NovelToon NovelToon
SHE LOVE ME, I HUNT HER

SHE LOVE ME, I HUNT HER

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Dokter / Transmigrasi / Idola sekolah
Popularitas:24.5k
Nilai: 5
Nama Author: Noveria

Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.

Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.

Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?


cover by perinfoannn

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persahabatan

Reza berlari di jalanan malam yang sunyi, bahunya bergetar menahan isak yang lolos. Setiap kali mencoba menarik napas lega, bayang-bayang ayahnya mencengkeram benaknya. Kali ini, kesabarannya benar-benar habis. Ayahnya, dengan kekuasaan dan ambisi yang tak terbatas, tega menyewa preman untuk mencelakai Aries, sahabatnya. Lebih dari itu, tindakan keji itu menghancurkan impian Leo untuk kembali ke klub Judo, mimpi yang terancam pupus setelah operasi.

Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke sebuah rumah yang familiar. “Sial,” gumamnya lirih. Kakinya maju mundur, ragu-ragu.

Bukan pertama kalinya ia menyelinap masuk ke rumah sahabatnya ini. Dulu, saat masalah di rumahnya terasa terlalu berat, Reza sering muncul di tengah malam, mencari perlindungan di sofa depan TV.

Ibu sahabatnya, yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri, tak pernah mengunci pintu belakang. Beliau tahu, Reza membutuhkan tempat untuk melarikan diri sejenak dari masalahnya.

Kriet... pintu terbuka perlahan. Sunyi dan gelap. Reza masuk, langsung merebahkan diri di sofa empuk. Dilepasnya seragam sekolahnya, hanya menyisakan celana boxer dan kaos dalam putih. Tasnya dipeluk sebagai bantal.

Lelah dan kantuk menyerangnya, membawanya ke alam mimpi. “Numpang tidur, Ries…” bisiknya sebelum matanya terpejam rapat.

Esok harinya...

Mentari pagi belum lagi merekah sempurna, seorang remaja berusia 17 tahun berbaring gelisah di lantai dingin. Insomnia sudah menjadi teman setianya. “Sudah hampir empat belas hari aku nggak tidur, kenapa nggak pernah ngantuk, ya?" gumam Agatha, berguling-guling di lantai seperti sosis yang dipanggang.

Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela, membawa kehangatan yang membias di kamar. Cahaya lembut itu menyentuh dada Agatha yang hanya terbalut kaos dalam, karena semalaman ia merasa gerah.

“Mandi dulu, lalu sekolah, dan pulang menjenguk Larast,” gumam Agatha sambil bangkit duduk, matanya menyipit terkena pantulan cahaya matahari.

Ia berdiri, membuka pintu kamar sambil merentangkan tangan, meregangkan otot-ototnya yang kaku.

Pandangannya terhenti pada sepasang kaki yang bertengger di sandaran sofa. “Siapa itu? Ayah sepertinya langsung balik ke kantor semalam,” pikirnya. Penasaran, Agatha mendekat ke ruang TV.

“Zzz... khrr... zzz…”

Semakin dekat, suara dengkuran semakin jelas terdengar. Agatha melangkah hati-hati.

Dan...

“Heh! Ngapain di sini?” Agatha menarik tas yang menjadi bantal Reza dengan kasar, membuat Reza terlonjak kaget.

Reza membuka mata lebar, lalu kembali memejamkan nya. Ia menarik tasnya dari tangan Agatha, kembali menjadikannya bantal.

“Bangun! Salah masuk rumah, ya?” Agatha mengusik tidur Reza lagi, menendang kakinya pelan.

“Berisik, gue mau tidur,” sahut Reza, membalikkan badan, mengabaikan ucapan pemilik rumah.

“Diusir bokap?,” tebak Agatha.

Reza menggeleng. “Enggak, cuma pengen tidur disini,” jawabnya, kembali naik ke sofa, pura-pura tidur.

“Enak saja! Memangnya rumahku ini hotel? Lagian, Bapak Handoko kaya raya, masa anaknya ngungsi,” ledek Agatha.

“Hoaaam…” Reza menguap lebar, membuat Agatha menutup hidungnya.

“Bau jigong! Semalam nggak mandi, ya?” Agatha menginterogasi Reza.

“Nggak sempat, keburu ngantuk.” Reza bangkit dari sofa, berjalan terhuyung ke dapur, mengambil sikat gigi baru di laci paling bawah, seolah hafal setiap sudut rumah Agatha. Lalu, ia masuk ke kamar mandi. Suara gemericik air terdengar dari dalam.

Agatha kembali ke kamar, mengambil handuk sebelum Reza berteriak meminta. Ia juga mengambil satu set kaus dalam dan boxer baru dari lacinya untuk Reza.

“Dari dulu ngerepotin terus tuh bocah,” gerutu Agatha, namun hatinya tetap merasa iba.

“Ries, handuk!” teriak Reza dari dalam kamar mandi.

“Nah, kan! Sudah kuduga, lelet banget. Sudah tahu mau mandi, nggak siap-siap dulu,” omel Agatha, mendekati pintu kamar mandi yang terbuka sedikit. Ia memberikan handuk dan pakaian dalam dari celah pintu. “Nih!”

Beberapa menit kemudian, Reza keluar dari kamar mandi, mengelus perutnya yang keroncongan.

“Laper, Ries,” ucap Reza.

“Lah, emang aku Emak loe, hah?” keluh Agatha, menjitak dahi Reza dengan keras. “Cari sendiri makanan di kulkas, bikin sendiri. Aku aja mandiri kalau nggak ada Emak.”

Reza meringis, lalu membuka lemari es. Ia mengambil sebotol air dingin dan kue cokelat.

“Beneran loe diusir sama Pak Handoko?” Agatha penasaran, kenapa Reza datang tengah malam.

“Gu-gue habis non-nonjok bokap,” jawab Reza dengan mulut penuh kue.

Glek!

Agatha yang sedang minum tersedak mendengar ucapan Reza. “Apa?!”

“Masalah apa lagi? Karena nggak dikasih uang jajan?” tebak Agatha. “Anak jaman sekarang, nggak di kasih uang jajan, bokap nya di tonjok.” Agatha menggelengkan kepalanya.

Reza menggeleng. Kemudian meneguk air di gelas hingga tandas. “Emang loe anak jaman kapan, hah?”

“Cabut yuk, Ries! Bolos sekolah, kita ke Timezone!” ajak Reza. Kakinya melangkah ke kamar Agatha, mengambil kaos dan celana panjang dari lemari Agatha dengan santai. Karena ukuran celana dan kaos mereka sama, Reza selalu mengambil pakaian di lemari Agatha jika menginap.

“Ogah, ah! Kemarin juga sudah bolos. Nanti Ibu negara marah-marah, tantrum enggak jelas. Ngomel dari pagi sampai paginya lagi,” ujar Agatha, menceritakan ibunya yang bisa marah lebih dari 24 jam.

“Yaudah gue pergi sendiri. Gue mau bolos. Nenangin pikiran,” sahut Reza.

“Buset! Umur 17 tahun pikiran apa loe! Makan, tempat tinggal dikasih Pak Handoko, sekolah juga dibayarin. Kaya bapak-bapak tulang punggung keluarga aja,” sindir Agatha.

Reza memasukkan seragam kotornya ke dalam tas, wajahnya lesu dan sedikit pucat. Ia bersiap pergi.

Agatha menatapnya dengan wajah memelas, rasa kasihan bercampur penasaran membuatnya menarik tas Reza. “Tungguin! Aku mau mandi dulu.” Akhirnya, Agatha mengalah.

Agatha kembali masuk ke kamar, mengambil handuk dan pakaian, lalu pergi ke kamar mandi.

Reza duduk di atas tempat tidur, matanya menyapu sekeliling kamar Agatha. Ada rasa cemburu ketika melihat bingkai foto yang terpajang di meja belajar. Foto Pak Haris, istrinya, dan Agatha tampak bahagia dan penuh kehangatan. Sementara, ia hanya hidup dengan rasa ketakutan. Selama ibunya masih hidup, ayahnya selalu berbuat kasar, dan rumahnya diisi dengan pertengkaran setiap malam. Tangisan dan kegelisahan ibunya menjadi pemandangan sehari-hari di rumahnya.

Tiba-tiba, ia merasa lega atas kematian ibunya. “Ibu, sekarang Ibu tidak mungkin menangis dan disakiti lagi, kan,” gumam Reza.

Rasa lega dan bercampur dengan kesepian tepatnya.

Agatha dan Reza keluar rumah setelah mandi, menyusuri jalan setapak menuju halte bus kota.

Pagi itu, langit Jakarta membentang biru, seolah ikut menyemangati petualangan mereka. Di dalam bus yang mulai penuh, keduanya berusaha menyembunyikan diri di balik masker. Bukan karena polusi, tapi karena takut bertemu guru yang bisa saja lewat.

Setelah sekitar setengah jam, bus berhenti di depan Plaza. Agatha dan Reza bergegas turun, jantung berdebar-debar, lalu berjalan cepat menuju pintu masuk mal.

Mereka menaiki eskalator, perlahan membawa mereka ke lantai empat. Begitu tiba di atas, Agatha menarik lengan Reza, mengajaknya keluar dari antrian. Dihadapan mereka, Timezone menyambut dengan gemerlapnya. Pusat permainan itu penuh warna dan suara. Lampu-lampu berkelap-kelip, mesin-mesin berbunyi riuh rendah, dan anak-anak berlarian dengan tawa riang.

Sebuah nostalgia yang diam-diam dirindukan Agatha. Masa-masa sederhana menghabiskan waktu bersama sahabatnya.

Setelah asyik bermain, mereka mencoba Bumper Car. Reza masih duduk di dalam mobil mainan yang bergerak dengan tenaga listrik.

“Ayok, buruan keluar kita coba yang lain!” ajak Agatha, ia menarik tangan Reza.

Reza mendongak, menatap sahabatnya. “Ries, bokap gue ternyata yang nyuruh preman itu.” Rahasia yang dipendam akhirnya terungkap, memecah keceriaan siang itu.

Bersambung.

1
Dewi Ink
aku yakin pasti ketemu. polisi gitu loh😎
Dewi Ink
jahat bgt kamu jadi orang
Dewi Ink
emang dasar bocah 😂 jewer aja bu
Oksy_K
aku kira larast ini tipe yg kalem, wow di luar ekspektasi. bagus bgt thor😂🤭
Oksy_K
jgn terlena dulu agatha, pembalasanmu belum berakhir
Oksy_K
hajar terus jgn kasih kesempatan😂
Oksy_K
wkwk hajar sampe babak belur, dan putus hubungan juga. jgn mau punya temen yg nusuk dari belakang kek reza
Nuri_cha
hmm... gombal. bentar lagi larast bakal jd adik kamu. jd terbangnya jgn tinggi2 ya ries
Nuri_cha
hahaha... bisa jadi, ries
Nuri_cha
agtha nih, tangannya gak mau diem bgt ya
Nuri_cha
harus dipanggil bapaknya dulu, Agatha baru mau nurut
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝
ngak benjol kan kepalamu agatha? 🥴🤣
Xlyzy
ah bos uang mu boleh banyak sekarang tapi liat aja nanti pas kau mati ga ada gunanya tu uang
sunflow
semangat ries..
sunflow
waduh .... jalan buntu. pinjem pintu doraemon ris
rokhatii
kasian ternyata reza😭
rokhatii
ayo baikan😄😄
Dasyah🤍
wkwk Dia punya kekuatan super makanya lari dia laju 🤣
Dasyah🤍
wkwkwk jangan gitu dong saking Pengen nya kamu mengulang kembali Waktu sampai kejedot kan ( nada bercanda)😭🤣
TokoFebri
sepertinya tidak pak Haris.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!