NovelToon NovelToon
Kumpulan Kisah Misteri

Kumpulan Kisah Misteri

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Rumahhantu / Horror Thriller-Horror / Matabatin / Roh Supernatural
Popularitas:13.2k
Nilai: 5
Nama Author: iqbal nasution

Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5e. Kubu Aneuk Manyak

Sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka bertiga tiba di kampung Bengkeh. Di tengah kampung yang asri, rumah panggung kayu berdiri megah, itulah rumah Geucik Teungku Musa, seorang tokoh yang dihormati.

Murhaban melangkah maju, Rizky kecil digandengnya, sementara Ramli mengikuti di belakang. Dengan penuh hormat, Murhaban memberi salam.

“Assalamualaikum, Teungku Musa. Kami musafir dari Pidie, hendak menuju Meulaboh. Mohon izin singgah barang semalam untuk beristirahat di rumah Teungku.”

Teungku Musa—lelaki berwibawa dengan janggut putih tipis—tersenyum ramah.

“Waalaikumussalam, Murhaban. Tentu saja boleh, ini rumah kita bersama. Silakan masuk, kalian dianggap keluarga di sini. Perjalanan jauh pasti melelahkan.”

Ramli ikut menundukkan kepala, menyalami Teungku Musa dengan hormat.

“Terima kasih banyak, Teungku Geucik. Kami memang sudah letih. Mudah-mudahan kedatangan kami tidak merepotkan.”

Teungku Musa menepuk bahu Ramli dengan hangat.

“Tidak ada kata merepotkan untuk tamu. Rasulullah sendiri memuliakan tamu, maka kami pun akan memuliakan kalian. Mari naik, mari masuk.”

Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu rumah panggung yang sederhana namun sejuk. Seorang perempuan tua, istri Teungku Musa, datang membawa air putih dan kue pisang. Rizky yang duduk di samping ayahnya tersenyum malu-malu, lalu disodorkan kue oleh Teungku Musa.

“Si kecil ini pasti putra nak Murhaban? Wajahnya cerah sekali, matanya cerdas.”

Murhaban tersenyum sambil mengusap kepala Rizky.

“Benar, Teungku. Namanya Rizky. Ia penghibur hati saya setelah kepergian almarhumah ibunya.”

Sejenak suasana menjadi hening, hingga Teungku Musa menepuk lututnya dan berkata dengan nada bijak:

“Setiap kehilangan pasti berat, Murhaban. Tapi hidup harus tetap dijalani. Anakmu ini amanah besar. Jaga ia baik-baik, kelak dialah yang akan menjadi penopangmu di hari tua.”

Murhaban menunduk penuh rasa hormat.

“Nasihat Teungku sangat berharga bagi saya. InsyaAllah, saya akan menjaganya sebaik mungkin.”

Ramli, yang sejak tadi ikut tersenyum, menimpali dengan nada penuh persahabatan—walau di hatinya tersembunyi niat lain:

“Betul kata Teungku. Murhaban ini sahabat saya sejak lama. Apa pun yang terjadi, saya akan selalu ada untuknya dan Rizky.”

Teungku Musa mengangguk puas.

“Baguslah, persahabatan itu lebih mulia dari emas. Selama kalian saling menjaga, Allah akan menjaga kalian pula. Nah, sekarang beristirahatlah. Malam nanti kita makan bersama.”

Mereka pun merasa lega. Murhaban benar-benar berterima kasih atas keramahan itu, Rizky tertidur di pangkuannya, dan Ramli hanya bisa tersenyum samar… menyembunyikan niat jahat yang kian matang dalam hatinya.

*****

Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan kampung Bengkeh. Ayam jantan baru saja berhenti berkokok, dan udara segar menyelimuti rumah panggung milik Teungku Musa.

Murhaban, Ramli, dan Rizky bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan penuh hormat, mereka turun dari rumah dan berpamitan kepada Teungku Musa serta istrinya yang sudah menunggu di serambi.

Murhaban menunduk dalam-dalam.

“Terima kasih banyak, Teungku, atas segala kebaikan dan keramahan. Hanya semalam singgah, tapi rasanya seperti di rumah sendiri.”

Teungku Musa tersenyum hangat.

“Jangan sungkan, Murhaban. Kalian musafir, maka wajib bagi kami memuliakan. Semoga perjalanan kalian ke Meulaboh dipermudah oleh Allah.”

Ramli ikut menyambung, suaranya tenang penuh basa-basi.

“Doa Teungku sangat berarti bagi kami. InsyaAllah kebaikan Teungku akan dibalas berlipat oleh Allah.”

Saat itu, istri Teungku Musa keluar membawa bungkusan nasi berbalut daun pisang yang masih hangat. Aroma wangi nasi bercampur lauk khas kampung tercium semerbak.

Istri Teungku Musa berkata lembut sambil menyerahkan bungkusan itu:

“Ini ada untuk bekal di jalan. Nasi daun pisang, lauk sederhana. Jangan ditolak, nak, biar ada tenaga di perjalanan panjang.”

Murhaban menerima dengan wajah haru.

“Terima kasih, Teungku. Terima kasih, Ummi. InsyaAllah akan kami makan di tengah perjalanan.”

Rizky, yang berdiri di samping ayahnya, memeluk bungkusan itu sambil tersenyum polos.

“Terima kasih, Nek…” katanya dengan suara kecil yang membuat semua tertawa hangat.

Akhirnya, dengan doa dan ucapan salam, mereka bertiga melangkah meninggalkan kampung Bengkeh. Murhaban melangkah mantap, Rizky berlari kecil di sampingnya, sementara Ramli berjalan di belakang, diam, dengan sorot mata yang menyimpan rahasia.

Bekal Ibu Kulahi (nasi bugkus daun pisang) di tangan mereka hanyalah simbol kasih dari tuan rumah, tapi dalam perjalanan panjang menuju Meulaboh, justru niat jahat Ramli semakin matang. Ia tahu, semakin jauh mereka dari Pidie, semakin besar pula kesempatan baginya untuk melaksanakan rencana gelap yang telah ia simpan rapat-rapat.

Setelah setengah hari berjalan melewati jalan setapak, menyeberangi sungai kecil, dan menembus semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang sunyi. Di sana berdiri sebatang pohon besar yang rindang, menaungi tanah lapang dengan hawa sejuk.

Murhaban berhenti, mengusap peluh di dahinya.

“Di sini saja kita beristirahat, Ramli. Tempatnya teduh. Rizky juga pasti sudah lapar.”

Rizky yang sejak tadi digendong, langsung bersorak kecil.

“Iya, Ayah… perut Rizky lapar.”

Mereka pun duduk di bawah pohon. Murhaban membuka bungkusan daun pisang pemberian Teungku Musa. Aroma nasi hangat bercampur lauk ikan kering dan sambal menyebar, membuat Rizky menelan ludah.

Murhaban tersenyum, menyuapkan suapan pertama ke mulut anaknya.

“Bismillah dulu, Nak.”

Rizky mengangguk, melafalkan doa kecil yang diajarkan ibunya dulu, lalu makan dengan lahap. Murhaban sendiri juga mulai menyantap dengan tenang, sesekali tersenyum melihat tingkah anaknya yang belepotan sambal di pipi.

Ramli duduk di sisi mereka, wajahnya tampak ikut menikmati, tapi di dalam hatinya ada badai. Pandangannya tak lepas dari Rizky dan Murhaban yang terlihat begitu bahagia walaupun tanpa Maisarah. Senyum itu—senyum ayah dan anak—membuat hatinya kembali terbakar.

"Mengapa kebahagiaan selalu ada pada mereka? Sedangkan aku, yang mencintai Maisarah sejak dulu, hanya menanggung derita? Tidak… ini tak boleh dibiarkan."

Tangannya menggenggam erat, hampir saja ia berniat melakukan sesuatu di saat itu juga. Namun ia menahan diri, menutupi gejolak hatinya dengan senyum palsu.

“Alhamdulillah, bekal dari Teungku Musa memang nikmat sekali. Rezeki orang baik selalu terasa lebih.”

Murhaban mengangguk sambil menepuk bahunya.

“Benar, Ramli. Tanpa persahabatan, perjalanan ini pasti lebih berat. Terima kasih kau masih mau menemaniku.”

Kata-kata itu menusuk hati Ramli. Ia hanya tersenyum hambar, menunduk agar Murhaban tak membaca isi hatinya.

Di bawah pohon rindang itu, mereka bertiga duduk dalam suasana yang terlihat tenang. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di dada Ramli bergolak niat busuk yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi bencana.

Setelah istirahat sejenak, perjalanan kembali dilanjutkan. Mereka menembus jalan setapak yang kian menanjak, melewati akar-akar kayu besar yang melintang di tanah. Kawasan itu dikenal masyarakat sekitar dengan nama Neungoh Ukheue Kayee—pendakian akar kayu—sebuah tempat yang sunyi, sepi, dan jarang dilewati manusia.

Hanya suara burung hutan yang terdengar, sementara cahaya matahari pun terhalang pepohonan raksasa. Suasananya suram, seakan menyembunyikan rahasia kelam yang siap menelan siapa saja yang lengah.

Murhaban berjalan di depan, Rizky kecil di gendongannya. Ramli mengikut di belakang. Dari sorot matanya, tampak jelas bahwa hatinya sudah gelap. Bisikan dendam yang sejak lama dipendam kini bergaung semakin keras.

"Inilah saatnya. Tak ada saksi, tak ada penolong. Semua akan berakhir di sini…"

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Ramli mencabut parang yang ia bawa. Wajahnya berubah liar, matanya merah bagai dirasuki iblis. Dengan teriakan parau, ia melompat ke arah Murhaban.

Crapppp!!! Tebasan pertama mengenai bahu Murhaban. Darah segar memancar, Rizky terjatuh dari gendongan ayahnya sambil menangis ketakutan.

“Ramli! Apa yang kau lakukan?! Astaghfirullah!” Murhaban berusaha menahan serangan, namun luka membuat tubuhnya lemah.

Ramli tak mendengar, tak peduli. Amarah dan dendam telah menutup telinganya. Ia kembali mengayunkan parang, membacok berkali-kali hingga tubuh Murhaban ambruk berlumuran darah.

Tangis Rizky menggema di hutan sepi itu. Anak kecil itu mencoba lari, namun Ramli mengejarnya dengan nafas memburu. Dengan kejam, ia meraih tubuh kecil itu dan… menggorok lehernya. Tangisan Rizky terhenti, tubuh mungilnya jatuh tak bernyawa di tanah.

Sunyi. Hanya suara napas berat Ramli yang tersisa. Tubuh Murhaban dan Rizky terkapar, tercabik-cabik dalam genangan darah.

Ramli berdiri terengah, wajahnya dipenuhi cipratan merah. Namun bukannya menyesal, ia justru membuka bungkusan besar milik Murhaban. Di dalamnya, emas, uang, dan perhiasan berkilauan. Mata Ramli berkilat penuh keserakahan.

Dengan tangan bergetar, ia merampas semuanya.

“Akhirnya… semua milikmu kini jadi milikku, Murhaban… Maisarah seharusnya milikku, dan sekarang semua ini juga milikku!”

Di tengah hutan Neungoh Ukheue Kayee, Ramli meninggalkan dua jasad tak bernyawa. Ia membawa lari harta yang melimpah, tak menyadari bahwa darah yang ia tumpahkan akan menjadi kutukan.

1
Blueberry Solenne
meski serem tetep ku baca, seru banget hahaha
Blueberry Solenne
rasain lu, la elu juga bukannya setan ya😡
Wida_Ast Jcy
sholat istikharah ya... biar diksh jln
Vᴇᴇ
kalo biasanya mahasiswa itu latar belakang horornya di kkn, kali ini latar belakangnya liburan para group pecinta alam wuhuu
Vᴇᴇ
di setiap circle pasti ada aja anomali sama si paling pendiem 😭😭
dilafnp
cerita hidup, seolah-olah bawa kita ke tempat kejadian.. misterinya dapet, horornya juga oke.
dilafnp
fix harus periksa mata menurut gue mah.
dilafnp
perkara ga pandai ngaji status emaknya dibawa².. apalagi kalau sampai maling ayam 🤧
Hanik Andayani
typo thor sebaiknya di teliti lagi nulis kecil kecli
Mingyu gf😘
kasihan mereka gk salah ikut jadi korban
Chimpanzini Banananini
wkwk salah sendiri ngelakuin perbuatan dosa. rasain tuh.
rahmad faujan
kalau nyata kasian
rahmad faujan
bagus thor
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©☆⃝𝗧ꋬꋊ
Pilihan yg sulit😣
Hanik Andayani
good thor semangat
Mingyu gf😘
Ceritanya seruu, kadang kadang bikin merinding 😄
Ani Suryani
seru yg Pocut siti
Ani Suryani
serem juga ya
Blueberry Solenne
nanti juga kena karma kalian
Blueberry Solenne
emang bejad, gak punya otak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!