Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Menggoda Giandra
Mobil terhenti di depan toko butik. Ningrum dan Anin turun, lalu melangkah masuk. Aroma kain baru menyeruak, menyambut mereka.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang gadis muda yang berdiri tegak di dekat pintu.
Anin terperangah. “Ivana? Kenapa kamu ada di sini?”
“Loh, Anin? Toko ini punya keluargaku dan aku disuruh jaga,” jawab Ivana.
Ivana melirik wanita cantik bertubuh tinggi yang berdiri di sebelah Anin. “Dia siapa? Ibu tirimu?” Suaranya menurun.
“Namanya Bu Ningrum. Ibu mertuaku,” jawab Anin tenang.
Ivana membelalak. “Kamu udah nikah? Pantas aku nggak pernah lihat kamu main bareng Candra lagi.”
Anin membalasnya dengan senyum tipis, enggan membahas pria lain di depan ibu mertuanya.
“Oh ya, kalian cari apa? Biar aku bantu,” ujar Ivana.
“Saya mau lihat-lihat dulu. Kalau menantu saya tertarik dengan baju yang ada di sini, ambil saja. Nanti saya bayar semuanya,” timpal Ningrum.
“Siap, Bu!” sahut Ivana antusias.
Ningrum berjalan menyusuri deretan busana yang tergantung rapi. Ivana berdiri di samping Anin, melempar tatapan jahil pada gadis itu.
“Ibu mertua kamu kelihatan baik banget ya,” ungkap Ivana.
“Iya.” Anin menghela napas berat. “Tapi sayangnya ... Ibu kandung suamiku justru sebaliknya.”
Ivana mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Bapak mertuaku punya dua istri. Suamiku adalah anak dari istri pertama, sedangkan Bu Ningrum itu istri kedua. Tapi justru Burum jauh lebih baik dari ibu kandungnya, bahkan suamiku lebih dekat dengan ibu tirinya,” ungkap Anin.
“Oh begitu. Lalu, apa masalahmu dengan ibu kandung suamimu?”
“Aku dituduh mandul ... Padahal aku dan suamiku belum pernah melakukan hubungan suami-istri,” jawab Anin.
Ivana terperangah. “Kenapa belum? Suamimu penyuka sesama jenis?”
Anin menggeleng pelan. “Dia bilang nggak tega karena usiaku baru dua belas tahun, sedangkan dia udah berusia enam belas tahun.”
Ivana menghela napas panjang. “Tapi kamu harus bersihkan nama baikmu. Gimana kalau kamu coba rayu suamimu malam ini?” usulnya.
Anin mengernyit. “Rayu gimana?”
“Pakai baju seksi di depannya, dijamin dia pasti nggak tahan lihat kemolekan istrinya,” jawab Ivana.
Tanpa menunggu tanggapan, Ivana menarik tangan Anin ke deretan busana dengan bahan serba minim.
“Pilih satu. Aku yang bayar,” katanya.
“Nggak perlu. Aku bisa bayar sendiri,” tolak Anin.
“Jangan sungkan. Anggap saja hadiah pernikahan dariku,” timpal Ivana.
Anin menghela napas, memandang satu-persatu baju di depannya. Namun, semuanya terlalu terbuka dan tidak sesuai dengan pakaiannya sehari-hari.
“Nggak ada model lain?” tanya Anin.
“Kalau mau suamimu tergoda ya pilih yang seperti ini.” Ivana menunjuk baju baju tanpa lengan dan bertali satu.
Anin terpaku, membayangkan betapa aneh dan jeleknya dia mengenakan pakaian kurang bahan, seperti itu.
“Yang ini saja. Bahannya nyaman,” desah Ivana, menyodorkan gaun itu.
Dengan ragu, Anin menerimanya. “Terima kasih ....”
“Sama-sama.” Senyum Ivana merekah, sorot matanya berbinar.
“Kenapa kamu mau bantu aku? Kita kan baru sekali mengobrol.” Anin menatap Ivana, mengerutkan dahi.
Ivana tersenyum tipis. “Karena aku berharap bisa menikah sepertimu,” jawabnya pelan.
“Kamu pasti nikah. Nggak mungkin kamu nggak nikah,” sahut Anin.
Ivana menghela napas panjang. “Masalahnya jarang ada orangtua yang merestui putranya menikahi gadis blasteran Belanda. Aku saja sering dikucilkan karena mendiang kakek dan ayahku itu tentara Belanda.”
Ivana menunduk, menatap lantai kosong. Jemarinya saling meremas. Sementara Anin ikut terpaku, ada semburat iba di matanya.
“Saranku, kamu jangan sia-siakan pernikahanmu. Sebisa mungkin kamu pertahankan karena ibu mertuamu kelihatan sangat baik dan aku yakin suamimu juga pasti menyayangimu,” ujar Ivana tiba-tiba.
Anin mengangguk pelan. “Iya ... Semoga kamu segera menemukan pria yang nggak peduli latar belakang keluargamu,” tuturnya.
Ivana tersenyum tipis, matanya tampak berkaca-kaca. “Aamiin,” balasnya.
...🌹🌹🌹...
Cahaya bulan menerangi malam, mobil terhenti di pekarangan rumah keluarga Wijaya. Pintu terbuka, Giandra keluar, dan berjalan memasuki rumah.
“Selamat malam, adik ipar,” sapa Sri yang berdiri di dekat pintu.
Giandra tak menggubris, terus melangkah dan menaiki tangga. Langkahnya terhenti di depan kamar, ia mendorong pintu, dan masuk ke dalam.
“Kok sepi? Anin ke mana?” Giandra memandang sekeliling. Namun, tidak ada siapa pun di kamar itu, bahkan sendal milik istrinya pun tidak ada.
“Anin, aku pulang ...” panggil Giandra.
Tak ada jawaban. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Anin keluar, rambut basahnya terurai, dan dia hanya mengenakan baju bertali satu yang membingkai tubuh mungilnya.
“Maaf, aku baru selesai mandi,” tutur Anin lembut.
Giandra mematung, mulutnya terbuka, dan matanya membesar menatap Anin mengenakan baju terbuka, membuat belahan dadanya terlihat jelas.
“Haloooo.” Anin melambaikan tangan, memecah lamunan Giandra.
“Kenapa pakai baju begini? Nanti kamu masuk angin,” tegur Giandra.
“Sengaja, biar kamu tergoda dan mau sentuh aku,” balas Anin jujur.
Tanpa menunggu tanggapan, Anin mendekati Giandra, memegang dadanya, kemudian menariknya hingga tubuh mereka terjatuh di ranjang. Giandra menimpa tubuh Anin.
Giandra terpaku, tatapannya tertuju pada belahan dada Anin yang berada tepat di depan wajahnya. Anin mengangkat dagu Giandra mendekati wajah mereka, hendak menciumnya.
Giandra menutupi mulutnya dengan tangan. “Apa yang kamu lakukan?”
“Aku mau kamu menjamah tubuhku sekarang,” pinta Anin.
“Nggak! Aku nggak bisa. Usiamu masih terlalu muda,” tolak Giandra.
Giandra bangkit, hendak melangkah menjauh. Namun, Anin mencengkeram tangannya, Giandra pun menoleh. “Apalagi? Aku melakukan ini karena nggak mau merusak masa mudamu!”
Anin mendongak, menatap Giandra, mata tampak berkaca-kaca. “Iya, masa mudaku nggak rusak tapi mentalku yang rusak gara-gara ucapan ibu kandung dan kakak iparmu!” serunya.
“Apa maksudmu?” Giandra membeku.
“Ibu dan Kak Sri menuduhku mandul, bahkan mereka menyuruhku cerai dari kamu.” Anin menunduk, air matanya pecah, dan mengalir deras ke pipinya. “Dulu kupikir ucapan ibu dan adik tiriku yang paling jahat, tapi ternyata salah. Ucapan ibumu lebih jahat dan membuatku takut ... Takut kehilangan karena kamu satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang” lanjutnya.
Anin terisak, sementara Giandra terpaku, tangannya mengepal, napasnya memburu, dan matanya memerah.
“Kurang ajar! Berani-beraninya mereka menyakiti istriku!!” erang Giandra.
Dia melepas genggaman Anin, hendak melangkah keluar.
“Mau ke mana?” tanya Anin.
“Nggak ada yang boleh menyakiti istriku meskipun orang itu ibu kandungku sendiri!” tegas Giandra.
“Tunggu!” Anin berlari, memeluknya dari belakang. “Jangan pergi! Aku nggak mau keluargamu tambah memanas gara-gara masalah ini, apalagi kita hanya menumpang,” ujarnya.
“Mereka keterlaluan! Nggak seharusnya mereka seperti itu, kamu juga bagian dari keluarga Wijaya,” desis Giandra.
“Aku udah maafin perbuatan mereka tapi ... Tolong bantu aku membuktikan kalau aku nggak mandul,” pinta Anin.
Giandra berbalik, menatap wajah Anin. Jemarinya mencengkeram erat bahu Anin. “Apa pun kulakukan demi kebahagiaanmu,” tuturnya.
Giandra langsung menggendong tubuh Anin, membaringkannya di kasur. Dia berada di atas tubuh Anin, mengunci dengan kedua tangannya, lalu menarik selimut, dan menutupi tubuh mereka.