NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 20

Malam itu desa terasa lebih tenang dari biasanya. Langit hitam pekat, bintang-bintang bersembunyi, dan angin lembut menggoyang ujung-ujung daun.

Namun ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat udara terasa seperti menahan napas.

Clara berdiri di halaman depan rumah neneknya, menatap jalan kecil yang membentang gelap. Jantungnya tidak berhenti berdebar sejak siang. Ia tahu Reymon akan datang menemuinya malam itu. Ia tahu Reymon ingin bicara.

Tapi ia tidak tahu… apa yang akan terjadi setelahnya.

Dan ketika suara motor itu terdengar perlahan memasuki gang kecil, Clara memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya.

Reymon turun dari motor. Jaket hitamnya sedikit terbuka, rambutnya berantakan oleh angin malam. Ia berhenti beberapa langkah di depan Clara.

Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap—hening, tapi penuh.

“Clara…” suara Reymon pelan, hampir seperti bisikan yang takut pecah.

Clara mengangkat wajah. “Hmm?”

Reymon menarik napas dalam.

“Aku udah mikir lama. Mungkin terlalu lama.” Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatap Clara dengan mata yang berani untuk pertama kalinya sejak mereka dewasa. “Dan aku capek pura-pura. Capek pura-pura gak peduli… padahal tiap hari aku mikirin kamu.”

Clara terdiam. Hatinya seperti tersengat, tapi dengan cara yang lembut.

“Aku gak mau kita cuma jadi masa lalu yang gak jelas,” lanjut Reymon. Suaranya bergetar sedikit. “Aku pengen kita mulai dari awal. Bener-bener dari awal, Clar.”

Clara membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar.

Reymon melangkah mendekat.

“Aku suka kamu,” ucapnya akhirnya. “Dari dulu. Dari kecil. Dari semua kebodohan yang pernah aku lakukan. Dan sekarang… aku suka kamu lagi, tapi dengan cara yang beda. Lebih serius. Lebih dewasa.”

Kata-kata itu jatuh begitu saja, namun mengguncang seluruh tubuh Clara.

Malam desa terasa semakin senyap, seperti sengaja memberi ruang untuk mereka.

“Aku gak minta jawaban sekarang,” tambah Reymon sambil tersenyum kecil. “Aku cuma pengen kamu tahu.”

Clara menelan ludah. “Rey… aku…”

Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Tapi ketika ia menatap mata Reymon—mata yang dulu sering ia benci, lalu ia rindukan, dan kini ia sukai—Clara tahu satu hal:

Ia tidak ingin menjauh lagi.

Clara mengangguk, pelan tapi pasti. “Aku siap… kalau kamu juga siap.”

Reymon mengembuskan napas yang sejak tadi ia tahan. Senyumnya mengembang, tulus, lega.

“Kalau gitu… ikut aku sebentar?” tanyanya sambil menunjuk motor.

Clara mengerjap. “Sekarang?”

Reymon tertawa kecil. “Iya. Kita keliling sebentar aja. Gak jauh.”

Clara akhirnya mengangguk.

Beberapa detik kemudian, ia sudah duduk di belakang Reymon, udara malam menyentuh kulitnya dengan lembut. Dan ketika motor mulai melaju di jalan kecil desa itu, Clara memeluk pinggang Reymon.

Awalnya ragu.

Lalu semakin erat.

Reymon menoleh sedikit, cukup untuk tersenyum. “Nyaman?”

“Nyaman,” jawab Clara hampir berbisik.

Motor melaju pelan melewati sawah, jembatan kayu, toko kelontong yang sudah tutup, dan rumah-rumah tua yang lampunya mulai padam. Mereka tidak banyak bicara di awal; suasana terlalu indah untuk dirusak.

Namun setelah beberapa menit, Reymon bersuara.

“Kamu ingat jembatan kecil di dekat sungai?” tanyanya.

“Yang dulu kamu dorong aku sampai jatuh?” Clara mencubit pinggangnya pelan.

Reymon tertawa keras. “Hey! Itu tidak disengaja!”

“Kamu tertawa waktu itu!”

“Aku panik!”

Clara memukul punggungnya dengan bantal kecil yang ia bawa. Reymon hanya tertawa lebih keras.

Mereka menghabiskan lebih dari satu jam berkeliling desa—kadang bercerita serius, kadang tertawa sampai air mata keluar. Clara bercerita tentang sekolahnya, tentang dunia yang terasa melelahkan, tentang masa-masa ketika ia merasa sendirian.

Reymon bercerita tentang pekerjaannya, tentang pergulatan hidupnya, tentang bagaimana ia selalu berpura-pura tenang padahal hatinya sering kacau.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama… Clara merasa benar-benar hidup.

Saat Reymon berhenti di depan rumah nenek, Clara tidak ingin turun. Tapi ia tahu waktu sudah larut.

Reymon menoleh. “Kamu bahagia?”

Clara tersenyum. “Banget.”

Reymon meraih helmnya, pura-pura sibuk. Tapi Clara tahu ia tersenyum juga.

Ketika akhirnya masuk ke rumah, Clara menutup pintu pelan dan bersandar pada kayu tua itu. Ia memejamkan mata.

Malam itu… sempurna.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi indah.

Clara dan Reymon sesekali bertemu—jalan ke sawah, beli jajanan di warung, makan mie goreng di kedai kecil yang mereka suka sejak kecil. Mereka tidak mendeklarasikan hubungan, tapi semua orang bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Orang-orang desa mulai menggoda.

Nenek tersenyum setiap kali melihat Clara pulang sambil tersipu malu.

Dan Reymon?

Ia selalu tampak berbeda setiap kali bersama Clara—lebih ceria, lebih hidup, lebih… berbinar.

Namun pada suatu hari, segalanya berubah.

Malam itu, hujan turun deras sekali. Petir menyambar seperti naga mengamuk di langit. Angin mengetuk-ngetuk jendela seperti tangan yang gelisah.

Clara duduk meringkuk di ruang tamu, selimut menutupi tubuhnya.

Ia sendirian.

Nenek dan kakeknya harus menginap di rumah keluarga lain karena urusan mendadak. Clara seharian tegar… sampai malam tiba dan langit meledak dengan suara-suara yang membuat dadanya bergetar.

Petir adalah ketakutannya sejak kecil.

Tangan Clara gemetar saat mengetik pesan.

“Rey… kamu bisa datang?”

Butuh tidak sampai tiga menit sebelum suara motor itu terdengar menerobos hujan deras.

Reymon datang dengan jaket basah, rambut meneteskan air, tapi matanya langsung mencari Clara.

“Kamu kenapa gak bilang dari tadi?” ucapnya khawatir sambil melepas jaket.

Clara memeluk lututnya. “Aku… takut.”

Reymon menghela napas dan duduk di sebelahnya. “Sini.”

Ia meraih tangan Clara dan menggenggamnya. Hangat.

“Tenang. Aku di sini.”

Dan seolah dunia mengerti, petir kembali menggelegar.

Clara refleks memeluk lengan Reymon.

Reymon hanya menepuk bahunya pelan. “Lihat aku, Clar. Jangan liat luar.”

Clara mengangguk.

Setelah beberapa menit, Reymon membuka ponselnya. “Nonton film yuk, biar gak kepikiran.”

Mereka duduk lebih dekat di sofa, selimut dibagi berdua, hujan menjadi suara latar. Film random diputar, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menonton.

Mereka lebih sibuk saling menertawakan adegan konyol, saling mencubit, saling menatap.

Dan saat sebuah adegan romantis muncul di layar, suasana di antara mereka berubah.

Hening.

Pelan.

Namun hangat.

Clara menyadari jarak mereka terlalu dekat. Nafas mereka bercampur. Reymon menatap mata Clara lama sekali—terlalu lama.

“Clar…” suara Reymon rendah, hampir bergetar.

“Hm?” Clara membalas dengan bisikan.

“Aku boleh…?”

Clara tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.

Dan Reymon mendekat.

Bibir mereka bertemu.

Perlahan.

Ringan.

Lalu sedikit lebih dalam saat Clara memejamkan mata dan membalasnya dengan hati yang mulai bergetar.

Itu bukan ciuman panas yang terburu-buru.

Itu bukan ciuman penuh nafsu.

Itu ciuman yang lembut—canggung, tapi jujur.

Ciuman yang menandai bahwa sesuatu dalam hidup mereka telah berubah.

Ketika mereka menjauh, Clara hanya bisa menatap Reymon, wajahnya memanas.

“Rey…” suaranya bergetar.

Reymon tersenyum, matanya hangat. “Kamu gak apa-apa?”

Clara mengangguk, tapi masih sulit bernapas.

Reymon menatapnya lama—hingga akhirnya ia melihat sesuatu.

Clara menggeser posisi duduk, dan tanpa sengaja, ujung kausnya terangkat sedikit sehingga memperlihatkan bekas operasi kecil di perutnya.

Sekilas saja.

Tapi cukup.

Reymon mengerutkan kening.

“Clar…” ia memanggil, suaranya melembut tajam. “Itu apa?”

Clara terdiam.

Reymon menatapnya, tidak berkedip.

“Kamu… habis operasi?”

Clara memejamkan mata.

Ini saatnya.

Ia tidak bisa sembunyikan lagi.

Dengan suara pelan, hampir seperti mengaku salah, Clara menjawab:

“Iya, Rey… aku waktu itu… sempat dioperasi usus buntu.”

Hening sesaat.

Reymon menghela napas—panjang, berat, dan terdengar seperti seseorang yang hatinya ditarik turun.

“Jadi itu… alasan kamu hilang seminggu?” suaranya pecah sedikit.

Clara menunduk. “Aku gak mau bikin kamu khawatir…”

Reymon menggeleng pelan, wajahnya berubah sedih sambil mengusap wajahnya sendiri.

“Clara… kenapa kamu harus hadapi itu sendirian?”

Clara menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Maaf, Rey…”

Reymon menatap Clara seolah dunia runtuh.

“Aku kecewa… bukan sama kamu,” katanya dengan suara pelan tapi menusuk.

“Aku kecewa karena kamu kira aku gak pantas jadi tempat kamu bersandar.”

Clara terdiam.

Hanya suara hujan yang terdengar.

Hening itu berat.

Terlalu berat.

Dan cerita ini…

BERSAMBUNG…

1
mindie
lanjut dong author ceritanya, ga sabar part selanjutnya
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!