Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel. Reinan menggeliat pelan, matanya masih berat, tapi ia sadar kepalanya bersandar di dada Yuan. Ia membeku beberapa detik, baru menyadari posisi mereka semalaman.
Yuan yang sudah terjaga lebih dulu menatapnya dengan senyum kecil. "Pagi," ucapnya lembut.
Reinan buru-buru bangkit, wajahnya merah sekali. "Pagi...,"
Yuan terkekeh, duduk menyandarkan tubuh. "Kenapa? Kamu nggak nyaman?"
Reinan menggeleng cepat, lalu menunduk, memainkan jari-jarinya. "Bukan... cuma... agak aneh aja. Baru semalem..."
Yuan meraih tangannya, menggenggam lembut. "Kalo malu, gak usah diterusin"
Reinan mencuri pandang, lalu pura-pura cemberut. "Kamu selalu tahu cara bikin aku malu, ya."
Yuan tersenyum lebih lebar, lalu mengacak rambut panjang Reinan yang masih sedikit basah sisa semalam. "Mulai sekarang, kamu harus terbiasa. Saya nggak akan berhenti bikin kamu malu."
Reinan mendengus kecil, tapi senyum di wajahnya tak bisa ia sembunyikan.
Setelah bangun, Reinan buru-buru ke kamar mandi untuk cuci muka. Tak lama, Yuan ikut masuk sambil membawa sikat gigi barunya yang masih tersegel.
Reinan menoleh cepat, "Eh... kamu ngapain masuk?"
Yuan mengangkat sikat giginya, tersenyum tipis. "Mau sikat gigi juga. Atau saya harus antre di luar?"
Reinan mendengus kecil. "Ya... nggak juga sih. Tapi sempit."
Yuan mendekat ke wastafel, membuka bungkus sikat gigi. "Nggak apa-apa, kan jadi lebih hemat waktu."
Akhirnya mereka berdiri berdampingan. Reinan sibuk menggosok gigi, berusaha menatap ke cermin tanpa melirik ke arah Yuan. Tapi refleks matanya sesekali mencuri pandang. Yuan yang menyadarinya sengaja pura-pura serius, tapi sudut bibirnya terangkat.
Reinan dengan mulut penuh busa berdecak, "Jangan liatin aku..." suaranya jadi aneh karena busa.
Yuan tertawa pelan, suaranya teredam. "Kenapa? Lucu kok."
Reinan memutar bola mata, menunduk. Tapi semakin ia berusaha cuek, semakin ia sadar betapa dekatnya mereka sekarang.
Setelah selesai, Yuan mencondongkan badan mengambil handuk kecil, wajahnya hampir menyentuh pipi Reinan. "Maaf," ucapnya singkat.
Reinan langsung mundur setengah langkah, pipinya merah. "Kamu sengaja, ya."
Yuan hanya tersenyum, mengeringkan mulutnya. "Kalau iya?"
Yuan menatap pantulan mereka di cermin sambil memeluk reinan dari belakang.
"Seperti mimpi..." ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahu reinan, sesekali mengecupnya.
Reinan menoleh ia mengalungkan tangannya di leher yuan.
Reinan mengecup singkat bibir yuan.
"Apa ini masih masih seperti mimpi?'
Yuan mengangkat reinan, mendudukannya diantara wastafel.
Yuan kembali mencium reinan, melumat bibir reinan secara bergantian.
"Ngghh... Yuan ini masih pagi.." reinan mencoba memundurkan tubuh yuan.
"Justru karena ini pagi reinan sayang..." yuan terengah-engah.
"Kamu gak tahu? Gairah pria lebih tinggi di pagi hari? Terutama saat bangun tidur. Kamu duluan yang memancing nya..." bisik yuan tepat di telinga reinan. membuat reinan merinding.
"T-tapi ahh sem-malam k-kita ud...ahh" reinan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Kata-katanya dipotong oleh yuan yang sedang melumat lembut daun telinga reinan. Membuat reinan kembali mendesah.
Kecupan dan lumatan yuan kini berpindah ke leher reinan lalu bahu. Reinan mendongak membiarkan yuan meng eksplor lebih dalam anggota tubuhnya.
Tangan yuan mulai menanggalkan semua pakaian yang dipakai reinan.
Wajahnya dibenamkan diantara kedua dada reinan yang bulat sempurna. Sesekali mencium dan menyesapinya seperti bayi yang kehausan . Iya ini versi bayi vintage nya.
"Ahh... yuan aku gakuat , cepet masuk" racau reinan yang mulai gelisah tak karuan.
"Sure baby... "
Yuan menggendong reinan menuju bathub. Lalu kembali membuat 'penyatuan' dengan reinan. Suara decakan dan desahan itu memenuhi kamar mandi pagi ini . Jangan lupa suara tumpahan air dari bathub juga.
Reinan kembali merebahkan diri ke ranjang, setengah wajahnya terbenam di bantal. Rambut panjangnya masih agak berantakan, matanya sayu.
Yuan selesai merapikan kemeja, lalu menoleh ke arahnya. "Sarapan dulu, ya?"
Reinan menggeleng pelan, suaranya serak. "Aku capek... mau tidur lagi aja."
Yuan menahan senyum, mendekat dan merapikan selimut Reinan. "Kalau gitu saya pesenin aja makanan ke kamar. Biar kamu bisa makan di kamar."
Yuan menekan nomor layanan kamar di telepon hotel.
Beberapa menit kemudian, staff hotel datang membawa tray makanan. Yuan sendiri yang membuka pintu dan membawanya masuk, lalu meletakkannya di meja samping ranjang.
"Ayo makan dulu" Yuan memapah reinan ke meja makan.
Reinan memukul dada yuan. "Aww pelan-pelan! Masih sakit ini" reinan masih merasakan nyeri sekaligus ngilu dibagian bawah karena ulah yuan.
"Hehe maaf maaf, inikan udah dibantu" Yuan nyengir.
****
Udara pagi Jeju masih sejuk, jalanan di sekitar hotel cukup lengang. Setelah sarapan, Yuan menggandeng lengan Reinan santai, langkah mereka pelan menyusuri trotoar.
"Udara di sini beda ya... lebih segar," ucap Reinan sambil menarik napas dalam.
Yuan melirik, tersenyum. "Atau mungkin karena kamu lagi bahagia."
Reinan pura-pura mendelik. "Ih, bisa aja."
Saat melewati kios kecil, aroma wafel dan es krim tercium. Reinan spontan berhenti. "Eh, aku mau itu." Ia menunjuk etalase es krim dengan mata berbinar.
Yuan mengangguk, langsung memesankan dua cone. "Rasa apa?"
"Vanilla"
Yuan memilih coklat. Saat es krim sudah di tangan, ia menyerahkannya pada Reinan.
Mereka berjalan lagi sambil menikmati cone masing-masing.
Sambil menikmati es krim, mereka melangkah pelan di tepi jalan yang rindang. Angin laut Jeju berhembus lembut, membuat rambut panjang Reinan sedikit berantakan. Yuan menatapnya sejenak, lalu membuka suara.
"Reinan"
"Hm?"
"Nanti kalau kita udah pulang ... di kantor mau gimana? Kita go public, atau tetap backstreet?"
Reinan spontan menghentikan langkah, lalu menoleh dengan ekspresi bingung. "Go public? Kamu serius? Mau semua orang tahu pemimpin Baekho Group sama anak magang pacaran?" Ia setengah bercanda tapi jelas ada rasa takut di balik suaranya.
Yuan tersenyum tipis, mengangkat bahu. "Makanya saya tanya pendapat kamu. Saya nggak keberatan orang tahu. Tapi saya juga nggak mau kamu jadi bahan gosip."
Reinan menghela napas, menunduk sebentar lalu berkata pelan, "Aku... lebih nyaman kalau di kantor kita tetap atasan dan bawahan. Jangan ada yang tahu dulu. Aku nggak mau reputasi kamu rusak gara-gara aku."
Yuan menatap serius, langkahnya terhenti. "Kamu nggak akan pernah jadi beban reputasi saya, Reinan"
Reinan tersenyum kecil, tapi tetap menggeleng. "Aku tahu. Tapi kamu kan nggak bisa kontrol semua orang. Jadi... lebih baik backstreet dulu, ya? Di kantor kita profesional. Di luar kantor... baru kita jadi diri kita yang sebenarnya."
Yuan menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk. "Oke. Kalau itu yang bikin kamu nyaman, saya setuju."
Mereka berdua tertawa kecil. Yuan lalu mengacak rambut Reinan sambil bergumam manja, "Apapun yang membuatmu bahagia"
Reinan langsung menepiskan tangannya, pipinya memerah. "Dih apasih gombal mulu..."
Yuan tersenyum puas, kembali berjalan berdampingan, dalam hati senang karena meski harus sembunyi-sembunyi, setidaknya mereka sepakat untuk tetap bersama.