"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. keputusan mutlak
...0o0__0o0...
...Langit yang sejak tadi berusaha menahan diri akhirnya kehilangan kesabaran. Suaranya meninggi, menggelegar memenuhi ruangan....
...“Cukup, Nesya!”...
...Nesya terkejut, tubuhnya bergetar. Belum pernah ia mendengar suaminya semarah ini....
...Langit menatapnya dengan sorot tajam, matanya merah menahan emosi. “Kamu sadar nggak apa yang kamu minta ? Talak itu bukan permainan, Nesya! Bukan sekadar ‘ceraikan dia, lalu selesai’!”...
...Nesya mundur selangkah, air matanya tetap mengalir. “Tapi, Abi—”...
...“Tidak ada tapi!” potong Langit tegas. “Aku sudah cukup bersabar dengan sikap mu! Dari awal, siapa yang memaksa aku menikah dengan Jingga ? Siapa yang mendesak pernikahan kontrak ini ? Kamu, Nesya! Kamu!”...
...Nesya tercekat, wajahnya pucat....
...Langit melanjutkan dengan suara bergetar karena marah dan sakit hati, “Dan sekarang setelah semua terjadi, setelah Jingga berusaha menjaga kehormatan rumah tangga ini, kamu seenaknya suruh aku ceraikan dia ? Kamu kira aku ini laki-laki apa ? Mainan yang bisa kamu atur sesuka hati ?”...
...Tangannya mengepal keras, dadanya naik turun....
...“Aku seorang suami, Nesya. Aku yang bertanggung jawab atas kalian berdua di hadapan Allah. Jangan pernah paksa aku melakukan sesuatu yang Allah benci hanya karena ego kamu!”...
...Hening. Suasana berubah mencekam....
...Jingga menunduk dalam, menahan isak tangisnya. Sedangkan Nesya memeluk dirinya sendiri, gemetar karena shock. Ia tak pernah menyangka Langit akan mengeluarkan amarah sedahsyat ini....
...Langit menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada lebih tenang namun tegas, “Aku tetap suami mu, dan aku tetap suami Jingga. Jangan pernah lagi aku dengar permintaan mu untuk menceraikan dia. Karena itu sama saja kamu menyuruh ku berbuat zalim.”...
...Air mata Nesya pecah semakin deras. Ia jatuh terduduk, tersedu di lantai....
...Sementara Langit berbalik, berjalan menjauh dengan wajah keras, meninggalkan ketegangan yang masih membekas....
...Tangisan Nesya berubah menjadi erangan marah. Ia menoleh ke arah Jingga yang masih menunduk di sudut ruangan. Sorot matanya penuh luka dan kebencian yang menumpuk....
...“Semua ini gara-gara kamu, Jingga!” teriaknya sambil menunjuk dengan gemetar. “Kalau saja kamu nggak ada, rumah tangga aku nggak akan hancur begini! Aku nggak akan merasa tersisih! Aku nggak akan kehilangan suami ku sedikit demi sedikit!”...
...Jingga terperanjat, wajahnya pucat. “Kak Nesya… jangan salahkan aku. Aku dari awal nggak pernah ingin—”...
...“Diam!” bentak Nesya. Ia melangkah cepat, mendekat dengan mata penuh amarah. “Kamu perempuan licik! Dengan wajah polos kamu, semua orang di rumah ini jatuh hati sama kamu! Ummi, santri, bahkan… bahkan suamiku sendiri!”...
...Air mata Jingga mengalir. Ia menggenggam tangannya di dada, berusaha menenangkan diri. “Aku sungguh nggak pernah berniat merebut, Kak… Aku hanya jalani apa yang sudah di takdirkan…”...
...“Takdir ?” suara Nesya bergetar, lalu meledak. “Jangan sok suci! Kamu perusak rumah tangga orang lain!”...
...Dalam sekejap, Nesya mendorong tubuh Jingga hingga terjatuh ke lantai....
...BRUK..!...
...Jingga terkejut, kepalanya terbentur sudut kursi, ia menahan tubuhnya dengan tangan, tubuhnya gemetar....
...Seketika pening menghantam kepalanya. Namun Jingga tetap tenang tanpa amarah sedikit pun....
...“Nesya!” suara Langit bergema keras....
...Langit segera berlari menghampiri, wajahnya merah padam menahan marah. Ia membantu Jingga yang gemetar di lantai, lalu menoleh pada Nesya dengan tatapan tajam yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya....
...“Apa yang kamu lakukan ?!”...
...Nesya menatap Langit dengan mata basah, penuh histeris. “Aku nggak peduli! Aku lebih baik jadi istri yang kamu benci daripada terus tersiksa begini! Aku nggak bisa, Abi… aku nggak bisa hidup berdampingan dengan dia!”...
...Langit menarik napas keras, lalu menoleh ke Jingga yang masih gemetar sambil menunduk, bahunya bergetar. Rasa iba dan amarah bercampur di hatinya....
...“Kamu sudah melampaui batas, Nesya…” suara Langit berat, bergetar menahan gejolak. “Dan mulai malam ini, aku yang akan memutuskan jalan rumah tangga kita, bukan kamu lagi.”...
...Ceklek..!...
...Pintu rumah terbuka perlahan. Suara sandal terdengar di teras....
...“Assalamu’alaikum…” suara lembut Ummi Ais masuk bersamaan dengan langkahnya. Namun begitu pandangan-nya jatuh ke dalam ruangan, tubuhnya langsung membeku....
...Matanya membelalak melihat Jingga tertunduk di lantai dengan wajah basah air mata, sementara Langit menopang bahunya. Nesya berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya penuh amarah bercampur tangis....
...“Astaghfirullahal ‘adzim… Nesya!” suara Ummi bergetar namun tegas. “Apa yang kamu lakukan pada adikmu ini ?”...
...Nesya tersentak, tubuhnya kaku. “U-ummi… aku—aku hanya…”...
...“Diam!” potong Ummi, matanya tajam, sorot kecewa begitu nyata. “Kamu sadar nggak apa yang barusan kamu perbuat ? Menyakiti hati, bahkan tubuh adik sesama muslimah, apalagi dia istri sah suami mu sendiri! Astaghfirullah… besar sekali dosa mu, Nak!”...
...Air mata Jingga semakin deras. Ia buru-buru mengusap wajahnya, lalu dengan suara lirih berkata, “Ummi… jangan salahkan Kak Nesya. Aku yang salah. Aku… aku yang seharusnya pergi.”...
...Ummi segera menghampiri, mengangkat tubuh Jingga dengan lembut lalu memeluknya. “Sstt… jangan bicara begitu, Nak. Kamu tidak salah. Kamu istri yang sah. Kamu tidak pantas di perlakukan seperti ini.”...
...Nesya terdiam, wajahnya pucat, namun lidahnya masih tak bisa menahan diri. “Tapi, Ummi… aku tersiksa! Aku nggak sanggup melihatnya setiap hari! Bukannya Ummi sendiri dulu yang bilang poligami itu berat ? Aku nggak bisa, Ummi…”...
...Ummi menoleh dengan wajah penuh wibawa, air matanya ikut berlinang tapi nadanya tegas....
...“Kalau kamu tidak sanggup, yang harus kamu perbaiki adalah hatimu, bukan menyakiti orang lain. Ingat, Nak… poligami itu bukan sekadar berbagi suami, tapi juga berbagi amanah. Dan kamu yang dulu mendesak Langit menikahi Jingga demi anak, apakah sekarang kamu ingin mencabut kembali takdir Allah ?”...
...Nesya terisak, tubuhnya lemas. Kata-kata Ummi menusuk hatinya, karena itulah kenyataan yang berusaha ia ingkari....
...Sementara itu, Langit hanya diam menatap mereka bertiga, rahangnya mengeras. Ia tahu, malam itu akan menjadi titik balik bagi rumah tangganya....
...Langit menarik napas panjang, lalu berdiri tegak di hadapan mereka. Sorot matanya dingin tapi penuh wibawa....
...“Cukup!” suaranya menggema, membuat Nesya dan Jingga sama-sama terdiam. “Aku tidak mau rumah ini terus jadi medan perang. Malam ini juga, kita selesaikan semua di hadapan Ummi.”...
...Langit lalu menatap Ummi yang masih meng-genggam tangan Jingga. “Ummi, tolong duduk bersama kami. Aku butuh saksi dan nasihat Ummi untuk rumah tangga ini.”...
...Ummi mengangguk, wajahnya masih tegas namun matanya berkaca-kaca. Ia duduk di kursi panjang ruang tamu, menarik Jingga duduk di sampingnya....
...Langit duduk di seberang mereka, sementara Nesya sempat ragu tapi akhirnya ikut duduk dengan wajah menunduk....
...Hening menyelimuti. Hanya isak tertahan Nesya yang terdengar....
...Langit membuka suara, nadanya berat. “Aku suami kalian, aku bertanggung jawab di hadapan Allah. Aku tidak akan biarkan masalah ini semakin jauh. Sekarang aku mau dengar langsung dari kalian.”...
...Langit menoleh pada Nesya. “Kamu, Nesya. Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku ? Dari rumah tangga kita ?”...
...Nesya menggigit bibirnya, air matanya jatuh. “Aku… aku hanya ingin abang tetap milik aku seorang. Aku nggak sanggup berbagi. Aku takut kehilangan abang.”...
...Langit menutup matanya sejenak, lalu menoleh ke Jingga. “Dan kamu, Jingga. Katakan dengan jujur. Kamu ingin tetap di rumah ini, atau kamu ingin pergi?”...
...Jingga menunduk dalam, tangannya meremas jilbab di pangkuannya. Suaranya lirih, polos. “Aku… aku hanya ingin menjalani apa yang sudah Allah takdirkan. Kalau kak Langit ingin aku tetap di sini, aku akan bertahan. Kalau abang ingin aku pergi, aku juga akan pergi dengan ikhlas…”...
...Ummi menghela napas panjang, menatap keduanya dengan penuh iba. “Nak Langit… dengarkan baik-baik. Poligami itu amanah besar. Kamu harus adil, lahir dan batin. Jangan biarkan salah satu dari mereka tersakiti karena kelalaian mu. Dan kalian berdua…” pandangan-nya bergeser ke Nesya dan Jingga, “ingat, kalian sama-sama wanita shalihah. Jangan biarkan iri dan ego merusak kehormatan rumah tangga kalian.”...
...Langit menunduk, lalu berkata tegas, “Mulai malam ini, aku tidak mau lagi dengar kata cerai keluar dari mulut siapapun. Aku suami kalian, dan aku akan menjalankan amanah ini. Adil, tegas, dan penuh tanggung jawab.”...
...Nesya terisak keras, wajahnya tertutup tangan. Jingga hanya bisa menahan tangis di samping Ummi. Sementara Langit duduk kaku, seolah baru saja memikul beban gunung di pundaknya....
...0o0__0o0...