Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sementaranya itu, di rumah singgah, Anya dan Damian sedang menikmati kebersamaan mereka dengan anak-anak. Mereka tidak tahu bahwa Revan semakin dekat, dan bahaya akan segera datang menghampiri mereka, mengancam kedamaian yang baru saja mereka rajut.
Anya sedang membantu anak-anak menggambar dan mewarnai, tangannya dengan cekatan membimbing mereka menciptakan gambar-gambar yang penuh warna. Ia tersenyum melihat keceriaan mereka, merasa bahagia bisa memberikan sedikit kebahagiaan di tengah kesulitan hidup mereka, menjadi sosok ibu pengganti yang penuh kasih sayang.
Damian memperhatikan Anya dari kejauhan, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan kagum, seolah Anya adalah lukisan terindah yang pernah ia lihat. Ia merasa beruntung bisa memiliki Anya di sisinya, dan ia berjanji akan melakukan segala cara untuk melindunginya, bahkan jika ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berlari menghampiri Damian dengan wajah panik, napasnya tersengal-sengal karena berlari terlalu cepat.
"Om Damian! Ada orang asing di depan rumah!" seru anak itu dengan cemas, matanya membulat karena ketakutan. "Mereka terlihat menyeramkan!" lanjut anak itu, bersembunyi di balik kaki Damian.
Damian terkejut mendengar laporan itu. Ia tahu bahwa itu pasti anak buah Revan, anjing-anjing peliharaan yang siap melakukan apa saja untuk tuannya. Ia segera memberi isyarat kepada Anya untuk bersiap, dengan tatapan mata yang penuh kewaspadaan, dan mereka berdua berjalan keluar rumah dengan hati-hati, seperti kucing yang mengendap-endap di kegelapan malam.
Saat mereka tiba di depan rumah, mereka melihat sekelompok pria berbadan tegap berdiri di sana, menghalangi jalan masuk dengan sikap angkuh. Wajah mereka terlihat garang dan menakutkan, seperti preman yang siap membuat onar.
"Di mana Nona Anya Forger?" tanya salah seorang pria dengan suara kasar. "Kami tahu dia ada di sini."
Damian maju ke depan, melindungi Anya dengan tubuhnya. "Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?" tanya Damian dengan nada tegas.
"Kami tidak punya urusan denganmu," jawab pria itu. "Kami hanya ingin Nona Anya. Serahkan dia pada kami, dan kami akan pergi."
"Anya tidak akan pergi ke mana pun," balas Damian dengan lantang.
"Aku tak akan membiarkan kalian menyentuhnya." lanjut Damian tanpa getar.
Pria itu menyeringai sinis. "Kalau begitu, kami tidak punya pilihan lain," katanya. "Serang!"
Tanpa menunggu aba-aba lagi, para pria itu menyerang Damian dan Anya, dengan brutal dan tanpa ampun. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan, memecah kesunyian malam dengan suara teriakan dan benturan. Damian dan Anya berusaha sekuat tenaga untuk melawan, melindungi diri mereka sendiri dan anak-anak di rumah singgah, berjuang untuk hidup mereka dan untuk masa depan yang lebih baik.
Dengan refleks terlatih, Damian mampu mengimbangi serangan para musuh, menari di antara pukulan dan tendangan yang datang. Matanya memindai setiap gerakan, menganalisis celah dalam pertahanan mereka, seperti seorang jenderal yang memimpin pasukannya di medan perang.
Bugh!
Bagh!
Sebuah tinju melayang ke arahnya, namun dengan sigap ia menghindar dan membalas dengan tendangan keras yang membuat lawannya terhuyung, terjatuh ke tanah dengan erangan kesakitan.
Bagh!
Anya tak kalah garang, bergerak dengan lincah dan mematikan. Ia membuktikan pada Damian bahwa kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia, bahwa ia bukan lagi wanita lemah yang bisa dipermainkan. Setiap gerakan yang ia pelajari, setiap latihan yang ia jalani, semuanya terwujud dalam pertarungan hari ini, menjadi senjata yang mematikan.
Ia bergerak dengan akurat dan tepat sasaran, melumpuhkan lawan satu per satu dengan pukulan dan tendangan yang mematikan, seperti seorang penari yang menari di atas panggung kematian.
Srak!
Sebuah kursi kayu hancur berserakan saat seorang anak buah Revan terlempar menabraknya, tubuhnya remuk redam karena benturan yang keras.
Damian merasakan adrenalin memompa dalam tubuhnya, memberinya kekuatan dan keberanian yang luar biasa. Ia melihat Anya bergerak dengan lincah dan penuh semangat, dan hatinya dipenuhi dengan rasa bangga, seolah ia melihat seorang pahlawan wanita yang sedang berjuang untuk kebenaran.
"Dia benar-benar hebat," batin Damian, senyum tipis tersungging di bibirnya di tengah-tengah pertarungan itu, menunjukkan kekagumannya pada Anya. "Aku bangga padamu Anya, kau memang wanita tangguh," gumamnya dalam hati, memberikan semangat pada Anya untuk terus berjuang.
Mereka berdua bekerja sama dengan sempurna, saling melindungi dan mendukung satu sama lain, seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Damian mengarahkan Anya ke posisi yang menguntungkan, sementara Anya memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerang dan melumpuhkan lawan, menjadi tim yang tak terkalahkan.
Bugh!
Bagh!
Suara benturan tinju dan tendangan bergema di udara, bercampur dengan erangan kesakitan para anak buah Revan yang berjatuhan, menciptakan simfoni kematian yang mengerikan.
Damian merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, namun ia tidak peduli. Ia hanya fokus pada satu hal: melindungi Anya dan anak-anak di rumah singgah. Ia melihat ketakutan di mata anak-anak itu, dan ia bertekad untuk tidak mengecewakan mereka.
Anya merasakan panasnya adrenalin dan dinginnya ketakutan bercampur menjadi satu. Ia melihat Damian terluka, dan ia tahu bahwa ia harus melakukan segalanya untuk membantunya.
Ia tidak ingin kehilangan Damian, tidak setelah mereka berdua menemukan kebahagiaan bersama.
Dengan sekuat tenaga, Anya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah para musuh. Ia bergerak dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa, membuat para anak buah Revan kewalahan.
Srak!
Bagh!
Suara pecahan kaca dan benturan tubuh terdengar di mana-mana.
Damian melihat Anya berjuang dengan gagah berani, dan ia merasa semakin termotivasi, terinspirasi oleh keberanian Anya. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan para musuh, melindungi Anya dan anak-anak di rumah singgah, menjadi perisai yang tidak akan pernah roboh.
Pertarungan terus berlanjut, semakin sengit dan brutal, menguji batas kekuatan dan ketahanan mereka. Damian dan Anya bekerja sama dengan sempurna, saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, menjadi kekuatan yang tak terhentikan. Mereka adalah tim yang tak terkalahkan, dan mereka tidak akan menyerah sampai akhir, sampai musuh terakhir tumbang.
Di tengah kekacauan itu, Damian sempat melihat sekilas ke arah anak-anak yang bersembunyi di sudut ruangan. Wajah mereka pucat dan ketakutan, namun mata mereka memancarkan harapan. Harapan bahwa Damian dan Anya akan melindungi mereka, harapan bahwa mereka akan selamat dari semua ini.
Damian tersenyum tipis, memberikan isyarat kepada anak-anak itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia tahu bahwa ia harus berjuang lebih keras lagi, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anak itu.
Dengan semangat yang membara, Damian dan Anya terus melawan para anak buah Revan. Mereka tidak akan menyerah, mereka tidak akan mundur, dan mereka akan melakukan segalanya untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi.
Pertarungan ini adalah pertarungan untuk hidup mereka, pertarungan untuk kebebasan mereka, dan pertarungan untuk masa depan mereka, pertarungan yang akan menentukan nasib mereka. Dan mereka berdua bertekad untuk memenangkannya, dengan segala cara yang mereka bisa.
Namun, di tengah sengitnya pertempuran, salah seorang anak buah Revan berhasil menyelinap di belakang Anya, bergerak dengan licik seperti ular. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan sebuah balok kayu ke arah kepala Anya, dengan niat untuk melumpuhkannya.
"Anya!" teriak Damian dalam hati, matanya membelalak ngeri, jantungnya serasa berhenti berdetak.
Bersambung ....