, angin laut terasa asin di udara. Perjalanan lancar.. sampai akhirnya mereka tiba di bandara Nusa Tenggara Barat. Rombongan dijemput mobil hotel yang sudah disiapkan.
Namun saat mobil mobil itu meninggalkan bandara, Pungki mulai merasa ada yang janggal.
Ia menatap ke luar jendela. Jalan yang mereka lalui berbeda dari biasa nya. Lebih sempit, lebih sepi, dan pohon pohon di sisi kiri kanan tampak seperti membungkuk, bayangan nya menjulur panjang menutupi jalan.
“Kok ini bukan jalan ke hotel, Pak? Tidak salah jalan?” tanya Pungki, menoleh ke arah sopir.
Sopir itu hanya menjawab singkat, suaranya datar tapi anehnya terdengar dingin.
“Tidak, Kak. Saya hanya melaksanakan perintah.”
Dari belakang, Ndaru bersuara pelan, “Iya, Pung. Kita langsung ke desa di bawah gunung. Aku udah pesan homestay di sana.”
Mobil terus melaju. Tidak ada yang tidur kali ini... semua terdiam, menahan rasa was was.
Di luar, langit perlahan memucat keunguan. Jalan menanjak, kabut turun perlahan dari lereng gunung, menyelimuti pandangan.
Anisa yang duduk di mobil berbeda, semakin gugup. Jantungnya berdebar cepat saat kendaraan mereka kian menjauh dari bandara dan memasuki jalur yang belum pernah ia lewati.
Sementara di pangkuan Pungki, Windy kini menggigil kecil. Biasanya ia tidur nyenyak setiap perjalanan, tapi kali ini matanya terbuka lebar. Ada ketakutan yang nyata di wajah mungil nya.
“Kak Pung Pung...” suaranya nyaris tak terdengar, lirih, penuh cemas.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣