Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Lampu kamar sudah diredupkan. Angin malam dari jendela perlahan masuk, membawa aroma laut dari kejauhan.
Bramantya sudah berbaring, satu tangan di bawah kepala, satu lagi melingkar di atas perut Rianti yang mulai membulat lembut.
“Sayang, tidur ya. Dokter bilang kamu harus cukup istirahat.”
“Hmm…”
Beberapa menit berlalu dalam hening. Bram hampir tertidur sampai terdengar bunyi gesekan pintu lemari dan langkah kaki pelan.
"Ri?”
Tak ada jawaban. Ia bangun dan menatap sekeliling.
Dari arah dapur kecil di lantai bawah, bau pedas menggoda mulai menyebar ke seluruh ruangan.
“Jangan bilang…”
Ia turun dengan cepat. Dan benar saja di meja dapur, Rianti duduk dengan wajah bahagia, memegang sumpit dan mangkuk mie pedas Korea instan yang mengepul.
“Astaga, Rianti…”
“Cuma sedikit kok, aku lagi pengen banget. Bayinya juga kayaknya minta yang pedas.”
“Bayinya nggak minta, itu lidah kamu yang minta! Dokter bilang nggak boleh pedas, apalagi mie instan!”
“Tapi aku ngidam, Bram. Cuma satu mangkuk… satu aja, ya?”
“Tidak. Ini bukan tawar-menawar, Sayang.”
Dengan tegas ia mengambil mangkuk dari tangan Rianti.
Rianti langsung melipat tangan di dada dan manyun.
“Aku benci kamu.”
“Bagus. Yang penting kamu dan bayi sehat.”
Ia lalu menghela napas panjang, membuka ponselnya, dan menekan nomor layanan hotel.
“Halo, tolong siapkan makanan sehat untuk ibu hamil — tanpa MSG, tanpa pedas, tinggi protein. Kirim ke kamar saya sekarang.”
“Kamu itu suami atau satpam?”
“Satpam cinta. Spesialis menjaga dua makhluk kecil di perut kamu.”
Rianti akhirnya tertawa kecil, walau masih sebal.
Beberapa menit kemudian, makanan datang: semangkuk bubur salmon, sayur rebus, dan segelas jus mangga. Bram menyuapi Rianti dengan sabar.
“Nggak enak.”
"Tapi sehat.”
“Aku tetap pengen mie pedas.”
“Kalau begitu, aku masak versi sehatnya besok. Janji.”
Rianti memandang suaminya lama-lama, senyum kecil muncul di bibirnya.
“Kamu marah banget tadi ya?”
“Aku takut, bukan marah.”
"Takut apa?”
“Takut kehilangan kamu lagi.”
Rianti langsung diam, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, lalu meraih tangan Bram.
“Aku janji akan nurut, asal kadang-kadang boleh curi mie dikit.”
Bramantya tertawa kecil saat mendengar perkataan dari istrinya.
“Tergantung mood satpam cintanya.”
Mereka berdua pun tertawa pelan sebelum akhirnya kembali ke kamar.
Rianti bersandar di dada Bram sambil berbisik manja:
"Bram, nanti kalau anak kita lahir, jangan marah kalau mereka suka mie pedas juga ya?”
“Kalau begitu, aku sekalian larang kamu ngajarin.”
“Terlambat, mereka udah dengar bau mie-nya tadi.”
“Aduh, semoga anak-anak ini nggak nurun sifat keras kepala ibunya.”
"Justru harus, biar bisa ngelawan bapaknya yang super galak.”
Setelah Itu Bramantya mengajak istrinya untuk kembali tidur.
Pagi itu matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menimpa wajah Rianti yang masih terlelap di pelukan Bramantya.
Aroma sesuatu yang sedap tiba-tiba tercium samar, bukan aroma kopi biasa, tapi mentega, kaldu, dan roti panggang yang renyah.
Rianti mengerjap pelan, lalu menegakkan tubuhnya.
"Hmm, bau apa ini?” gumamnya masih setengah sadar.
Bram muncul di depan pintu kamar, mengenakan apron hitam bertuliskan ‘King of the Kitchen’, rambutnya sedikit berantakan tapi senyumnya menawan.
“Pagi, Ratu Pelamun. Jangan kaget ya.”
“Kamu masak?”
“Nggak sendiri. Aku undang bantuan spesial.”
Rianti mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari suaminya.
Tak lama kemudian, seorang chef terkenal Chef Andra, yang sering muncul di acara kuliner televisi muncul di belakang Bram sambil tersenyum sopan.
"Selamat pagi, Bu Rianti. Suami Anda minta saya datang untuk membuat menu sehat khusus ibu hamil.”
Rianti langsung menutup mulutnya dengan tangan.
“Kamu serius undang Chef Andra ke rumah cuma buat aku?”
“Tentu. Kamu pikir aku tega lihat istriku ngidam mie pedas terus? Sekarang saatnya makan enak dan sehat.”
Rianti tertawa geli, pipinya memerah.
“Aduh, Bram… kamu ini, bisa-bisanya.”
Beberapa menit kemudian, dapur rumah berubah seperti studio masak profesional.
Chef Andra menyiapkan bahan, sementara Bram dengan gaya sok ahli mengiris sayuran di sampingnya.
"Hati-hati, Bram. Jangan sampai jarinya ikut jadi topping.”
“Hei, chef sejati tidak pernah terluka.”
“Itu kata-kata terakhir sebelum panik cari plester, Pak Bram.”
Rianti terpingkal-pingkal, Bram hanya mendengus dan pura-pura fokus memotong wortel berbentuk hati.
Setelah satu jam, meja makan penuh dengan hidangan berwarna-warni:
Sup kaldu ayam bening dengan jamur dan jahe,
Omelet sayur isi keju rendah lemak, Roti gandum dengan selai alpukat dan smoothie buah naga segar.
Chef Andra mempersilakan Rianti duduk.
Bram menyuapkan sendok pertama ke istrinya.
“Silakan dicicip, hasil kolaborasi suami ideal dan chef beneran.”
“Hmm, ini enak banget, serius!”
“Jadi mulai sekarang nggak ada alasan cari mie pedas tengah malam, ya?”
“Tapi bayi kita udah janji bakal jadi pencinta kuliner sejati kayak mamanya.”
Chef Andra terkekeh pelan.
“Kalau begitu, nanti saya siapin kelas privat untuk dua calon food critic kecil di perut itu.”
Rianti tertawa bahagia, dan Bram hanya bisa menggeleng pelan, menatap istrinya dengan penuh kasih.
Selama kamu tersenyum begini, aku rela lakukan apa pun.
Mereka makan bersama dengan suasana penuh tawa dan kehangatan.
Setelah Chef Andra pamit, Rianti bersandar di bahu Bram dan berbisik pelan,
“Terima kasih, suamiku yang luar biasa.”
B up“Terima kasih diterima… tapi tolong, jangan cari mie pedas malam ini.”
Rianti (tertawa): “Janji… kalau kamu masak terus kayak gini.”
Siang itu, suasana rumah Bramantya terasa tenang.
Rianti sedang beristirahat di kamar setelah makan siang, sementara Bram duduk di ruang tamu sambil membaca berkas pekerjaan.
Tiba-tiba suara bel terdengar.
Pelayan rumah segera membukakan pintu, dan seorang wanita dengan wajah lelah namun tetap rapi masuk perlahan.
Tryas.
Bramantya menatapnya dari sofa dengan ekspresi datar.
Ia meletakkan berkas di meja dan berdiri.
“Ada urusan apa kamu datang ke sini, Tryas?”
“Aku tahu aku nggak pantas datang, tapi aku harus bicara, Bram.”
Bram melipat tangan di dada, nadanya tegas.
“Kalau ini soal Prabu dan Linda, aku tidak akan mencabut laporan. Mereka sudah menculik istriku.”
Tryas menahan napas, suaranya bergetar.
“Aku tahu mereka salah, Bram. Tapi aku mohon… tolong cabut laporannya.”
“Alasannya?”
Tryas menggigit bibir, lalu dengan gemetar menyentuh perutnya yang mulai membesar.
“Aku hamil, Bram. Anak Prabu.”
Bram terdiam sejenak. Tatapannya berubah, antara terkejut dan bingung.
"Hamil?”
“Iya. Aku baru tahu beberapa minggu lalu. Aku sudah coba hubungi Prabu, tapi dia menghilang setelah kejadian itu. Aku nggak tahu harus bagaimana.”
Bram menarik napas panjang, lalu menatapnya lebih lembut tapi tetap tegas.
“Kamu tahu apa yang dia lakukan pada Rianti, kan? Kalau aku cabut laporan, mereka bebas, Tryas. Kamu yakin ingin anakmu tumbuh dengan ayah yang seperti itu?”
“Aku cuma nggak mau anakku lahir tanpa ayah, Bram. Aku nggak membela perbuatannya, tapi aku mohon, setidaknya beri dia kesempatan memperbaiki kesalahannya.”
Bram menghela napas berat, berjalan memutar sambil memijat pelipisnya.
Ia tahu Tryas tidak bersalah dalam masalah ini, tapi permintaannya bukan hal kecil.
“Tryas, aku akan pikirkan. Tapi aku tidak bisa janji. Ini bukan cuma soal aku ini soal Rianti, dan keadilan buat dia.”
Tryas menatapnya penuh harap kepada Bramantya.
“Terima kasih, Bram. Aku tahu kamu orang baik. Aku cuma ingin anak ini tumbuh tanpa kebencian.”
Dari tangga, Rianti yang ternyata sudah bangun berdiri diam mendengar percakapan itu.
Tangannya refleks menyentuh perutnya sendiri yang juga sedang mengandung.
Ia menatap Tryas dengan perasaan campur aduk antara iba, marah, dan kasihan.
“Kamu hamil, Tryas?”
Tryas menoleh, matanya membesar melihat Rianti yang berdiri di sana dengan gaun santai rumah.
“Iya, Kak. Aku nggak bermaksud menyusahkan kalian.”
Rianti berjalan perlahan mendekat, lalu berhenti di depan Tryas.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Prabu. Tapi kalau kamu benar-benar ingin anakmu punya masa depan, berhentilah membela orang yang hampir menghancurkan hidup orang lain.”
Air mata Tryas jatuh deras.
“Aku cuma ingin anakku lahir tanpa dendam…”
Rianti menatapnya lama, lalu menoleh ke arah Bram.
“Bram, biar aku yang bicara dengan polisi. Tapi jangan hari ini.”
Bram menatap istrinya lembut, memahami maknanya.
Ia tahu hati Rianti masih terluka, tapi juga tahu istrinya tidak pernah tega melihat orang lain menderita.
“Baik, Sayang. Kita pikirkan bersama.”
Tryas menutup mulutnya, menangis haru sambil berterima kasih berkali-kali.
Sementara itu, Rianti memegang perutnya dan berbisik lirih dalam hati:
“Semoga anakmu dan anakku sama-sama tumbuh dalam kedamaian, bukan kebencian.”