NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LEVEL 3: DUNIA NYATA

​Bel pulang sekolah hari itu terdengar seperti sebuah kebohongan.

​Siswa-siswa di sekitarku menghela napas lega, merapikan buku-buku mereka, dan langsung tenggelam dalam obrolan tentang rencana akhir pekan atau keluhan tentang tugas esai. Bagi mereka, hari telah berakhir. Bagiku, hari baru saja akan dimulai.

​Pesan di ponselku terasa membara di sakuku: 21:00. ATAP. PAKAIAN SIPIL.

​Level 3.

​Perjalanan pulang terasa sureal. Aku berjalan melewati gerbang sekolah yang megah, mengucapkan selamat tinggal pada Adhitama dan Sari dengan anggukan singkat—sebuah isyarat perpisahan yang kini memiliki makna ganda. Kami akan bertemu lagi dalam beberapa jam, mengenakan topeng yang berbeda.

​Aku tiba di apartemen kecilku. Sepi. Kosong. Aku membuat secangkir teh, mencoba melakukan rutinitas normalku, tetapi semuanya terasa palsu. Aku mengerjakan PR Kimia tentang ikatan kovalen, sementara pikiranku berpacu memikirkan ikatan molekuler yang bisa kubongkar. Aku menatap dinding, tetapi yang kulihat adalah skema benteng pikiran yang diajarkan Ibu Ida pada Sari.

​Setiap suara jarum jam yang berdetak di dinding adalah hitungan mundur.

​Pukul delapan malam, aku berganti pakaian. "Pakaian sipil," kata pesan itu. Itu berarti berbaur. Menjadi hantu. Aku mengenakan celana jins hitam, kaus hitam polos, dan jaket hoodie abu-abu gelap. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang akan diingat orang. Aku memasukkan ponsel aman, kartu akses palsu, dan sepasang sarung tangan tipis ke dalam sakuku. Aku adalah bayangan di tengah kota Jakarta.

​Menyelinap keluar dari apartemenku adalah hal yang mudah. Menyelinap kembali ke dalam SMA Pelita Harapan di malam hari... seharusnya sulit. Tapi kami telah dilatih.

​Aku menghindari patroli keamanan sekolah yang malas, bergerak melewati titik-titik buta kamera CCTV yang sudah kami pelajari, dan menggunakan pintu servis yang kuncinya telah Adhitama 'longgarkan' secara permanen beberapa minggu lalu. Dinding yang dulu menjadi penghalang, kini hanyalah saran.

​Aku menaiki tangga darurat, langkahku ringan dan tanpa suara. Pukul 20:57, aku mendorong pintu atap.

​Udara malam Jakarta menyambutku. Hangat, lembap, dan berisik. Di bawah sana, kota terbentang seperti galaksi buatan, permadani cahaya dan kehidupan yang tak pernah tidur. Gemerlap lampu-lampu itu kontras dengan kegelapan atap sekolah yang sunyi ini. Angin berdesir pelan, membawa suara sirene yang jauh.

​Aku bukan yang pertama.

​Adhitama sudah ada di sana. Dia berdiri di tepi atap, menatap ke bawah ke lapangan olahraga yang gelap. Dia mengenakan pakaian yang sama denganku—hoodie hitam, celana kargo. Dia tidak lagi terlihat seperti preman sekolah yang sombong. Dia terlihat seperti seorang prajurit perkotaan, bahunya yang lebar tegang karena antisipasi. Dia mendengarku datang, menoleh, dan hanya mengangguk.

​Sesaat kemudian, sebuah bayangan terlepas dari kegelapan di dekat unit pendingin udara. Sari. Dia muncul entah dari mana, pakaian gelapnya membuatnya nyaris tak terlihat. Dia tidak lagi memegang tablet; matanya adalah senjatanya.

​Kami bertiga berdiri di sana, di bawah langit yang tercemar cahaya kota. Tim Alpha. Bersama lagi. Ketegangan di antara kami begitu pekat hingga nyaris berderak. Ini bukan simulasi. Tidak ada jaring pengaman.

​"Kalian tepat waktu."

​Suara Pak Tirtayasa membuat kami bertiga tersentak. Kami bahkan tidak mendengarnya datang.

​Dia melangkah keluar dari bayang-bayang tangga, tidak lagi mengenakan seragam guru atau pakaian latihan. Dia mengenakan kemeja batik lengan panjang sederhana dan celana bahan gelap. Dia tampak seperti seorang ayah yang baru pulang kerja. Penampilan normal itu, dalam konteks ini, jauh lebih menakutkan daripada setelan taktis mana pun.

​Dia tidak membuang waktu.

​"Malam ini," katanya, suaranya pelan dan tajam, "bukan latihan."

​Dia mengangkat tabletnya. Layar itu menerangi wajahnya yang serius dalam cahaya biru redup. Sebuah cetak biru dari sebuah rumah mewah berlantai tiga muncul.

​"Level 3: Ekstraksi," katanya. "Perang kita tidak dimenangkan dengan menghancurkan musuh. Perang kita dimenangkan dengan mencuri aset mereka."

​Dia memperbesar gambar di tabletnya. Wajah seorang pria paruh baya berkacamata muncul. Dia tampak lelah, ketakutan, dan sangat cerdas.

​"Target kita: Dr. Aris Wibowo," jelas Pak Tirtayasa. "Dia adalah ahli biokimia dan genetika terkemuka Cakra. Dia adalah otak di balik serum enhancer yang kalian hadapi di Level 2. Dia tahu segalanya tentang penelitian mereka."

​"Kenapa dia?" tanya Adhitama.

​"Karena Dr. Aris bukan Anomali. Dia adalah seorang sandera," jawab Pak Tirtayasa. "Cakra menahan putranya yang berusia delapan tahun, seorang Anomali telekinetik kuat, untuk memaksanya bekerja. Dia telah bekerja untuk mereka selama tiga tahun. Tapi kemarin, dia berhasil mengirim sinyal darurat kepada kami. Dia ingin keluar."

​Pak Tirtayasa menatap kami. "Dia bersedia menukar kebebasannya dan kebebasan putranya... dengan hadiah utama. Sebuah salinan lengkap dari seluruh database penelitian Cakra. Setiap nama Anomali yang mereka lacak, setiap formula serum, setiap lokasi fasilitas. Semuanya."

​Jantungku berdebar sedikit lebih cepat. Ini bukan hanya misi penyelamatan. Ini adalah pencurian yang bisa memenangkan perang.

​"Lokasi," lanjut Pak Tirtayasa, beralih ke peta. "Sebuah vila pribadi berbenteng di Kebayoran Baru. Itu bukan kantor. Itu adalah sangkar emas. Dinding perimeter setinggi empat meter, patroli 24 jam, sistem keamanan terintegrasi penuh."

​Dia menatap Sari. "Patroli di sana adalah Tim Beta Cakra. Bukan Anomali elit, tapi enhancer yang sama seperti di Level 2. Mereka cepat, kuat, dan terlatih. Sari, kau adalah mata kami. Kau akan meretas jaringan keamanan mereka dari van. Kau akan memandu tim masuk, membutakan kamera, dan memberi tahu kami setiap gerakan patroli."

​Sari mengangguk, matanya sudah memindai cetak biru itu, menghafal setiap sudut.

​Pak Tirtayasa menoleh pada Adhitama. "Adhitama. Dr. Aris mengatakan database itu disimpan di brankas pribadi di ruang kerjanya. Brankas itu tidak bisa diretas Sari. Tapi itu adalah brankas mekanis kuno. Sebuah model presisi tinggi. Kau bukan lagi palu godam. Kau adalah 'kunci' kami. Pelatihanmu di bengkel... malam ini adalah ujian akhirnya. Kau akan 'membujuk' brankas itu terbuka. Tanpa suara."

​Adhitama meretakkan buku-buku jarinya, ekspresinya serius. "Saya akan membukanya."

​Akhirnya, Pak Tirtayasa menatapku. "Bima. Kau adalah 'hantu' kami. Dr. Aris dan putranya tidak ada di kamar tidur mereka. Mereka akan berada di 'ruang aman' di ruang bawah tanah. Ruang aman itu," dia memperbesar gambar pintu baja yang tebal, "dibangun untuk menahan ledakan. Tidak bisa dihancurkan Adhitama tanpa memicu alarm seismik. Tidak bisa diretas Sari. Itu adalah jebakan."

​Dia menatap lurus ke mataku. "Tapi itu bukan jebakan untukmu. Mekanisme pengunciannya berlapis, terbuat dari paduan tungsten. Mereka pikir itu tidak bisa ditembus."

​Dia mengharapkanku melakukan apa yang kulakukan di simulasi. Bukan menghancurkan pintu. Menghancurkan kuncinya.

​"Aku mengerti," kataku pelan.

​"Bagus," kata Pak Tirtayasa. "Ini adalah misi senyap. Kalian masuk, ambil dokter, ambil putranya, ambil datanya, dan keluar. Kalian harus berada di dalam dan di luar dalam waktu kurang dari lima belas menit."

​Dia mematikan tabletnya. Kegelapan atap kembali menyelimuti kami.

​"Satu hal lagi," katanya, suaranya kini sedingin es. "Sistem keamanan vila ini terhubung langsung ke markas Cakra. Jika ada satu alarm yang berbunyi—alarm gerakan, alarm suara, alarm seismik—mereka akan tahu. Dan tim 'Pembersih' akan tiba di lokasi dalam... sepuluh menit."

​Kadek dan Rania. Kali ini, bukan simulasi.

​"Tidak ada reset," lanjut Pak Tirtayasa. "Jika alarm berbunyi, misi dibatalkan. Kalian lupakan Dr. Aris, kalian lupakan datanya, dan kalian lari untuk menyelamatkan hidup kalian. Mengerti?"

​"Mengerti," kami bertiga menjawab serempak.

​"Baik," kata Pak Tirtayasa. Dia berjalan menuju pintu atap. "Van hitam tanpa jendela menunggu di gerbang belakang. Pengemudi akan membawa kalian ke titik penurunan, satu kilometer dari lokasi. Sari, kau akan tetap di van. Bima, Adhitama, kalian masuk."

​Dia berhenti, menatap kami bertiga untuk terakhir kalinya. Bukan lagi sebagai guru. Bukan sebagai pelatih. Tapi sebagai komandan yang mengirim pasukannya ke pertempuran.

​"Malam ini," katanya. "Kita tunjukkan pada Cakra... apa arti dari kata 'hantu'."

​Dia membuka pintu dan menghilang ke dalam kegelapan tangga.

​Kami bertiga terdiam selama beberapa detik, membiarkan beratnya misi itu menekan kami.

​Adhitama menghembuskan napas panjang. "Baiklah," katanya. "Hantu, ya? Mari kita lakukan ini."

​Dia berjalan menuju pintu. Sari mengikuti tepat di belakangnya. Aku adalah yang terakhir. Aku berhenti sejenak, menatap gemerlap kota Jakarta. Di luar sana, jutaan orang sedang menjalani hidup mereka, tidak menyadari perang yang terjadi di dalam bayang-bayang.

​Malam ini, kami bertiga akan menjadi alasan mengapa mereka bisa tetap tidur nyenyak.

​Aku menarik hoodie-ku, menutupi wajahku, dan mengikuti timku ke dalam kegelapan. Perang yang sesungguhnya telah dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!