Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Kejaran Yumi
Hiro melangkah mendekat. “Jangan paksa aku.”
Yumi menggeleng, memeluk Reina yang baru saja terbangun dan mulai menangis. “Kalau kamu peduli padaku dan Reiki, biarkan aku memiliki dia.”
Hiro mendekat perlahan. “Aku nggak bisa, Yumi. Aku sudah kehilangan terlalu banyak dalam hidupku. Aku tak akan biarkan Reina jadi korban obsesi seseorang.”
Dalam sekejap, Yumi berlari ke arah balkon. Hiro mengejar, keduanya berebut Reina yang menangis keras di tengah malam sunyi itu.
“LEPASKAN!” jerit Yumi.
“YUMI! KAMU AKAN JATUHKAN DIA!”
Reina menangis semakin keras. Dalam perebutan itu, selimut terlepas dan tubuh bayi itu hampir tergelincir. Hiro dengan refleks menahan tubuh kecil itu, sementara Yumi terdorong mundur dan terjatuh ke lantai.
“Sudah … sudah, Rei aku ada di sini.”
Yumi terisak di lantai, menatap mereka dengan pandangan kosong. “Kamu menang, Hiro. Tapi ingat … dunia tidak akan membiarkanmu pergi dengan mudah.”
“Aku tidak ingin menang. Aku hanya ingin Reina kembali ke pelukan ibu kandungnya. Reiki merampas kebahagiaan Gendis dengan cara menakutkan! Aku nggak menyangka kakakku sendiri bisa berbuat hal sekejam itu.” Hiro menatapnya sedih.
Hiro berbalik, membawa Reina keluar kamar. Di luar, alarm rumah tiba-tiba berbunyi keras. Para penjaga berlari menuju sumber suara.
“HIRO! CEPAT!” teriak Gendis dari mobil begitu melihatnya muncul di gerbang belakang.
Hiro berlari sekuat tenaga di jalanan berbatu, Reina di pelukannya menangis histeris. Dua penjaga mengejar, tetapi Gendis sudah menekan tombol remote. Gerbang terbuka, dan Hiro melompat masuk ke mobil.
“Gas, Gendis!”
Mobil melesat turun dari bukit, meninggalkan vila itu di belakang. Lampu-lampu menyala di seluruh rumah, sirine bergaung di kejauhan. Gendis menepikan mobil saat sudah tak nampak kejaran dari penjaga vila, dia memeluk Reina sambil menangis terisak.
“Reina, Mama di sini, Sayang … Mama di sini .…”
Hiro melirik mereka dengan mata yang mulai memanas. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, dia merasa utuh kembali. Namun, Hiro tahu ini belum berakhir.
Beberapa jam kemudian, mereka bersembunyi di sebuah penginapan kecil dekat Stasiun Odawara. Reina sudah tertidur di pangkuan Gendis. Hiro duduk di depan jendela, menatap langit kelam yang mulai disinari fajar.
“Sekarang apa rencanamu?” tanya Gendis pelan.
“Kita akan pulang ke Indonesia secepatnya,” jawab Hiro. “Tapi sebelum itu, aku harus pastikan Yumi tidak bisa menuntut kita.”
“Yumi tidak akan diam, Hiro. Dia akan mencarimu.”
Hiro mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi kali ini, aku akan melindungi kalian sampai akhir.”
Hiro menoleh ke arah Gendis, menggenggam tangannya. “Kamu sudah kehilangan banyak hal, Ndis. Tapi jangan biarkan ketakutan mencuri sisa kebahagiaanmu.”
Gendis menatap Hiro, lalu mengangguk pelan. “Selama kita bertiga bersama, aku tak takut lagi.”
Mereka saling berpelukan dalam diam, membiarkan kehangatan tubuh kecil Reina di antara mereka menjadi penegas bahwa cinta seorang ibu tidak akan pernah kalah oleh uang, kekuasaan, atau dendam masa lalu.
Di luar jendela, mentari pertama menembus kabut Hakone, memantulkan warna keemasan di permukaan danau yang tenang. Di dalam kamar kecil itu, Hiro, Gendis, dan Reina akhirnya bisa bernapas lega untuk pertama kalinya, tanpa rasa takut.
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa jam. Pagi itu suara sirene dari kejauhan kembali terdengar samar, semakin lama semakin jelas. Hiro yang sejak subuh sudah gelisah langsung bangkit dari kursi, menyingkap tirai sedikit.
Dua mobil hitam berhenti di jalan kecil depan penginapan. Dia bisa melihat dua pria memakai pakaian kasual keluar dari mobil polisi. Mereka berbicara dengan pemilik penginapan sambil menunjukkan sesuatu yang Hiro duga foto mereka.
“Gendis.”
Nada suara Hiro rendah, tetapi tegas. Gendis langsung menatap Hiro. Dia masih menggendong Reina yang baru terbangun.
“Ada apa?” tanya Gendis sambil mengerutkan dahi.
“Mereka menemukan kita. Kita harus pergi sekarang.”
Wajah Gendis pucat seketika. “Tapi Reina baru ....”
“Tidak ada waktu.” Hiro menurunkan suaranya sambil menyiapkan tas kecil berisi paspor dan tiket.
“Kita harus pergi sekarang!”
Mereka keluar lewat pintu belakang penginapan, menyusuri gang sempit yang dipenuhi tanaman rambat. Reina mulai menangis pelan karena hawa dingin dan suasana tergesa-gesa itu. Gendis mencoba menenangkannya, tetapi suaranya bergetar.
“Shh, Sayang … tenang ya, Mama di sini.”
“Kita akan aman, percayalah.” Kata-kata itu terdengar lebih seperti doa daripada kepastian.
Di sisi lain kota, Yumi duduk di kursi kantor polisi Yokohama, wajahnya sembab. Reiki menatap layar CCTV yang direkam dari vila mereka. Terlihat Hiro menggendong Reina keluar rumah.
“Dia benar-benar nekat,” gumam Reiki.
“Kamu harus temukan mereka, Reiki. Anak itu milik kita. Aku sudah kehilangan segalanya! Aku tidak akan biarkan mereka merebut Reina juga.” Yumi menatap Reiki dengan mata penuh kebencian.
Reiki masih terduduk di kursi roda. Dia menatap Yumi lama dengan rahang mengeras. Taka lama kemudian dia kembali bersuara.
“Aku akan urus. Tapi jangan sampai kamu membuat keadaan makin buruk, Yumi. Polisi sudah terlibat. Kalau mereka tahu soal adopsi ilegal itu ....”
Yumi menepuk meja keras. “Diam! Aku nggak peduli lagi soal legal atau tidak! Yang aku tahu, Reina itu hidupku!”
Reiki menarik napas panjang, lalu menatap petugas di depannya. “Laporkan ke semua pos bandara. Mereka mungkin mencoba keluar lewat jalur domestik dulu.”
Di sisi lain, Hiro dan Gendis sampai di Stasiun Odawara. Mereka berpura-pura sebagai turis, membawa koper kecil. Reina sudah tertidur di gendongan Gendis, wajah mungilnya tenang di tengah hiruk pikuk penumpang.
“Aku beli tiket ke Osaka dulu,” kata Hiro pelan.
“Kita lewat Kansai, bukan Haneda. Lebih kecil kemungkinan mereka mendeteksi kita.”
Gendis mengangguk. “Aku tunggu di sini.”
Hiro bergegas ke loket. Namun, saat dia berdiri di antrean, sebuah suara dari pengeras suara membuat darahnya membeku.
“Perhatian untuk seluruh penumpang, jika ada yang melihat seorang pria berambut hitam bersama seorang wanita asing dan bayi perempuan, segera hubungi petugas stasiun .…”
Hiro langsung menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel. Matanya melirik sekeliling. Ada dua petugas berseragam tampak memeriksa setiap wajah di area loket.
Hiro balik badan dan berjalan cepat ke arah Gendis. “Mereka sudah tahu kita di sini. Cepat, ke jalur belakang!”
Gendis terkejut. “Tapi ....”
“Cepat!”
Mereka berlari menuruni tangga menuju peron belakang, menembus kerumunan. Reina mulai menangis lagi, suaranya menembus riuh stasiun. Beberapa orang menoleh, dan salah satu petugas mulai berteriak.
“Itu mereka! Hentikan mereka!”
Aksi kejar-kejaran dimulai. Gendis memeluk Reina erat-erat, berlari di samping Hiro yang menarik tangannya. Mereka melompat ke dalam kereta yang pintunya hampir tertutup. Begitu kereta bergerak, Hiro menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Gendis memejamkan mata, air mata menetes di pipinya. “Aku takut, Hiro … kalau mereka tangkap kita, aku akan kehilangan Reina lagi .…”
Hiro memeluk bahunya. “Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Aku janji.”
Semua bersumber dari otak jahat Reiki