Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Dua Jiwa yang Retak dan Kesepian yang Mendalam
Sepanjang perjalanan menuju Camp Karst, Noir benar-benar membisu. Dia adalah patung yang terbuat dari keputusasaan. Bahkan ketika budak-budak lain di sekitarnya saling menyentuh, mencari kenyamanan dalam kesengsaraan bersama, Noir tidak menunjukkan minat.
Rantai di lehernya dan di pergelangan tangannya bergemerincing setiap kali kereta berderak, menciptakan irama yang mengerikan, sebuah lagu dari penderitaan. Udara di gerbong kargo itu berat, dipenuhi bau keringat, tanah basah, dan karat besi.
Para budak lain berbicara dengan lirih—sebagian saling menguatkan dengan janji-janji kosong, sebagian mengeluh atau berdoa dalam bisikan—tapi tidak satu pun suara yang sampai ke telinga Noir.
Pikirannya sudah terlalu sibuk. Dia duduk bersandar pada dinding kayu, membiarkan tubuhnya terbawa oleh getaran roda yang terus-menerus. Matanya memang tampak kosong, namun di dalam kepalanya, kesadarannya bekerja tanpa henti. Ia menghitung setiap langkah, setiap guncangan, setiap tikungan.
Dia mengingat setiap bentuk pohon yang dilalui, mencatat arah sinar matahari di setiap belokan. Bukan karena dia ingin melarikan diri saat ini—bukan itu yang ada di pikirannya—tapi karena dia tidak ingin buta arah saat waktunya tiba.
Para budak lain mulai menyadari keanehan Noir. Beberapa menganggapnya sombong karena dia tidak mau berbagi rasa sakit. Ada pula yang mengira dia gila karena sorot matanya yang tidak ada. Tapi mereka segera berhenti peduli. Setiap orang sudah cukup sibuk dengan rasa takut mereka sendiri terhadap tempat yang dituju—Gunung Api Karst, dan dungeon misterius yang baru saja muncul.
Salah satu budak wanita yang duduk paling dekat dengan Noir, seorang wanita muda dengan bekas luka cambuk yang mengukir punggungnya, sempat menatap Noir lama. Lalu dia bergumam lirih, seolah berbicara kepada diri sendiri:
"Orang sepertimu biasanya tak bertahan lama." Noir tak menanggapi. Bahkan tak melirik. Tapi dalam dadanya, sesuatu bergetar pelan.
"Tapi aku tak berniat bertahan," batinnya.
"Aku hanya menunggu... untuk menghancurkan segalanya."
Malam itu, angin gurun dari Karst membawa hawa dingin yang menggigit. Di tengah keramaian kamp pasukan kerajaan, di antara obor-obor yang menyala redup dan bayang-bayang tenda yang bergetar diterpa angin, tenda milik Liora Blackshade tetap tegak—terpencil, namun memancarkan aura otoritas yang tak terbantahkan.
Di dalamnya, suasana terasa jauh berbeda. Lilin aromatik menyala di sudut-sudut, melemparkan bayangan lembut pada dinding kain, dan aroma herbal yang samar menguar dari cangkir teh yang mengepul. Liora duduk di atas dipan lapis kulit, sebagian tubuhnya masih terbalut zirah, helmnya telah dilepas, dan rambut hitamnya terurai.
Matanya tertuju pada Noir yang berdiri di dekat pintu tenda, masih dalam pakaian pelayan. Diam. Tunduk.
Liora menghela napas, dan untuk sesaat wajahnya melunak.
"Kau tetap sepi seperti malam pertama kita bertemu, Noir..." ucapnya, suaranya mengalun lembut.
Noir tak menjawab. Tatapannya kosong, seperti jiwa yang tertinggal entah di mana. Liora bangkit, berjalan perlahan mendekatinya. Tangannya yang terbungkus sarung kulit menyentuh dagu Noir, mengangkatnya perlahan.
"Apa yang harus kulakukan agar kau melihatku bukan sebagai musuh?"
Tatapan mereka bertemu. Dalam sorot mata Noir, ada sisa luka, amarah, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sebuah kegelapan yang begitu familiar bagi Liora. Malam itu, Liora tidak seperti biasanya. Ia tidak mendominasi, tidak memerintah.
Ia hanya... diam di samping Noir. Mereka duduk bersama, kemudian membagi kehangatan di tenda yang remang. Tak ada kata-kata manis atau rayuan palsu. Hanya dua jiwa yang rusak, saling mengisi kekosongan satu sama lain... untuk sesaat.
Liora menyandarkan kepalanya di bahu Noir, seolah mencoba menemukan kedamaian dalam keheningan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang telah kehilangan segalanya.
Dan Noir... hanya memejamkan mata. Malam itu panjang, dan meski dunia di luar tenda dipenuhi hiruk pikuk perang dan ambisi, di dalam tenda itu—waktu seakan berhenti sejenak.
Saat Liora sibuk memimpin ekspedisi di dalam dungeon Karst, menjalankan misinya sebagai petualang kelas atas dan pemimpin regu, tenda-tenda belakang kamp menjadi sedikit lebih lengang. Dan itulah saat John Vale menyelinap masuk, diam-diam, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang dari kehidupan Noir.
John datang di malam hari—selalu saat waktu bergulir lambat dan langit dipenuhi bintang mati. Tak ada suara langkahnya saat dia masuk ke tenda kecil milik pelayan. Tak ada salam. Hanya tatapan yang berbicara lebih dari cukup.
"Kau makin sulit dijangkau," bisik John, suaranya serak oleh keinginan yang ditekan.
Noir tak menjawab. Dia hanya menoleh pelan, seperti boneka retak yang tahu dirinya bukan milik siapa pun—namun tetap ditarik dari berbagai arah. John duduk di dekatnya, jarak mereka hanya sehembusan napas.
Tangannya terulur, ragu, lalu menyentuh jari-jari Noir—mencoba mengingat bentuknya, seolah takut itu akan hilang.
"Aku... rindu," ucap John akhirnya. Dan kali ini, tak ada nada memaksa. Hanya kejujuran yang getir.
John Vale, sang pejabat berkuasa, hanyalah pria kesepian di tengah malam yang dingin. Namun Noir hanya menatap John seperti menatap hantu. Seseorang dari masa lalu yang tak ia undang... tapi tak bisa dihindari.
Malam-malam itu pun berlalu begitu saja. John akan duduk di sana, terkadang menyandarkan kepalanya di pangkuan Noir seperti anak kecil kelelahan. Kadang hanya diam, hanya ingin merasakan kehadirannya. Tak ada tawa. Tak ada cinta. Hanya kesepian yang berbalut tubuh dua manusia yang retak.
Dan setiap kali pagi datang, John pergi tanpa jejak—kembali menjadi pejabat benteng, mengenakan topeng kehormatan, sementara Noir tetap di sana... mengenakan topeng diam, seperti biasa.
Kedua pria itu, yang seharusnya saling membenci, terikat oleh benang kesepian yang tak terlihat, sementara Noir tetap berada di tengah, menunggu saat yang tepat untuk memutus semua benang itu.