NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keheningan Setelah Badai

Malam turun pelan-pelan di luar jendela asrama, mengubah langit menjadi kanvas hitam pekat yang ditaburi bintang samar. Lampu-lampu jalan di halaman memercik cahaya kuning pucat, membentuk lingkaran-lingkaran redup di atas aspal yang masih menyimpan sisa panas siang tadi.

Di dalam kamar, aku duduk di sudut ranjang dengan lutut terlipat, ponsel tergeletak di samping bantal. Layarnya beberapa kali menyala—menampilkan nama Nick, lalu kembali padam.

Deringnya sudah berhenti, tapi gema suaranya masih terasa di dalam dadaku.

Aku tidak mengangkatnya. Bukan karena aku ingin menghukumnya, tapi karena aku tidak tahu harus berkata apa jika suaranya kembali mengisi telingaku. Aku takut… takut jika kata-kata yang keluar dari bibirku hanya akan melukai kami berdua.

Nina duduk di meja belajar, pura-pura sibuk dengan catatan kuliahnya, tapi aku tahu matanya beberapa kali melirik ke arahku. Suara kipas angin berputar malas di langit-langit, seperti menandai waktu yang bergerak lambat.

Lalu, dari jauh, aku mendengar derap langkah cepat di koridor. Semakin lama semakin jelas, diikuti ketukan keras di pintu.

Tok! Tok! Tok!

Nina berdiri dan menoleh ke arahku, alisnya sedikit berkerut.

"Siapa malam-malam begini?" gumamnya, berjalan ke pintu.

Begitu ia membuka, sosok yang berdiri di ambang membuat udara di dalam kamar seperti berubah. Nick.

Berdiri dengan napas sedikit terengah, jaketnya terbuka, rambutnya berantakan seolah ia berlari dari ujung dunia hanya untuk sampai ke sini. Matanya menyapu seisi kamar, lalu berhenti padaku.

"Nora… di mana dia?" suaranya serak, memecah keheningan.

Nina menatapnya sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuklah!"

Nick melangkah masuk, langkahnya mantap tapi matanya gelisah. Wangi udara malam dan parfum samar yang kukenal ikut masuk bersamanya. Ia berdiri di tengah kamar, seakan jarak dua meter antara kami adalah jurang yang tidak tahu bagaimana ia bisa sebrangi.

"Aku sudah meneleponmu puluhan kali.", suaranya terdengar berat, nyaris seperti keluhan tapi lebih terdengar seperti pengakuan ketakutan. "Kenapa kamu tidak menjawab?"

Aku menelan ludah. Tanganku yang berada di atas lutut mengepal tanpa sadar. "Aku… tidak tahu harus bilang apa, Nick."

Ia melangkah lebih dekat, lalu berhenti di tepi ranjang, menunduk sedikit untuk menemukan mataku yang menolak menatapnya.

"Aku tidak tahan kalau kamu menghilang seperti tadi, Nora. Aku—", ia menarik napas panjang, seperti menahan sesuatu yang terlalu besar untuk ditahan. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku tetap di sini. Untuk kamu."

Suaranya pecah di ujung kalimat. Aku akhirnya mengangkat wajah, dan di sana, di matanya, aku melihat sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa bersalah. Ada ketakutan kehilangan. Ada permohonan untuk diberi kesempatan. Ada cinta yang sedang berusaha tidak jatuh berantakan.

Aku tidak menjawab. Hanya duduk diam, menatapnya, mencoba memahami apakah jarak ini bisa dijembatani, atau memang harus dibiarkan menjadi batas.

Nick menarik nafas panjang, menunduk sedikit, seolah menimbang kata-kata yang keluar dari bibirnya. "Nora… aku tahu, aku jauh dari kata sempurna, tapi… aku hanya mencintaimu, Nora. Hanya kamu. Aku dan Alice... sungguh tidak ada apapun di antara kami. Aku hanya ingin membantunya."

Aku menggigit bibir, menahan getaran suara. "Aku tahu, Nick… aku tahu kamu pria yang baik. Sungguh. Tapi… kadang kebaikanmu itu terlalu berlebihan. Terlalu banyak yang kamu berikan kepada orang lain, terutama Alice."

Matanya berkedip, wajahnya menegang. "Aku… aku hanya ingin menolong. Aku tidak pernah… aku tidak pernah bermaksud membuatmu sakit."

Aku menelan ludah, menatapnya dengan mata yang hampir basah. "Tapi, Nick… itulah yang terjadi. Hatiku hancur melihatmu begitu peduli pada Alice, sementara aku merasa… aku tidak cukup untukmu. Aku merasa tersingkir dari hatimu, walaupun aku tahu kamu tidak bermaksud begitu."

Nick mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Nora… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Aku… aku hanya ingin kamu percaya padaku."

"Aku ingin percaya, Nick. Aku ingin… aku ingin kita baik-baik saja.", suaraku pecah di ujung kata. "Tapi rasanya tidak mudah. Aku… aku takut terus terluka. Aku takut kebaikanmu untuk orang lain, yang seharusnya untuk mereka, malah mengikis rasa aman yang seharusnya ada untukku."

Ia menunduk, menatap tanganku yang tergenggam di pangkuanku. "Aku… aku mengerti, Nora. Aku akan belajar, aku akan… mencoba menahan diri."

"Nick, aku ingin kamu memiliki batasan. Batasan yang jelas… terutama pada Alice. Hatiku sakit… bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi karena aku merasa… aku kalah dari kebaikanmu yang kamu berikan pada orang lain."

Nick terdiam. Sorot matanya lembut tapi penuh penyesalan, seperti menelan sesuatu yang terlalu pahit. "Nora… aku… aku ingin kamu tahu, kamu satu-satunya yang aku sayangi. Aku tidak mau ada yang merusak apa yang sudah kita miliki saat ini."

Aku menunduk lebih dalam, suara bergetar. "Aku ingin percaya itu… aku benar-benar ingin. Tapi malam ini… rasanya hatiku terlalu sakit. Aku… aku hanya bisa duduk di sini, merasakan semua ini dan berharap… berharap nanti aku bisa mengerti dan memaafkan."

Nick menatapku, tak berkata apa-apa. Diamnya bukan dingin, tapi penuh kesedihan dan ketidakberdayaan. Ia hanya berdiri di situ, jaraknya satu langkah terlalu jauh dari hatiku, namun satu langkah juga terlalu dekat untuk dijangkau.

Kami berdua terdiam, membiarkan keheningan malam menggantung di antara kami. Hatiku penuh luka, dan matanya penuh penyesalan. Malam itu… tidak ada pelukan, tidak ada kata manis. Hanya ada jarak, dan rasa sakit yang belum siap disembuhkan.

"Maaf, Nick. Aku butuh waktu.", kataku lirih, dengan hati yang perih.

Nick tidak langsung menjawab. Hanya berdiri di sana, menatapku seolah sedang mencari celah kecil untuk menembus tembok yang baru saja kubangun di antara kami. Bibirnya bergerak pelan, seperti hendak berkata sesuatu lagi, tapi ia urungkan.

Akhirnya, dengan langkah yang terasa berat, ia mundur selangkah, lalu berbalik menuju pintu. Suara sepatunya di lantai kayu terdengar terlalu keras, memantul ke dinding, seakan setiap hentakan adalah peringatan bahwa ia semakin jauh dariku.

Sesaat sebelum keluar, Nick berhenti di ambang pintu. Bahunya turun, kepalanya menunduk, lalu ia berbisik pelan—nyaris seperti doa yang tak ingin benar-benar kudengar.

“Maaf, Nora...”, ucapnya lirih, sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkanku sendiri di dalam kamar asrama.

Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan keheningan yang terasa asing.

Aku terduduk di tepi ranjang, memeluk lututku sendiri. Rasanya seperti baru saja selesai menghadapi badai, tapi justru serpihan-serpihannya masih berputar di dalam dadaku.

Nick… aku tahu dia pria baik. Terlalu baik, bahkan. Dan justru di situlah masalahnya.

Kebaikannya yang tak pernah mengenal batas. Kepeduliannya yang kadang membuatku bertanya— apakah aku cukup penting baginya? Atau aku hanya salah satu dari sekian orang yang ia jaga, sama seperti Alice?

Tanganku bergetar saat menyentuh dada, mencoba menenangkan degup yang tak mau berhenti. Aku ingin percaya padanya, ingin menyerahkan seluruh hatiku tanpa ragu. Tapi luka lama itu—luka ditinggalkan tanpa alasan—belum sepenuhnya sembuh. Aku takut.

Terlalu takut.

"Apa aku bisa?", bisikku pada ruang kosong. "Apa aku bisa menerimanya, dengan semua kebaikan yang tak mengenal batas itu?"

Air mata akhirnya jatuh, panas, membasahi pipiku.

Aku ingin bersandar padanya. Tapi bersamaan dengan itu, aku juga ingin berlari sejauh mungkin, sebelum hatiku kembali hancur.

Dan di tengah keheningan malam itu, hanya ada suara nafasku yang bergetar, dan hati yang tak tahu harus memilih percaya… atau melindungi diri sendiri.

Pintu kamar terbuka perlahan, lalu wajah Nina mengintip dengan hati-hati. “Dia sudah pergi?”, tanyanya pelan.

Aku hanya mengangguk, masih duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk. Helaan napasku terdengar lebih berat dari biasanya.

Nina masuk sepenuhnya, menutup pintu, lalu mendekat tanpa berkata apa-apa. Dia duduk di sebelahku, diam sebentar, lalu menepuk pundakku dengan lembut. “Hei… It's okay, Nora. Kamu bisa menangis sampai perasaanmu lebih baik. Aku disini... untuk menemanimu.”

Awalnya aku hanya menggigit bibir, mencoba menahan semuanya. Tapi tatapan Nina—yang tulus dan penuh kesabaran—membuat bentengku runtuh. Suaraku pecah saat akhirnya keluar.

“Kenapa harus seperti ini, Nina? Di saat aku sudah merasa begitu bahagia bersama Nick. Kenapa badai tiba-tiba datang dan menghancurkan semuanya?”

Nina meraih tanganku, menggenggam erat. “Nora, terkadang badai datang untuk membuat sebuah hubungan menjadi jauh lebih kuat.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan tangis. “Tapi, aku takut, Nina. Luka lama itu...belum sepenuhnya sembuh… dan aku takut Nick juga akan meninggalkan luka yang baru.”

Nina tak menjawab seketika. Dia membiarkan aku menangis sejenak, mengusap punggungku perlahan. “Nora... mungkin aku tidak bisa menjanjikan bahwa Nick tidak akan pernah membuat hatimu sakit. Tapi aku bisa melihat dari caranya memandangmu. Aku percaya kalau itu... berbeda. Aku yakin dia serius denganmu. Aku yakin hanya kamu yang ada di dalam hati dan pikirannya.”

Aku menoleh padanya, dengan mata sembab. “Tapi... kalau ternyata Nick juga akan meninggalkan luka, aku tidak yakin akan bisa bangkit lagi seperti sebelumnya.”

Nina tersenyum lembut, lalu menarikku ke dalam pelukannya. “Kalau itu sampai terjadi, kamu tidak akan sendirian. Aku di sini. Sarah juga. Kamu memilki kami, yang menyayangimu, Nora. Tapi, kumohon jangan pernah hukum dirimu sendiri karena masa lalu. Kamu berhak bahagia.”

Aku terisak di pelukannya, merasa hangat dan tenang untuk pertama kalinya malam itu. Walau ketakutan masih ada, pelukan Nina membuatku sadar—aku tidak benar-benar sendirian lagi.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!