NovelToon NovelToon
Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nclyaa

Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.

Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sastra : Takdir yang tak pernah kupilih, namun menemukan ku

Angin sore berhembus lembut dari balik jendela perpustakaan, menggoyangkan tirai putih tipis yang menggantung. Asha duduk di salah satu meja kayu panjang, membuka laptopnya yang penuh dengan file makalah, jurnal sastra, dan draft esai yang belum selesai. Wajahnya yang teduh dibalut jilbab berwarna baby pink itu ikut tertiup angin dengan pelan, sesekali ia membenarkan jilbabnya yang hampir tersingkap oleh aangi.

"Semester tiga ini bener-bener nguji kepintaran otak aku," gumamnya lirih sambil menatap layar kosong di hadapannya.

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia memasuki gerbang kkampu. Dulu ia hanya seorang siswi SMA yang bingung menentukan arah hidupnya. Kini, ia sudah menjadi mahasiswi sastra, meski jurusan ini bukan pilihan pertama yang sempat ia impikan.

Awalnya, Asha lebih condong pada jurusan kebidanan dan pengobatan tradisional Tiongkok. Ada ketertarikan dalam dirinya melihat bagaimana dunia medis bekerja, bagaimana tangan manusia bisa menjadi perantara untuk menyelamatkan nyawa, bagaimana ramuan tradisional yang diwariskan turun-temurun mampu menyembuhkan sakit. Namun, semakin ia renungkan, semakin ia merasa itu bukan jalannya.

"Kalo aku masuk kebidanan, emang aku bisa kuat liat darah tiap hari? Emang aku bisa duduk tenang pas pasien ngeluh sakit?" pikirnya kala itu.

Ia tahu dirinya terlalu rapuh untuk menghadapi beban psikologis yang begitu besar. Sementara pengobatan tradisional memang menarik, tetapi ia merasa tidak punya kesungguhan hati untuk mendalami dunia itu.

Akhirnya, ia memilih sastra, jurusan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Mungkin aku gak bakalan jadi dokter atau bidan, tapi aku bisa jadi motivator lewat kata-kata yang aku bikin, nanti." begitu batinnya waktu itu.

Pilihan itu sempat membuat beberapa temannya terkejut. Bahkan ibunya sempat bertanya berulang kali, memastikan Asha tidak salah isi formulir.

Namun, setelah dua semester berlalu, dan kini memasuki semester tiga, Asha mulai menyadari bahwa pilihan ini bukan tanpa alasan. Meski awalnya ia tidak memiliki dasar dalam bidang sastra, ada sesuatu yang membuatnya bertahan yaitu, rasa penasaran. Setiap kali dosennya membacakan puisi lama karya Chairil Anwar atau membedah novel klasik Pramoedya Ananta Toer, hatinya bergetar. Ia merasa seolah sedang masuk ke dalam dunia lain, dunia yang hanya bisa dibuka dengan kata-kata.

"Tapi kenapa susah banget ya Allah," keluh Asha dalam hati, menatap esai yang belum selesai.

Ia sering merasa tertinggal dibanding teman-temannya yang sejak SMA sudah terbiasa dengan dunia literasi. Beberapa temannya rajin menulis cerpen, ada pula yang sudah menerbitkan puisi di majalah. Sedangkan dirinya? Baru belajar merangkai kata dengan rapi.

Namun di balik rasa minder itu, Asha punya tekad. Ia tidak ingin menyerah hanya karena dirinya bukan yang paling unggul. Ia percaya, sesuatu yang dipelajari dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil.

Di sela lamunannya, datanglah teman sekelasnya, yang langsung menjatuhkan tubuh di kursi sebelah.

"Sha, nulis apaan? Serius bener." tanya temannya sambil menaruh buku tebal diatas meja.

Asha tersenyum tipis, lalu menutup laptopnya.

"Makalah kritik sastra, otak aku stuck. Dari tadi nggak nemu kata-kata yang pas." ucapnya dengan sebal.

temannya terkekeh kecil.

"Santai aja, Sha. Kita kan masih belajar. Lagian, nggak ada orang yang langsung jago dari awal. Kan kamu sendiri yang bilang ke kita waktu itu. Enggak, dulu aku juga nggak ngerti gimana caranya bedah puisi. Tapi lama-lama, kalo rajin baca, nanti ada feel sendiri." jelasnya menenangkan Asha yang tidak percaya pada dirinya sendiri.

Asha menghela napas, lalu bersandar di kursi. Kata-kata temannya itu ada benarnya. Ia sering lupa bahwa proses tidak bisa dipaksa instan, semester tiga ini hanyalah bagian dari perjalanannya, bukan akhir segalanya.

Di luar perpustakaan, matahari mulai tenggelam. Langit jingga memantul di kaca jendela, membuat Asha termenung. Ia tersenyum pelan, merasakan semacam ketenangan. Mungkin jalan hidupnya memang bukan di bidang medis. Mungkin ia tidak akan menjadi perawat, atau tabib, tapi siapa tahu suatu hari nanti tulisannya bisa menyentuh hati banyak orang, seperti obat yang menyembuhkan luka yang tak kasatmata.

"Tahan Shaa! Masih 5 semester lagi." gumamnya, kali ini dengan lebih yakin.

Beberapa minggu setelah obrolannya dengan temannya di perpustakaan, Asha mendengar kabar dari salah satu dosennya bahwa ada lomba menulis cerpen tingkat nasional. Dosen itu bahkan menyarankan mahasiswa jurusan sastra ikut serta, sebagai ajang mengasah kemampuan.

"Aku? Ikut lomba? Yang bener aja!" Asha hampir tidak percaya dengan dirinya sendiri. Ia merasa belum cukup pantas. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin besar rasa ingin tahunya.

Di ruang kelas, ia memberanikan diri untuk bertanya pada dosennya setelah jam kuliah selesai.

"Pak… kalau misalnya ada mahasiswa yang masih pemula, boleh ikut lomba itu nggak?" tanyanya ragu.

Sang dosen menatapnya sejenak, lalu tersenyum.

"Boleh sekali, Asha. Justru dengan ikut, kita bisa tau di mana posisi kemampuan kita. Jangan takut kalah. Yang penting berani coba."

Ucapan itu membuat Asha berpikir keras sepanjang perjalanan pulang. Malam itu, ia menatap layar laptop cukup lama. Jari-jarinya ragu menekan huruf-huruf di keyboard.

"Mulainya darimana dulu?" tanyanya pada diri sendiri.

Teman sekamarnya tiba-tiba menimpali perkataan Asha barusan.

"Kamu tulis aja tentang pengalaman kamu sendiri. Kadang, kisah paling sederhana justru bisa lebih oke Sha." katanya

Asha akhirnya mencoba. Malam-malam berikutnya ia habiskan dengan menulis. Ada rasa ragu, ada perasaan minder, tapi juga ada percikan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Saat menulis, ia merasa sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Di sisi lain, Asha mulai tertarik ikut UKM Sastra. Ia mendengar banyak cerita bahwa di sana mahasiswa bisa berlatih menulis, berdiskusi, bahkan mementaskan karya. Namun, langkah itu tidak semudah yang ia bayangkan.

Pertemuan pertama UKM membuatnya gugup. Di ruangan sederhana dengan kursi melingkar, sudah ada belasan mahasiswa. Ada yang sedang membaca puisi, ada yang sibuk menulis catatan. Beberapa senior terlihat begitu percaya diri.

Seorang senior bernama Damar, yang dikenal vokal dan kritis, membuka diskusi.

"Di sini, kita bukan cuma belajar nulis indah. Kita belajar jujur lewat tulisan. Jadi, jangan takut salah. Kalau jelek, kita perbaiki sama-sama. Tapi jangan baper kalau dikritik, ya."

Asha merasakan jantungnya berdegup kencang. Ketika tiba gilirannya memperkenalkan diri, suaranya sempat bergetar.

"Asha Zeanna Zahira, orang-orang biasa manggil aku Asha. Aku di jurusan sastra semester tiga, baru pertama kali ikut UKM ini. Aku suka baca, sekarang lagi belajar nulis karya sendiri."

Beberapa anggota tersenyum ramah, tapi ada juga yang terlihat biasa saja. Damar hanya mengangguk singkat, lalu berkata,

"Oke, Asha. Kalo kamu suka baca, berarti kamu udah pegang kunci pertama. Tinggal nanti kamu beraniin nulis karyanya aja, meskipun itu sederhana, tapi boleh dicoba."

Ucapan itu membuat Asha agak lega. Tapi ketika pertemuan berlanjut, ia sadar bahwa lingkungan UKM ini penuh dengan orang-orang yang sudah terbiasa menulis sejak lama. Ada yang puisi-puisinya pernah dimuat di media. Ada yang sudah sering juara lomba.

Rasa minder mulai menghampiri.

"Bisa-bisanya aku duduk bareng orang-orang hebat," gumamnya dalam hati.

Namun, di balik rasa kecil hati itu, ada api yang justru menyala. Setiap kritik yang ia dengar, setiap kalimat pedas yang dilontarkan senior, justru membuatnya semakin ingin belajar. Ia tahu, jalan sastra bukan jalan instan. Dan mungkin, di sinilah ia akan menemukan jati dirinya.

Hari-hari berikutnya, Asha menjalani rutinitas baru, yaitu kuliah, menulis, rapat UKM, dan kembali menulis. Kadang ia lelah, kadang ia ingin menyerah. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, yaitu ia mulai mencintai prosesnya.

Malam sebelum deadline lomba, Asha menatap naskah cerpen yang sudah ia tulis. Ada rasa takut, tapi juga bangga. Ia akhirnya menekan tombol submit.

"Bismillah, apapun hasilnya… ini langkah pertama yang aku ambil," bisiknya sambil menutup laptop.

1
Takagi Saya
Aku suka gaya penulisanmu, jangan berhenti menulis ya thor!
Nclyaa: Timakaci❤
total 1 replies
°·`.Elliot.'·°
Kreatif banget!
Nclyaa: timakaci ❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!