Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Apa salahku?
“Pagi!” sapa Yonna pada kedua orang tuanya setelah ia turun dari tangga. Pagi ini wanita cantik itu telah rapi dengan setelan kerjanya. Masih dengan rok span ketat serta kemeja lengan panjang dengan pita di bagian depan, berbeda model dari yang ia pakai kemarin.
“Pagi juga, Nak,” balas Robert yang di sambut senyum indah oleh putrinya itu. Yonna menarik kursi di hadapan kedua orang tuanya.
Ia membalikan piring yang sudah tertata rapi di depan wajahnya. Nasi goreng adalah menu yang tak pernah lepas dari hidangan sarapan keluarganya setiap hari. Namun Yonna yang sekarang bukanlah Alice yang dulu, yang akan berceloteh riang melihat nasi goreng seafood yang menjadi kesukaannnya itu.
“Mama perhatikan kamu selama pulang, hampir setiap makan kamu menghindari nasi dan makanan berkarbo lainnya. Apa kamu masih diet Sayang?” Maya menatap sepotong roti gandum tanpa selai yang ditemani dengan sebutir telur rebus saja. Serta segelas susu rendah lemak yang Yonna beli sendiri.
”Ini saja sudah membuatku kenyang, Ma.”
“Tapi Sayang, badan kamu sudah ideal jadi tak perlu lagi kamu memaksakan diri untuk diet seperti itu, Nak. Ini nasi goreng kesukaan kamu yang Mama masak, kamu makan ya!” Maya hendak mengambil nasi goreng itu untuk putrinya, namun dengan cepat Yonna mengangkat telapak tangannya sebagai kode pada sang Mama untuk berhenti.
“Tidak usah, Ma. Mungkin karena aku sudah terbiasa seperti ini, jadi perutku sudah tak nyaman lagi makan makanan berat pagi-pagi. Maaf Ma,” jelas Yonna pelan. Raut wajah kecewa tampak di wajah Maya, tetapi ia tak dapat memaksakan kehendaknya pada putrinya itu.
“Sudah, ayo makan! Tak masalah putri kita makan apa saja yang penting ia suka dan sehat.” Robet menengahi keadaan. Ia tak mau suasana pagi yang seharusnya cerita rusak dengan hal yang ia anggap sangat sepele. Sebagai seorang Ayah, Robert cukup mengerti kenapa putrinya menjaga penampilan dengan begitu ketat.
Rasa sakit dan terluka yang wanita itu alami selama ini cukup membuat mental dan kepercayaan diri putrinya terluka. Robert yakin banyak hal yang telah Yonna korbankan hingga wanita itu kini menjadi seperti apa yang ia lihat saat ini.
Wanita dengan kesempurnaan bentuk fisik. Walau sesungguhnya Robert pun tidak terlalu menyukai perubahan sang putri. Di mata Robert, Yonna seakan hilang jati diri.
“Kamu sudah menghubungi Vano, Nak? Kapan ia sampai, Mama sudah tak sabar untuk bertemu dengan cucu Mama,” ujar Maya senang.
“Tadi pagi Vano mengirimkan pap padaku. Ia baru saja keluar dari bandara, Mama tahu sendiri jam di Jerman dengan Indo berbeda, mungkin sekarang ia sedang tidur. Jadi nanti malam saja aku menelponnya dan menanyakan kapan ia pulang bersama Noah,” jawab Yonna. Maya hanya menganggukkan kepala pelan dan melanjutkan makannya.
Wanita paruh baya itu mulai membayangkan rumah itu akan terasa ramai dengan celoteh anak kecil yang akan memanggilnya dengan sebutan Oma. Hati Maya membuncah dengan rasa bahagia, ia begitu tak sabar menantikan hari itu tiba.
Yonna melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.
“Hari sudah siang, aku berangkat kerja dulu.” Yonna meraih gelas untuk minum lalu beranjak dari kursinya.
Ia mencium pipi kedua orang tuanya sebelum pergi meninggalkan mereka berdua. Yonna menghirup udara pagi yang masih segar, menatap sang mentari yang bersinar memberikan kehangatan sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil putih miliknya, melajukan mobil itu menuju tempat di mana ia mencari nafkah untuk hidupnya dan masa depan putranya.
Sebagai single parent dan orang tua tunggal untuk putranya, Yonna sadar ia harus bekerja keras untuk menyiapkan masa depan cerah untuk putranya tersebut. Tak ada terbesit sedikit pun dalam pikirannya untuk berumah tangga kembali. Merajut cinta pada seorang lelaki yang mana pada akhirnya hanya akan membuat ia kembali terluka.
~ ~ ~
Yonna berpapasan dengan Steve sebelum masuk ke dalam ruangan kerjanya. Lelaki hitam manis dengan face wajah kebule-bulean itu mengernyitkan dahi menatapnya.
“Cerah banget tu wajah, sepertinya mood kamu pagi ini bagus banget ya!” cibir Steve.
Yonna menghentikan langkahnya dan menoleh. “Memangnya nggak boleh, ya?” tanya Yonna pura-pura bodoh.
“Ckkk … bukan begitu, tapi tu boss.” Steve menunjuk pada Tama yang baru saja muncul dari balik tubuh wanita itu. Yonna pun mengalihkan pandangan matanya pada lelaki yang muncul dengan wajah kusutnya.
“Pagi, Pak!” sapa Yonna sembari menundukkan kepala sedikit. Tak seperti biasanya, hari ini Tama hanya diam tak merespost sapaan darinya. Wajah pria itu pun melihatnya datar, cukup membuat Yonna bingung.
“Ada apa dengan boss?” Yonna menggerakkan dagunya memberi kode pada Steve. Setelah punggung Tama menghilang dari balik pintu.
“Gara-gara kamu!”
“Aku?!” Yonna menunjuk wajahnya sendiri dengan raut wajah tak percaya. Apa yang salah darinya? Perasaan ia tidak melakukan kesalahan yang membuat pria itu harus marah padanya.
“Iya, karena kamu. Semalam kamu ke mana? Kenapa buru-buru pulang, kamu kencan dengan seseorang kan?” tebak Steve dengan tepat. Namun Yonna menyangkalnya dengan cepat, mana mungkin ia akan mengakui sesuatu yang merupakan privasi baginya.
Steve memicingkan mata menatapnya seakan menyelidik. Wanita itu merasa seperti sedang di introgasi saat ini.
“Apaan sih! Aku rasa itu bukan bagian dari pekerjaan, apa aku harus melapor ke mana aku pergi dan bertemu siapa. Aku ini hanya sekretaris, bukan kekasihnya!” Yonna meninggalkan Steve dan kembali ke ruang kerjanya.
Masih banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan daripada memikirkan hal-hal yang menurutnya tidak penting. Terkadang lelaki hitam manis itu terlalu berlebih-lebihan dalam menilai sesuatu.
Ia tak mau terlalu percaya diri jika lelaki itu marah padanya hanya karena ia menolak ajakan pria itu untuk pulang bersama dengan alasan ada acara keluarga. Toh … ia dan Tama hanyalah atasan dan bawahan saja.
Kring!
Dering telpon mengalihkan pandangan mata bulu lentik itu dari layar persegi di depan matanya.
“Iya, pak.Ada yang bisa saya bantu?” jawab Yonna setelah mengangkat gagang telepon tersebut. Tentu saja ia tahu pasti siapa yang menelponnya saat ini.
“Ke ruangan saya, segera!” jawab suara bass dari seberang sana datar. Sambungan telpon pun mati seketika tanpa menunggu jawaban darinya.
“Ada apalagi dengannya? Seperti cuaca saja. Kadang-kadang cerah dan tiba-tiba hujan tanpa diserta mendung terlebih dahulu. Aneh!” gumam Yonna.
Wanita itu beranjak dari duduknya dengan kesal, pekerjaannya masih banyak, tapi ia sudah disuruh sana-sini tanpa jelas. Dari balik kaca bening yang menjadi pembatas di antara mereka, Steve hanya tersenyum simpul melihat wajah jengkel wanita itu.
“Marah saja masih cantik,” ujar pria itu pelan. Matanya tak lepas memandangi Yonna yang berjalan di hadapannya.