NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Identitas Asli

🦋

Di sisi lain

"Ya ampun Gavriel, aku begitu merindukanmu" sapa Mahiera memeluk Gavriel

"Apaan sih!" Gavriel yang risih mendorong tubuh Mahiera agar menjauh dari tubuhnya.

"Galak banget sih"

"Cepat berikan" Gavriel yang tadinya sedang bersantai di kamarnya harus meninggalkan kamar tercintanya untuk menemui Mahiera yang ingin menyerahkan suatu barang milik Valora. Awalnya Gavriel tidak percaya tapi Mahiera tidak hilang akal, ia mengirim foto barang milik valora.

"Tapi dengan satu syarat" Mahiera tentu tidak mau rugi, walaupun barang ini sepele tapi barang ini sangat berharga bagi Gavriel. Jika tidak berharga sudah pasti Gavriel tidak mau datang menemuinya.

"Katakan"

"Kau harus mentraktir semua yang aku inginkan," pinta Mahiera dengan antusias, ia begitu gila dengan barang-batang mewah yang ada di pusat perbelanjaan ini.

"Hanya itu?"

"Yups"

"Baiklah, ambil apapun yang kau inginkan" Gavriel memilih mengiyakan permintaan Mahiera agar ia mendapatkan kembali barang milik istri tercintanya.

Gavriel jalan lebih dulu dari Mahiera, ia begitu malas jika harus jalan beriringan dengan Mahiera yang notabenenya adalah mantan kekasih Jevano.

Sudah satu jam Gavriel menemani Mahiera berbelanja dan ia sudah kelelahan karna ia yang membawa semua barang yang di pilih oleh Mahiera.

"Hiera, aku lapar.." keluh Gavriel yang kedua tangannya sudah penuh dengan barang-batang mewah milih wanita di depannya ini. Tentu ia lapar karna memang ia belum makan sedari pagi

"Ooh kau lapar? Baiklah kita cari restaurant"

"Tunggu"

"Ada apa? Katanya kau lapar, jadi ayo kita cari restaurant"

"Bawa barang-barangmu ini, aku ingin ke toilet" ucap Gavriel yang langsung meletakkan semua barang milik Mahiera di depannya dan langsung berlari mencari toilet

"Heii Gavriel! Apa kau gila? Bagaimana bisa wanita cantik yang lemah lembut sepertiku membawa barang sebanyak ini haa!" teriakan Mahiera tak berpengaruh sama sekali bagi Gavriel yang sudah menghilang

Kesal? Tentu saja kesal, bagaimana caranya membawa barang sebanyak ini. Barang-barang ini sangat berat, tangan Mahiera bisa saja lebam jika membawa semuanya. Tapi ia tidak punya pilihan lain, akan sangat lama jika menunggu Gavriel kembali dari toilet.

Dengan kesal Mahiera membawa barang-barangnya meski berkali-kali barangnya ada yang terjatuh karna kebanyakan.

Gavriel menyaksikan itu semua dari balik dinding sebuah toko, ia sengaja melakukan itu agar terpisah dari Mahiera. Ya walaupun ia awalnya setuju untuk memenuhi semua permintaan Mahiera.

"Akhirnya aku bisa lepas dari nenek sihir itu" guman Gavriel senang berjalan menuju toilet untuk mencuci tangannya, ia memang ingin ke toilet bukan bukan untuk buang air kecil tapi mencuci tangannya yang terasa gatal.

Selesai dari toilet Gavriel berjalan mencari keberadaan Mahiera. Tidak sulit untuk menemukannya karna ia tadi bilang akan ke restaurant dan pastinya restaurant mahal yang dipilih oleh Mahiera.

Namun tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya hingga mereka berdua terjatuh bersamaan dengan seseorang itu berada di atas tubuh Gavriel.

Untungnya tangan kanan seseorang itu menjadi alas untuk kepala Gavriel agar tidak langsung menghantam lantai yang keras

"Aww"

"Matamu dimatamu..."

Suara napas Gavriel tercekat. Tatapannya terkunci pada sosok yang berada tepat di atas tubuhnya. Bukan hanya dia yang membeku, perempuan itu pun terpaku, matanya membesar, seperti baru saja melihat hantu.

"A-maafkan aku," suara Kiran terdengar tergesa. Ia bangkit, lalu tanpa pikir panjang mengulurkan tangan membantu Gavriel berdiri.

Gavriel menepuk pipinya sendiri, memastikan ini bukan sekadar ilusi. Perihnya nyata. Ini… sungguhan? Bibirnya melengkung, senyum yang lama terkubur muncul begitu saja. Tanpa peringatan, ia meraih Kiran ke dalam pelukan erat, nyaris menyakitkan.

"Aku tahu kau masih hidup, Sayang… aku merindukanmu," bisiknya, suaranya bergetar.

Kiran membeku. Ia tak membalas pelukan itu, tapi air matanya mulai mengalir, membasahi pipi. Entah oleh rasa sedih, terkejut, atau luka yang belum sempat sembuh.

"Valora… terima kasih sudah kembali," ujar Gavriel, menunduk mencium keningnya.

Bagaimana mungkin Gavriel bisa begitu yakin? Auliandra saja yang wajahnya hampir identik dengan Valora tidak pernah ia akui sebagai istrinya. Tapi ini… tatapan mata teduh, bibir mungil, warna cokelat di irisnya… Gavriel mengenalinya seperti ia mengenal detak jantungnya sendiri.

"Aku bukan Valora," suara Kiran pecah.

"Kau Valora," Gavriel bersikeras, menggenggam kedua tangannya seakan takut ia akan hilang lagi.

"Jangan sembunyi lagi dariku. Aku tak bisa hidup tanpamu."

"Dasar pria gila! Aku bukan Valora!" Kiran berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman Gavriel seperti belenggu baja.

"Aku tidak akan melepaskanmu. Kali ini… aku akan mengurungmu. Kau tak akan pernah bertemu Jevano lagi."

"TOLONG!" teriak Kiran. "TOLONG, ADA PRIA GILA!"

Suara itu memecah udara.

BUK!

BUK!

BUK!

Tiga pukulan beruntun menghantam wajah Gavriel. Edwin berdiri di sana, napas memburu, tinjunya masih terangkat.

Kiran segera menarik Edwin menjauh, takut amarahnya berubah jadi sesuatu yang tak bisa dibalikkan, apalagi jika kekuatan Edwin lepas kendali di tempat umum.

"Cukup, Ed! Dia bisa mati," Kiran memeluknya erat, mencoba menahan.

Tapi bagi Gavriel, pemandangan itu adalah racun. Istrinya, atau sosok yang ia yakini sebagai istrinya berada di pelukan pria lain. Ingatannya berkelebat wajah dokter, rumor, dan kecurigaan. Apakah pria ini yang bersamanya selama ini?

"Jangan sentuh milikku! Dia Kiran… milikku! Bukan Valora!" Edwin menyeret Kiran ke belakang tubuhnya, membentuk perisai manusia.

"Sadarlah, Gav," suara Jevano tegas namun penuh iba. "Valora sudah tiada. Biarkan dia tenang di alamnya. Kalau kau terus seperti ini, dia tak akan bisa tidur dengan nyenyak."

"Dunia ini punya tujuh orang dengan wajah serupa," lanjutnya. "Kiran dan Auliandra kebetulan memiliki wajah yang sama seperti Valora." Ia menuntun Gavriel ke kursi.

"Aku tidak mungkin salah mengenali istriku!" Gavriel menggertakkan gigi.

"Dulu kau juga salah mengira Auliandra sebagai Valora. Apa bedanya dengan sekarang?" Jevano menyodorkan sebuah flashdisk. "Lihat di rumah. Kau akan mengerti."

Gavriel memandangi benda kecil itu, kemudian bangkit. Ia harus pergi, ada satu orang lagi yang menunggunya.

***

Ruangan itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan napas yang tidak tenang.

Kiran duduk di kursi, kepalanya menunduk. Di hadapannya, Edwin bersandar di meja dengan tangan terlipat di dada. Jevano berdiri di sisi lain, kedua matanya tajam mengamati.

"Aku… tidak sengaja bertemu dengannya," suara Kiran pecah, lirih namun tegas. "Aku tidak mencari dia. Semua ini… cuma kebetulan."

Edwin menghela napas panjang. Ia tidak marah karena Kiran bertemu Gavriel, setidaknya itu yang ia yakinkan pada dirinya sendiri. Yang membuat darahnya mendidih adalah bagaimana Gavriel memeluk Kiran. Terlalu erat. Terlalu… memiliki.

Jeva­no, meski diam, tak kalah tersiksa. Pemandangan tadi masih menghantui pikirannya. Kiran di pelukan pria lain… dan pria itu memanggilnya Valora.

BRAK!

Pintu ruangan terbuka keras. Auliandra berdiri di ambang, napasnya cepat. "Apa yang kalian lakukan?!"

Edwin dan Jevano sama-sama menoleh, tapi belum sempat menjawab, Auliandra sudah melangkah masuk. Ia langsung memeluk Kiran, menepuk punggungnya pelan.

"Ini hari pertamanya keluar tanpa menutupi identitasnya. Dan kalian berdua malah menakutinya seperti ini?" nada suaranya menusuk, matanya penuh amarah.

"Sayang, kami tidak..."

"Cukup! Aku tidak mau dengar alasan apa pun!" potong Auliandra, tajam.

Ia meraih wajah Kiran, menangkup kedua pipinya. "Sekarang… ceritakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Kiran menghela napas, lalu mulai menceritakan segalanya, dari saat ia masuk ke toko, hingga tanpa sengaja menabrak Gavriel yang keluar dari toilet pria. Semua, tanpa ada yang disembunyikan.

Auliandra mengangguk. "Sekarang jelas. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan Kiran."

"Auli… tidak ada yang menyalahkan dia. Bahkan kami belum bicara sepatah kata pun," Edwin mencoba meredakan tensi.

"Mereka benar, Auli," Kiran membenarkan, enggan membuat kedua pria itu terkena amarah Auliandra. "Mereka belum berkata apa-apa."

Auliandra akhirnya menarik napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Ia mengeluarkan sebuah gelang dari tasnya, meletakkannya di atas meja. Cahaya lampu memantul di permukaan logamnya.

"Apa nenek lampir itu yang memberikannya? Ya Tuhan…" Kiran menggeleng tak percaya. "Dia masih mencoba menjebakmu?"

"Tenang. Gelang ini tak akan berpengaruh padaku," jawab Auliandra dingin.

Jevano mengambil gelang itu, menelitinya. "Shara benar-benar nekad. Ini gelang pemikat. Dia ingin menempatkanmu di bawah kendalinya."

Edwin bersandar di kursi. "Pakai saja. Untuk menghindari kecurigaan. Lagipula, pengaruhnya lemah."

Ketiganya saling bertukar pandang, lalu Kiran angkat bicara. "Ed… soal pemilik toko tadi yang akan menemui Dukun Santoso. Kita harus menghentikannya. Kita tidak bisa diam."

"Itu urusan mereka, Kiran," Auliandra memotong cepat. "Tidak ada hubungannya dengan kita."

Kiran menatapnya tak percaya. "Bagaimana bisa kau bilang begitu? Kita juga berurusan dengan Santoso. Kalau kita biarkan, akan ada korban lain."

Edwin terdiam, matanya menyipit. "Kau ada benarnya. Anak-anaknya harus dibereskan dulu sebelum induknya. Akan merepotkan kalau anaknya justru lebih kuat."

Suasana ruangan menegang. Semua tahu ini bukan sekadar balas dendam, tapi strategi perang.

"Ed, bawa Anthony padaku," kata Kiran akhirnya. "Dan mulai sekarang, aku akan tinggal di apartemen Auli."

Edwin menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya antara kekhawatiran dan… rasa memiliki yang egois. "Kau yakin?"

"Kita sudah membicarakannya. Bahkan keluarga besar setuju," jawab Kiran mantap.

Edwin menutup matanya sebentar, lalu menghembuskan napas berat. "Baiklah. Tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?" tanya mereka bertiga hampir bersamaan.

Tatapan Edwin mengeras. "Apa kalian sudah merencanakan semua ini di belakangku?" nada suaranya tajam, seperti interogasi.

Kiran berpindah duduk di sampingnya, melingkarkan lengan di lengan kekarnya. "Ed… jangan marah. Aku tidak bermaksud begitu."

Ia menatap mata Edwin, lalu berkata pelan, "Aku tahu tentang Anthony sebelum aku membakar rumah-rumah itu. Dia lahir sungsang. Weton-nya bagus menurut Santoso. Mereka ingin menjadikannya penerus sihir hitam."

Auliandra dan Jevano saling pandang. Tidak ada yang berbicara, tapi jelas perkataan Kiran barusan mengubah jalannya rencana.

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!