Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan dalam pelukan Raka.
Rumah mewah milik keluarga Anindya terasa begitu lapang dan tenang. Matahari menyorot lewat jendela besar, menyinari lantai marmer yang berkilau. Namun ketenangan itu tidak pernah bisa bertahan lama jika ada Mbak Sri di dalam rumah.
Dan kali ini, Mbak Sri mendengus saat melihat Rosalina dengan wajahnya yang masih pucat, justru sedang sibuk berjongkok di lantai ruang tamu, dengan kain lap yang ada di tangannya dan membersihkan meja serta vas bunga.
"Astaghfirullah, Nduk! Rosalinaa… kamu itu ngapain sih?!" suara Mbak Sri melengking, membuat Rosalina menghentikan gerakan tangannya.
Rosalina menoleh pelan, sembari tersenyum samar, dan senyumnya itu lebih mirip senyum seseorang yang ingin meminta maaf.
"Saya cuma ingin membantu bersih-bersih, Mbak. Rumah ini besar sekali. Saya… nggak enak kalau cuma diam saja."
Mendengar perkataan Rosanila itu, Mbak Sri langsung menepuk jidatnya sendiri.
"Ya Allah, Gusti! Baru juga semalem kamu pingsan seperti adegan didalam sinetron, sekarang malah gaya-gayaan jadi pembantu. Kamu pikir rumah Bu Anindya ini kekurangan orang ya? Ada pembantu khusus untuk bersih-bersih, dan ada juga tukang kebun, ada tukang masak. Lha kamu itu siapa? Tamu! T-a-m-u! Bukan pekerja kontrak!"
Rosalina menunduk, dan masih berusaha melanjutkan kegiatannya.
"Saya takut jadi beban, Mbak. Kalau saya kerja, setidaknya ada yang bisa saya lakukan."
Mbak Sri melotot kearah wanita cantik itu.
"Hah, beban? Beban apaan to nduk? Kamu tuh bukan karung beras, kok ngomongin beban. Eh, kamu tahu nggak, kalau Mas Raka lihat kamu pingsan lagi, dia itu bukannya panik… tapi malah bisa semakin dingin seperti kulkas dua pintu! Memangnya kamu mau ditatap sama mata elang dinginnya lagi, karena disuruh ngegendong kamu yang kembali jatuh pingsan?"
Rosalina hanya terdiam. Namun dari bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis yang samar, seolah ia tidak ingin membantah pada pembantu rumah tangga itu.
Namun Mbak Sri yang melihatnya pun semakin geregetan. Membuat ia langsung berdiri di depan Rosalina, dengan kedua tangan yang berkacak di pinggang, tubuhnya yang lumayan berisi membuatnya hampir mirip seperti pagar hidup.
"Pokoknya stop! Kalau kamu masih ngeyel, saya sumpah bakal manggil Mas Raka sekarang juga. Biar dia yang ngomelin kamu. Daripada saya kena marah gegara kamu tumbang lagi, mending dari awal kamu diam di kamar!"
Rosalina baru hendak menjawab ketika tiba-tiba kepalanya terasa berkunang-kunang. Pandangannya berputar dan tubuhnya pun melemah. Ia mencoba bertahan, tapi badannya langsung oleng ke belakang.
"Nduuk! Ya Allah, Rosalinaa!" jerit Mbak Sri panik.
Ia hendak menahan tubuh Rosalina, tapi karena terburu-buru, tubuh itu malah terjatuh tepat ke arah seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah.
Pria tinggi dengan jas kerja dan wajah dingin itu mendadak menahan tubuh lemah Rosalina dengan sigap. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya sepasang mata tajam yang menyipit menatap perempuan yang kini berada didalam pelukannya tersebut.
Dan ternyata, pria itu adalah Raka.
Ia kembali ke rumah karena dompetnya yang tertinggal. Namun siapa sangka, jika yang pertama kali ia lihat bukanlah sebuah ketenangan rumah, melainkan drama Mbak Sri dan Rosalina yang terjatuh kedalam pelukannya.
"Mbak Sri," suara Raka terdengar berat dan datar, "apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Mbak Sri, yang biasanya tidak gentar menghadapinya, kali ini menyambut pertanyaan itu dengan suara terbata-bata.
"Ma… Mas, astaghfirullah… saya tuh udah larang dia! Saya juga udah bilang jangan kerja-kerja, tapi dia ngeyel, katanya nggak mau menjadi beban dirumah ini. Lah, sekarang pingsan beneran. Duh, gimana ini, Mas…?"
Raka mendengus dengan wajahnya yang sama sekali tidak berubah. Ia menunduk sekilas pada Rosalina yang terpejam didalam pelukannya, lalu menghela nafas panjang.
"Hhh... Selalu saja merepotkan," gumamnya dengan suara yang terdengar dingin.
"Mas!" protes Mbak Sri langsung, dengan bola matanya yang melotot.
"Mas kok ngomongnya begitu sih? Perempuan ini lagi sakit, bukannya dikasihani malah dibilang merepotkan. Ya Allah, tega banget punya hati kayak freezer. Mbok ya keluar sedikit rasa welas asihnya, Mas!"
Raka hanya melirik sekilas, lalu menoleh lagi ke depan. Dan tanpa banyak bicara, ia pun menggendong Rosalina ke arah kamar tamu. Langkahnya terlihat tenang, dan terukur, seolah dirinya hanya membawa benda mati, bukanlah membawa seorang manusia.
Mbak Sri hanya mengikutinya dari belakang sambil bergumam keras. Perempuan itu tidak perduli jika Raka akan mendengarnya atau tidak.
"Lha iya sih, memang wajar! Dari dulu juga Mas Raka itu kan hatinya udah dingin kayak es kepal. Kalau jadi minuman segar sih enak, tapi kalau jadi anak majikan seperti ini ya pasti akan membuat semua orang menjadi kedinginan! Coba bayangin deh, Mas… perempuan pingsan di pelukan Mas seperti itu, kalau cowok lain mah pasti akan merasa sangat panik, dan langsung memegangi tangannya seraya bilang... sabar, sabar. Lha Mas ini, malah cuma ngomong 'merepotkan'. Hadeeeh…"
Raka berhenti sejenak di depan pintu kamar tamu, sambil menoleh dingin ke arah Mbak Sri. Tatapannya menusuk, tapi justru membuat perempuan paruh baya itu menyengir lebar, dan sama sekali tidak gentar.
"Apa Mbak Sri nggak bisa diam barang lima menit aja?" ucapnya dengan suara pelan, namun terdengar begitu tajam.
tapi yang ada, Mbak Sri malah menangkupkan kedua tangan didepan dada.
"Heeh, Mas Raka… kalau saya diam lima menit, rumah ini bisa saja sepi seperti kuburan. Saya ngomel-ngomel itu kan demi kebaikan! Kalau nggak ada saya, siapa coba yang cerewet demi ngingetin Mas Raka? Paling Ibu Anindya hanya ketawa-ketawa saja, dan Mas semakin dingin seperti es batu."
Raka langsung mendengus, lalu masuk kedalam kamar dan meletakkan Rosalina di atas ranjang dengan gerakan hati-hati, meskipun wajahnya tetap terlihat emosi. Ia berdiri tegak, menatap sebentar pada gadis cantik itu, lalu berbalik ke arah Mbak Sri yang masih berdiri di ambang pintu dengan gayanya yang siap tempur.
"Rawat dia. Jangan sampai bikin ribut lagi. Saya harus berangkat kekantor," ucapnya, sambil menyorot Mbak Sri dengan tatapan dingin.
Mbak Sri langsung menyambar cepat perkataan Raka, dengan nada suara yang terdengar meninggi.
"Lhaa, Mas! Kok cuma begitu? Minimal tanya dulu gitu... 'kamu nggak apa-apa?', atau 'ada yang sakit?' Gini lho Mas, pakai hati sedikit kalau bicara sama perempuan. Jangan seperti robot begitu! Pantes aja Mas Raka sampai sekarang belum punya calon istri, lha wong ngomongnya kayak notifikasi HP. pendek, dingin, dan juga tanpa perasaan."
Raka menutup mata sejenak, seraya menahan diri, lalu ia pun melangkah pergi tanpa menanggapi ocehan Mbak Sri yang selalu membuatnya pening.
Sedangkan Mbak Sri sendiri hanya berdiri sambil menatap punggung Raka yang semakin menjauh, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersungut-sungut.
"Astaghfirullah, anak majikan kok dinginnya kebangetan. Kalau bukan karena sayang sama Bu Anindya, udah saya godain biar dia jatuh cinta sama saya. Hahaha! Eh tapi amit-amit, ogah dong! Bisa-bisa rumah tangga saya jadi seperti freezer juga nanti karena sifat dinginnya, dan nggak ada hangat-hangatnya sama sekali."
Setelah berkata seperti itu, Mbak Sri langsung mendekati tubuh Rosalina yang sedang terbaring lemah diatas ranjang.
Tangan Mbak Sri juga bergerak pelan untuk meraih sebuah balsem yang ada disudut kepala tempat tidur. Kemudian ia mengambilnya sedikit dengan ujung jari telunjuknya, seraya mendekatkan balsem itu kehidung Rosalina.
Disaat seperti itu, tiba-tiba saja Anindya pun masuk kekamar tamu yang pintunya sama sekali tidak ditutup, dan melihat Rosalina dalam keadaan yang tidak sadarkan diri.
"Ya Allah, Sri! Rosalina kenapa, kok dia bisa pingsan begitu? Apa yang terjadi dengannya?"
Mendengar suara majikannya yang terdengar panik, Mbak Sri pun menoleh kearah Anindya.
Bersambung...