NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui tirai putih yang bergoyang pelan.

Aroma teh melati menguar di ruang keluarga rumah Pratama yang hangat dan tenang.

Asmara duduk manis di sofa, mengenakan baju santai bewarna pastel.

Perban di pelipisnya sudah diganti, kulit wajahnya tampak pucat tapi jauh lebih tenang dibanding malam sebelumnya.

Mami Rosa menuangkan teh ke dalam cangkir porselen, lalu menyerahkannya pada Asmara dengan senyum lembut.

“Minumlah, Sayang Teh ini bisa bantu redakan pusingmu.”

Asmara menerima dengan kedua tangan, ia tersenyum sopan.

“Terima kasih banyak, Mami.”

Nada suaranya pelan, masih ada sedikit kikuk dalam cara bicaranya.

Mami Rosa tertawa kecil.

“Asmara, jangan tegang begitu, santai aja sama Mami, rumah ini anggap saja rumahmu juga.”

Asmara menunduk sopan, pipinya memerah.

Ia menatap teh yang mengepul di tangannya, lalu berbisik pelan, “Aku sungguh minta maaf kalau semalam merepotkan, Mami. Aku benar-benar tidak bermaksud—”

“Jangan minta maaf,” potong Mami Rosa lembut. “Yang penting kamu selamat. Kalau Ryan tidak datang tepat waktu… Mami tak tahu apa yang akan terjadi padamu.”

Nada suaranya sedikit serak, ada ketulusan seorang ibu di sana.

Asmara menatap Mami Rosa, hatinya menghangat.

Ia tak terbiasa disambut dengan kehangatan seperti ini. Apalagi selama ini ia tak pernah merasakan hangatnya seorang Ibu.

Hening sejenak. Hanya terdengar suara burung dari halaman depan.

“Ryan belum keluar ya, Mi?” tanya Asmara pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Mami Rosa melirik ke arah koridor kamar putranya, lalu tersenyum kecil.

“Belum. Biasanya kalau dia tidur setelah terbang, susah sekali dibangunkan. Tapi semalam dia pulang sangat larut. Mungkin dia baru bisa tidur menjelang subuh.”

Asmara menatap arah kamar Ryan, pikirannya melayang pada kejadian semalam, wajah tegang Ryan di rumah sakit, nada suaranya yang penuh khawatir, dan caranya menatap Asmara dengan sorot yang begitu dalam.

Ia tak tahu kenapa dada kirinya tiba-tiba terasa hangat.

Seketika, ia meneguk teh di tangannya agar perasaan itu tak makin dalam.

Mami Rosa memperhatikan perubahan kecil itu dengan senyum samar.

“Sepertinya kamu dan Ryan sangat saling menyayangi, ya?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya ringan tapi matanya menelisik.

Asmara nyaris tersedak teh di tenggorokannya.

“E–eh? Nggak… kami cuma rekan kerja, Mi. Maksud aku… Ryan itu memang selalu menunjukan perhatiannya, Mi.”

Mami Rosa tersenyum simpul, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.

“Begitu? Tapi memang rasanya jarang sekali Ryan bersikap seperti itu, apalagi terlihat sesibuk itu menjaga seseorang.”

Asmara gugup, menunduk dan menatap ujung jarinya.

Ia ingin menjelaskan, tapi kata-kata tak keluar.

Saat itulah suara langkah berat terdengar dari arah lorong.

Ryan muncul, masih mengenakan kaos putih polos dan celana santai, rambutnya sedikit acak-acakan.

Sorot matanya tajam seperti biasa, tapi ada kehangatan samar yang menyelinap di antara kelelahan di wajahnya.

Mami Rosa menoleh dan tersenyum lebar.

“Wah, anak Mami akhirnya bangun juga. Ayo sini, duduk. Mami dan Asmara sudah duluan menikmati teh.”

Ryan menatap mereka sebentar, matanya sempat berhenti di wajah Asmara.

Ada kelegaan kecil yang terlukis samar di sana, melihat gadis itu sudah lebih baik.

“Pagi,” ucapnya pendek sambil berjalan mendekat.

Asmara menunduk sopan. “Pagi, Ryan.”

Mami Rosa menatap keduanya bergantian, senyumnya makin dalam.

Suasana meja teh pagi itu mendadak terasa hangat, tapi juga janggal dalam cara yang tak bisa dijelaskan, seolah dua hati sedang berusaha menutupi sesuatu yang perlahan mulai terbaca oleh seorang ibu.

Ryan duduk di kursi seberang Asmara, sementara Mami Rosa menuangkan teh hangat untuk putranya.

Udara pagi terasa lembut, aroma melati bercampur wangi roti panggang yang baru keluar dari pemanggang.

“Ini, minum dulu, Ry.” ujar Mami Rosa, mendorong cangkir ke arah Ryan.

Ryan hanya mengangguk kecil, menatap teh itu sebentar lalu menyesap pelan.

Asmara, yang duduk di sampingnya, mencoba bersikap biasa saja, tapi jantungnya berdebar tak karuan.

Ia bisa merasakan kehadiran Ryan begitu dekat, membuatnya sedikit gugup.

Mami Rosa menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap dua anak muda di depannya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

“Kalau Mama boleh tahu,” katanya santai, “sejak kapan kalian berdua mulai dekat?”

Asmara tersentak kecil, sementara Ryan masih tenang, hanya menatap ibunya sebentar lalu menaruh cangkirnya di meja.

“Tidak lama, Mi. Kami sering satu jadwal penerbangan, jadi wajar kalau sering bersama.”

Mami Rosa tersenyum manis. “Oh, jadi kalian ini cinlok ?”

Nada suaranya ringan, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Asmara segera menunduk, wajahnya memerah.

“Bukan begitu, Mami… kami memang satu kru, jadi sering kerja bareng saja.”

Ryan meliriknya sekilas, lalu menatap ibunya sambil tersenyum kecil.

“Mami jangan godain Asmara. Dia masih belum sepenuhnya pulih.”

“Justru karena itu Mami tanya,” sahut Mami Rosa cepat. “Seberapa penting Asmara untukmu, Kamu bahkan jarang segelisah itu, Ryan.”

Ryan diam. Pandangannya jatuh ke cangkir teh di depannya, namun bibirnya sedikit melengkung.

“Karena dia penting, Mi,” ucapnya pelan.

Asmara menoleh cepat, matanya membulat kaget.

Sementara Mami Rosa hanya menaikkan satu alisnya, tersenyum puas seolah mendapat jawaban yang selama ini ia duga.

“Penting Banget, ya?” katanya lembut, suaranya seperti mengandung makna tersembunyi.

Asmara menggigit bibirnya, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.

Ryan hanya menatap lurus ke arah ibunya, lalu berkata tenang, “Iya, penting banget. Kalau nggak, aku nggak akan bawa dia ke sini.”

Suasana sejenak menjadi sunyi. Hanya suara burung di luar jendela yang terdengar.

Mami Rosa tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.

“Bagus deh, Mami seneng mendengarnya, jaga hubungan kalian baik-baik,ya... kalau begitu, Mami ke kamar dulu, ya. Kalian lanjutkan sarapan. Jangan terlalu tegang, ini rumah, bukan ruang briefing.”

Setelah Mami Rosa berlalu, keheningan kembali menyelimuti ruangan.

Asmara menunduk dalam, jarinya menggenggam cangkir teh yang mulai dingin.

Ryan bersandar di kursinya, menatap gadis itu dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata,

“Kamu masih merasa sakit?”

Asmara menggeleng pelan. “Sedikit nyeri, tapi nggak apa-apa. Terima kasih, Kapten… untuk semalam.”

Ryan menghela napas. “Berhenti panggil aku Kapten kalau di luar kerja. Aku lebih suka kamu panggil namaku. Apalagi kamu itu kan kekasihku.”

Asmara menatapnya sebentar, lalu cepat-cepat menunduk.

“Iya Ry...maaf udah kebiasaan,” katanya lirih, dan suara itu entah kenapa membuat sesuatu di dada Ryan bergetar.

Ryan tersenyum kecil, lalu berdiri.

“Ayo, ikut aku sebentar. Mami pasti nggak keberatan kalau kita keluar sebentar ke taman belakang.”

Asmara menurut, mereka berjalan keluar menuju taman belakang rumah yang rindang.

Udara pagi masih terasa sejuk, dedaunan bergoyang pelan diterpa angin.

Asmara duduk di bangku taman, wajahnya masih sedikit tampak pucat tapi berusaha tegar.

Ryan berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, antara marah, khawatir, dan lelah.

“Kenapa kamu lihat aku seperti itu?” tanya Asmara pelan, mencoba tersenyum.

Ryan tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berdiri di hadapannya.

“Kamu tahu nggak seberapa berbahayanya yang terjadi kemarin?” suaranya tenang, tapi tegas.

Asmara menunduk. “Aku… nggak sengaja. Aku cuma mau cepat-cepat pergi dari sana.”

“Dan kamu hampir mati, Asmara.”

Nada suaranya meninggi sedikit. Ryan menatapnya dalam, membuat gadis itu tak berani menatap balik.

“Kalau aku terlambat satu menit saja, aku mungkin cuma bisa lihat tubuhmu di sana dengan darah di mana-mana.”

Asmara terdiam. Ujung matanya berair, tapi ia menahan agar tidak jatuh.

“Maaf… aku terburu-buru, Ryan” bisiknya.

Ryan berjongkok di depannya, menatap lurus ke matanya.

“Dengar aku baik-baik,” katanya pelan tapi tegas. “Mulai hari ini kamu nggak perlu masuk kerja dulu. Istirahat beberapa hari di sini sampai aku tahu siapa orang yang nabrak kamu.”

Asmara menatapnya kaget. “Tapi—”

“Tidak ada tapi,” potong Ryan cepat. “Aku nggak mau ambil risiko. Seseorang dengan sengaja menabrakmu, Asmara. Aku sudah lihat rekaman CCTV-nya. Mobil itu melaju lurus ke arahmu, bukan kecelakaan biasa.”

Asmara memejamkan mata, tubuhnya bergetar halus.

“Kenapa begitu ? Aku bahkan nggak punya musuh…”

Ryan berdiri, menghela napas panjang, lalu menatap ke arah langit pagi.

“Aku juga belum tahu. Tapi aku janji, aku akan cari tahu siapa pelakunya. Aku nggak akan diam sampai orang itu tertangkap.”

Asmara menatapnya dengan mata berkaca. “Kamu nggak perlu sejauh itu, Ryan…bagaimana kalau dia memang tak sengaja, dan aku juga merasa yang salah, aku ceroboh.”

Ryan menunduk menatapnya lagi, suaranya rendah namun penuh tekad.

“Kita lihat saja nanti faktanya seperti apa, dan kalau sesuatu terjadi padamu lagi, aku nggak akan bisa maafkan diriku sendiri. Jadi, tolong… kali ini, dengarkan aku. Jangan ke mana-mana dulu. Istirahat, biarkan aku yang urus ini.”

Asmara mengangguk pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

“Oke, aku akan nurut… Lagi pula badanku juga masih terasa sakit semua, aku nggak sanggup bekerja dengan kondisi seperti ini, takut nggak maksimal nanti.”

Ryan mengembuskan napas lega, lalu menatapnya lembut.

“Bagus. Sekarang kamu sarapan lalu minum obatmu, dan setelah itu tidur lagi. Aku harus keluar sebentar, ada hal yang harus aku urus di bandara.”

Asmara hanya mengangguk.

Ryan sempat menatapnya sekali lagi sebelum melangkah pergi, tatapan yang menyimpan amarah sekaligus ketakutan tersembunyi.

Begitu Ryan menghilang di balik pintu rumah, Asmara menyentuh pelipisnya yang diperban, dan kali ini ia benar-benar merasa bahwa apa pun yang terjadi, hidupnya kini tak lagi sederhana.

...🌺...

...🌺...

...🌺...

^^^Bersambung....^^^

1
Siti Naimah
menyimak dulu...kelihatannya bakal seru nih
Marini Suhendar
❤❤❤...lanjut thor
Nursina
semangat lanjutkan👍
Nursina
karya yg menarik semangat
Mericy Setyaningrum
wah Dubai Im in love
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!