NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 REZA KERASUKAN

Galih berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, matanya terbelalak melihat Reza. Tubuh Reza tergeletak tak berdaya di lantai keramik dingin, dan—ya Tuhan—ada busa putih berjejalan di sudut bibirnya. Panik merayapi seluruh tubuh Galih, bercampur dengan jijik yang mendalam.

"Rangga! Cepat masuk! Periksa Reza!" perintah Galih, suaranya melengking. Bukan, bukan karena dia sangat khawatir pada Reza, tapi lebih karena dia takut tikus.. Jadi, mendekati kamar mandi itu sama sekali bukan pilihan baginya.

Rangga, yang entah kenapa selalu jadi ujung tombak tiap kali ada masalah, nyaris menabrak Galih saking paniknya. Otaknya langsung memutar skenario terburuk: kalau Reza benar-benar mati, matilah dia juga. Penyesalan langsung menyerbu. Kenapa juga ia mau diajak Dimas dan Vanaya menyekap Reza di kamar mandi tadi? Ide konyol itu sekarang terasa seperti bencana yang menunggu untuk meledak.

Sementara itu, di lantai kamar mandi yang dingin, Reza berjuang menahan senyum. Sebenarnya ia sama sekali tidak pingsan. Matanya setengah terpejam, tapi otaknya sedang bekerja keras menyusun strategi selanjutnya. Ia dihadapkan pada dua pilihan epik: tetap berpura-pura pingsan dan menikmati kekacauan ini lebih lama, atau langsung memberi pelajaran pada Rangga detik itu juga. Pilihan yang sulit, mengingat wajah panik Rangga terlihat begitu... menggoda untuk disiksa.

Mendadak, tepat saat Rangga nyaris mencapai tubuhnya, Reza melesat. Sebuah tendangan telak menghantam betis Rangga, membuatnya limbung dan terjatuh. "BUGH!" Kepala Rangga menghantam bak kamar mandi dengan suara memekakkan.

Reza bangkit. Matanya masih setengah juling, tapi seringai aneh tersungging di bibirnya. Tanpa buang waktu, ia langsung menindih tubuh Rangga yang masih linglung. Tangannya bergerak cepat, mencengkeram erat leher Rangga.

"Hihihihi..." suara tawa melengking keluar dari tenggorokan Reza, jauh lebih seram dari tawa yang Rangga kenal. "...kamu sudah mengganggu cucuku!" Matanya melebar, menatap Rangga tajam. "Aku adalah Lampir!"

Cekikan itu mengencang. Rangga megap-megap, mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Tepat saat mulutnya sedikit terbuka untuk mengambil napas, Reza dengan sigap menjejalkan sesuatu yang lembek dan dingin ke dalamnya.

"Gimana... enak enggak?" bisik Reza, suaranya kini melengking-lengking seperti nenek sihir yang baru bangun tidur. Wajahnya, cara bicaranya, semuanya begitu sempurna menirukan orang kerasukan. Sebuah akting yang benar-benar memukau, atau mungkin... mengerikan.

Belum puas, Reza meraih gayung usang di dekatnya. "TOK!" "TOK!" Beberapa kali, kepala Rangga dihantam gayung itu. Reza terus tertawa cekikikan, menikmati setiap momen penyiksaannya.

Di luar kamar mandi, Galih dan yang lainnya membeku. Tak ada yang berani mendekat. Suasana pagi yang cerah itu kini berubah mencekam, sedingin dan sesunyi kuburan di tengah malam. Mereka hanya bisa menonton kengerian yang terbentang di depan mata.

"Sudah cukup. Aku mau pingsan lagi," batin Reza, puas. Adegan "kerasukan"nya sudah mencapai klimaks. Sekarang tinggal bagian akhir dari aksinya.

"Anak ini akan aku bawa ke alam baka!" ucap Reza, suaranya parau, seperti makhluk dari dunia lain. Tanpa peringatan, ia kemudian membenturkan kepalanya sendiri ke bibir bak kamar mandi. BUGH! Suaranya lumayan keras. Tentu saja, ia sudah mengukur kekuatan benturannya; paling-paling hanya akan pingsan sejenak. Lagipula, bagi Reza, pingsan itu sudah seperti hobi.

"REZA!!!" teriak Galih, panik setengah mati. Ia mengira Reza benar-benar kerasukan dan kini akan membawa Rangga... entah ke mana. Suasana yang tadinya tegang kini bercampur aduk antara ketakutan, kebingungan, dan sedikit... tawa kecil yang tertahan dari sisi penonton yang menyaksikan kegilaan ini.

"Rimin! Keluarkan Reza!" perintah Galih, suaranya naik satu oktaf, nyaris pecah.

Darah segar mengucur dari jidat Reza, membaur dengan busa putih yang mengering. Di lantai, bangkai tikus yang tadinya jadi "properti" aktingnya berserakan tak berbentuk. Rangga masih tergeletak jongkok, terhuyung, sesekali muntah-muntah karena sisa rasa menjijikkan dari bangkai tikus yang nyaris tertelan. Kepalanya juga berdenyut pusing, membalas dendam atas ketukan gayung dari Reza tadi.

"Apa yang kamu tunggu?! Cepat masuk dan bawa Reza!" teriak Galih lagi, kali ini nada suaranya penuh frustrasi. Ia mendengus kesal. Pagi ini, rasanya tak ada satu pun dari teman-temannya yang bisa diandalkan. Semuanya mendadak bego dan tak berguna.

Rimin melangkah masuk ke kamar mandi, seolah setiap pijakannya bisa memicu jebakan. Ia mendekati Reza dengan kewaspadaan tingkat tinggi, matanya menyapu sekeliling, siap menghadapi kejutan berikutnya. Perlahan, ia mengangkat tubuh Reza yang terkulai, lantas membawanya keluar dari 'medan perang' kamar mandi.

Galih langsung menempelkan jarinya ke hidung Reza. Ada embusan napas, meski sangat pelan. "Cepat bawa ke kamarnya!" perintah Galih tegas, nada suaranya kembali ke mode bos yang efisien.

Rimin patuh, segera menggendong Reza menuju kamarnya. Sementara itu, Galih bergegas mengeluarkan ponselnya, menghubungi Bagas, asisten pribadinya, untuk segera memanggilkan dokter ke rumah.

Pandangan Galih beralih ke toilet. Entah kenapa, membayangkan Reza disekap semalaman bersama tikus-tikus itu membuat dadanya nyeri. Bagaimanapun juga, Reza adalah darah dagingnya. Rasa bersalah dan khawatir mulai merayapi hati Galih

Reza sudah terbaring di kamarnya. Narti, asisten rumah tangga di rumah itu, menatap wajah Reza yang kini berlumuran darah. Ada campuran heran dan iba di benaknya. "Kasihan sekali kamu, Nak," pikir Narti. "Setidaknya kamu juga manusia, kenapa selalu diperlakukan seperti binatang?"

"Narti, bersihkan dulu tubuh Reza. Nanti dokter akan datang," perintah Galih.

"Baik, Tuan," jawab Narti singkat.

Narti adalah satu-satunya orang di rumah itu yang diam-diam sering membantu Reza. Ia sering membelikan Reza baju, meski hanya baju paling murah dari pasar malam, karena ia juga harus menghidupi banyak anak di kampung. Dengan telaten, Narti mengganti seluruh pakaian Reza. Ini bukan hal baru baginya. Hanya Narti yang masih menganggap Reza, setidaknya, sebagai manusia—bukan sekadar 'Tuan Muda Baskara' yang sempurna.

Galih mengumpulkan seluruh anak-anaknya di ruang tengah. Wajahnya merah padam menahan emosi. "Aku tahu kalian adalah dalang di balik ini semua," ucapnya dengan nada tertahan, penuh kekesalan.

Tiba-tiba, Laras muncul dari belakang, berdiri membela anak-anaknya. "Kalau mereka memang kenapa?" tanyanya santai, jelas tak suka Galih menyudutkan buah hatinya.

"Ratna, kamu jangan ikut campur!" sergah Galih. "Kalau mereka sikapnya seperti ini terus, aku bisa jatuh miskin!"

Ratna mendengus. "Kamu itu terlalu mengada-ada. Reza itu tidak akan mati. Kemarin saja terjun ke jurang dia tidak mati, hanya disekap saja kok," balas Ratna membela anak-anaknya, nada suaranya enteng seolah tak terjadi apa-apa.

Lagi dan lagi, Galih merasa tak berdaya. Ia sangat menyayangi istri dan anak-anaknya. Kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan adalah meniduri Diah Petaloka, ibu Reza, dan kini ia harus menanggung semua konsekuensinya.

"Oke... kali ini aku maafkan kalian," ujar Galih, menghela napas panjang, menahan gejolak amarah. Wajahnya menunjukkan kekalahan. "Ingat, jangan sekali-sekali lagi melakukan hal seperti ini!" Ia menekankan setiap kata. "Sabar dulu, kita masih membutuhkan Reza hidup sampai umur 25 tahun."

"Sudah, bubar sana!" perintah Galih, mengakhiri perdebatan.

Galih tak ingin memperpanjang urusan dengan anak-anaknya. Ia tahu betul, jika terus ribut, Larasati pasti akan melaporkan semuanya ke Miranda, ibunya. Dan itu adalah masalah yang tak ingin dihadapinya.

Galih tak mau membuat ibunya, Miranda, banyak pikiran. Ia keluar rumah, memanggil Rimin dan Rangga, serta dua bodyguard yang selama ini bertugas mengawasi Reza. Keempatnya dikumpulkan di halaman belakang. Lima pengawal lain berdiri tegak di belakang Galih, menambah kesan mencekam.

"Selama ini aku sudah terlalu lembek pada kalian, hingga kalian menjadi bodoh," ucap Galih tegas, suaranya menggelegar. "Pukul mereka dengan rotan, sebanyak 30 kali pukulan."

Keempat orang itu hanya bisa pasrah. Mulut mereka sudah disumpal kain, sehingga tak ada yang bisa berteriak, hanya menahan sakit dari setiap sabetan rotan yang menghantam tubuh mereka.

Galih menatap toilet itu lagi, kali ini dengan perasaan merinding. Sebuah fakta pahit menamparnya: ia tak menyangka anak-anaknya bisa melakukan hal sekejam ini, sungguh tidak manusiawi. Walaupun Reza adalah hasil dari hubungan gelapnya, ia tahu Diah—ibu Reza—tak pernah menggodanya. Justru Galih sendirilah yang mendatangi kamar Diah dan menidurinya dengan paksa. Diah kemudian kabur, apa daya, ia hanyalah seorang ART.

"Bongkar toilet ini, ratakan dengan tanah!" ucap Galih dingin, suaranya sarat kemarahan dan penyesalan.

Tanpa menoleh lagi, Galih melangkah masuk ke dalam rumah.

Dokter sudah tiba dan langsung memeriksa Reza yang masih terbaring lemah. Di sisi lain, aura permusuhan begitu kental. Ada pandangan kesal dan benci tertuju pada Galih dan, tentu saja, pada Reza.

Dimas dan Vanaya saling pandang, kesal sekaligus heran kenapa rencana mereka bisa gagal total. "Sepertinya Ayah mulai simpati sama anak sialan itu," ucap Vanaya kesal, berbisik pada Dimas.

"Sepertinya begitu," jawab Dimas, matanya menatap tajam ke arah kamar Reza.

"Kalau dia tidak berhasil kita hancurkan di rumah, maka kita akan hancurkan di kampus," cetus Vanaya dengan nada dingin.

"Ya, pokoknya tidak ada tempat yang layak untuk anak sialan itu," timpal Dimas, seringai kejam muncul di wajahnya. "Semua tempat harus jadi neraka baginya."

1
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!