Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman itu membuka pintu kebablasan (2014)
Aku menekan walky talkie untuk memanggil Udin.
"Ya, Bu?," jawab Udin medok
"Din, tolong belikan Ibu nasi Padang ya. ibu ada tamu yang harus dijamu,"
"Berapa, Bu?,"
"Tiga. Nanti ambil uang nya di sini,"
Eits, tunggu sebentar. Tiga ? Maksudnya untuk tiga orang? Bukannya tadi niatnya hanya undang Anthon? Bisa-bisanya dengan lancar memesan tiga nasi Padang.
Pintuku diketuk. Pasti Udin.
"Masuk," perintah ku
"Izin ambil uang, Bu,"
Aku pun menyerahkan uang 100 ribu.
"Bu, ini tiga kan nasi Padang nya," Udin bertanya lagi
"Iya, tiga. Kalau ada kembalian ambil aja," tuh kan tetap tiga jawabku.
Udin datang membawa tiga kantung plastik berisi nasi Padang.
"Kamu udah makan, Din?,"
"Udah, Bu, aman. Tadi nyambel di belakang," jawab Udin
"Oiya, tolong buatkan teh manis juga ya, Din?,"
"Tiga juga ya, Bu?,"
"Iya, tiga,"
Hadeh, benar kan. Semua sudah di setting untuk tiga orang. Apa maunya isi dalam otak ku ini sebenarnya.
"Baik, Bu. Mau buat teh manis dulu," Udin pun keluar. Tak lama pintuku di ketuk lagi.
"Maaf, Bu. Ada tamu. Dua orang laki-laki," ujar Udin dari balik pintu yang terbuka setengah
"Suruh masuk, Din,"
Dan inilah saat mendebarkan itu. Anthon masuk bersama Rai.
"Wah ademnya. Gila, di luar panas banget," ujar Anthon begitu masuk di ruangan ku
"Mari masuk," ajak ku.Aku bangkit dan mendekati meja bulat yang biasanya aku gunakan untuk meeting.
Rai masih diam tak bicara. Dia memperhatikan ruangan ku. Matanya berhenti di bingkai yang berisi mawar putih yang dikeringkan.
"Mawar putih yang dikeringkan," gumamnya
"Iya. Dikirimkan orang tidak dikenal ke penginapanku beberapa bulan lalu," aku ketus
Air wajah Rai berubah.
"Wah, ada naspad," seru Anthon
"Iya, tadi dibelikan Udin,"
"Kamu beli 3 ya Ty," pancing Rai
"Tadinya untuk Udin juga, tapi dia gak mau. Udah nyambel katanya. Jadi yah sudah Udin taruh di sini juga," aku mengelak padahal dari tadi 3 terus jawabanku.
Lanjutku, "Ayo makan dulu. Pasti sudah lapar,"
Tidak lama Udin mengantarkan teh manis.
"Tiga kan, Bu seperti yang ibu bilang tadi?,"
Shitt,.Udin kenapa harus bilang begitu, batinku.
Aku hanya mengangguk dengan senyuman kecut.
Aku duduk di depan Anthon dan Rai.
"Kita sudah bisa makan, Ty?," Anthon sepertinya sudah lapar
"Sudah dong, Ayo makan," ujarku sambil menaruh sendok di piring Anthon dan tentunya Rai. Jangan lupa, hatiku sekarang sedang tidak karuan
"Kapan melahirkan, Ty?,"
Duh, jawab gak yah. Gak jawab juga gak sopan, menjawab juga dikira aku sudah mulai membuka pintu untuk bisa lancar berkomunikasi dengannya.
"Kayaknya gak lama lagi ya, Ty?," Anthon sepertinya memahami gejolak hatiku untuk menjawab Rai
"Iya," jawabku singkat
"Kariermu makin bagus, Ty. Perusahaan ini juga makin maju," Anthon berujar
"Sekarang lagi ada krisis internal, Thon. Kacab baru gak bisa menyesuaikan dengan kondisi di sini. Akibatnya banyak kebijakannya yang berdampak buruk bagi cabang," tandasku
"Kacab lama, siapa sih namanya, Marsen, Marsel,"
"Pak Marsel,"
"Nah itu, udah pindah rupanya?,"
"Iya, dipromosikan jadi manager pusat,"
"Wah, keren tuh. Aku pikir kamu yang bakalan ganti, Ty,"
"Susah Thon, persaingan di pusat cukup ketat. Aku gak ada link orang dalam pusat masalahnya,"
"Tapi kamu kan berprestasi," kami mengobrol sembari makan
"Prestasi aja gak cukup. Harus ada the power of ordal. Orang dalam,"
"Kenapa kamu gak istirahat, Ty. Kamu lagi hamil besar?," pertanyaan itu sontak membuatku menengok ke arah Rai dan mata kami pun beradu. Deg. Mata itu ya Tuhan.
Aku berdehem dan mengambil teh manisku.
"Belum ada yang bisa gantikan aku," jawabku selesai meminum teh manis
"Itu kan urusan perusahaan. Kalau ada apa-apa denganmu siapa yang akan tanggung jawab. Peristiwa di Bandung contohnya. Kayaknya kehamilanmu kali ini cukup berisiko," Rai berujar
Ya Tuhan, dia memperhatikan ku sedetail itu. Dia mengkhawatirkan ku. Aku harus senang atau sedih sih ini.
"Susah cari pekerjaan sekarang," jawabku ngasal aja
"Lebih susah dapetin kamu, Ty," kata-kata itu membuat aku dan Anthon tersedak bersamaan dan serentak mengambil teh manis untuk diminum.
Mungkin orang lain tidak akan tahu rasanya jadi aku saat ini. Dan aku pun sulit untuk menjelaskan.
Makan siang itu berlangsung agak canggung. Hingga mereka berdua pamit.
Aku berdiri di depan pintu kaca lobi utama.
"Makasih ya, Ty. Sehat-sehat kamu. Ambil waktu istirahat kalau udah capek," ujar Anthon lalu memelukku
"Siap, bos," kataku dalam pelukannya
"Makasih sudah ditraktir, Ty," Rai mengambil ancang-ancang untuk memeluk ku, aku segera mengulurkan tangan kanan ku. Rai melihat sekilas dan membalas jabatan tangan ku.
"Sama-sama, ujarku. Eh, tapi kenapa dia tidak melepas tangan ku. Aku coba sedikit menarik tangan ku tapi Rai menahannya. Apa-apaan ini.
"Aku tetap akan menunggu. Bagaimana pun keadaan mu dan sampai kapan pun. Tidak akan berubah," Rai berbicara dengan tenang seperti biasa sambil menatap ku. Gak mungkin gak salting di situasi ini. Apalagi di lobi itu ada orang lain yang juga menatap adegan sok romantis itu. Aku melirik sedikit ke arah Icha dan Stella. Mereka segera membuang pandangannya dari padaku.
"Ehm, ayo Rai. Nanti kita ketinggalan rombongan," ajak Anthon. Dia sudah membaca situasi ini jadi dia segera berinisiatif untuk mengajak Rai pergi. Rai melepaskan tanganku dan tersenyum. Aku melongos. Huft, apa-apa ini.
"Ibuuuu, astaga, itu tadi siapa?," seru Icha sambil senyum-senyum
"Kayak di sinetron Indosiar, aku akan menunggumu," Stella menirukan gaya bicara Rai
"Sstt, apa sih kalian. Anggap gak liat aja adegan yang tadi," aku menghampiri area front office
"Tapi dia siapa, Bu? Jangan-jangan dia yang dimaksud dalam cerita desas-desus yang ku dengar," Icha tersenyum nakal
"Desas-desus apa sih, Cha?," tanya Stella
"Itu loh, katanya Bu Christy dikejar-kejar mantannya yang gak bisa move on dari Bu Christy," jawab Icha
"Iihhhh, so sweet banget. Dia tetap bilang seperti tadi dengan kondisi ibu lagi hamil, aku belum pernah liat loh Bu di dunia nyata yang seperti ini. Bagi tips dong Bu biar pacar kita bucin," goda Stella
Aku menggelengkan kepala.
"Kalian tuh ya," lanjutku ,"Untuk jadi bucin itu gak bisa di setel atau ada tips nya. Itu harus lahir dari hati yang paling dalam,"
"Berarti dia sangat mencintai Ibu. Kenapa putus sih Bu yang lalu? Yang mutusin siapa?," Stella antusias bertanya
"Mau tau aja kamu, La. Intinya, saya mau bilang sama kalian berdua. Pacaran sama cowok tuh harus ada batasan. Karena kalau sudah kelewat batas dan kalian jatuh, kalian gak ada pilihan lain selain menikah dengan cowok yang sudah membuat kalian jatuh. Padahal mungkin itu bukan jodoh kalian," jawabku
"Nah tuh dengar La," celetuk Icha, lanjutnya, "Stella Bu barusan dikasih tas mahal sama pacarnya dan pacarnya minta dicium,"
"Ciuman itu membuka pintu untuk kebablasan. Sebelum kamu memutuskan untuk memberi bagian tubuh mu sama cowok, pastikan bahwa kamu sudah mengenal dia baik-baik dan memang dia yang akan menjadi pendamping hidupmu. Kalau belum, lebih baik jangan. Karena bermesraan saat pacaran itu candu," ujarku
"Tuh dengar, La. Waktu itu kamu kasih dia cium kamu gak?," goda Icha
"Ada deh," ujar Stella sambil terkekeh