NovelToon NovelToon
Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu

Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Yullia Widi

Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.

Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.

Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.

Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 : Luka yang Tersingkap di Hadapan Dunia

Hari itu langit tampak mendung, seolah ikut menyimpan segala sesak yang tertahan. Nayla berdiri di depan cermin, mengenakan blouse putih sederhana dan celana palazzo biru tua. Penampilannya tenang dan profesional, tapi matanya menyimpan gugup. Hari ini, ia menghadiri reuni kampus tempat dulu ia dan Arvan pertama kali bertemu tempat di mana banyak luka bermula, sekaligus menjadi saksi awal cinta yang sempat mereka jaga.

Faiz menjemput Nayla tepat waktu. Ia tidak berkata banyak, hanya memberi tatapan yang cukup untuk membuat Nayla merasa bahwa ia tidak sendiri. Di sepanjang perjalanan, Faiz memutar lagu jazz lembut, memberi ruang pada keheningan yang dibutuhkan.

Di aula kampus, suasana sudah ramai. Beberapa teman lama menyapa Nayla dengan antusias, meski sebagian besar masih diam-diam membicarakan kabar perceraiannya dengan Arvan. Nayla tahu. Tatapan itu tidak pernah bisa berbohong.

Dan seperti yang ia duga, Arvan juga hadir. Kali ini dengan tampilan rapi, tapi aura lelah masih jelas di wajahnya. Di sisinya, berdiri seorang perempuan yang tak asing: Laras.

Laras tampil memesona seperti biasa. Lipstik merah, high heels berkilau, dan senyum penuh kepalsuan.

“Lama tak bertemu, Nayla,” sapa Laras, suaranya seolah mengiris udara.

Nayla hanya mengangguk pelan. “Iya, lama.”

“Dengar-dengar, kamu sekarang jadi aktivis perempuan? Keren juga. Dari mantan istri yang ditinggal, jadi tokoh publik. Transformasi yang hebat,” sindir Laras dengan senyum manis.

Faiz berdiri di samping Nayla, tak berkata apa pun, tapi tatapannya cukup membuat Laras sedikit gentar.

“Dan kamu,” Nayla menatap Laras tenang, “dari pelakor, jadi mantan kekasih yang ditinggal. Dunia memang lucu ya.”

Laras nyaris kehilangan kata-kata. Arvan memalingkan wajah. Ia tidak pernah membayangkan Nayla bisa begitu tegas. Perempuan yang dulu ia abaikan itu kini berdiri lebih tinggi darinya, secara mental maupun martabat.

Acara dilanjutkan dengan sesi bincang alumni sukses. Dan kejutan terjadi ketika panitia menyebutkan nama Nayla sebagai salah satu pembicara.

“Perjalanan Hidup dan Ketahanan Diri”  begitu tema yang diberikan padanya.

Nayla berdiri di atas panggung dengan tenang. Sorot lampu mengenai wajahnya. Ia membuka lembar catatan, lalu menatap seluruh audiens.

“Dulu, saya percaya bahwa cinta cukup untuk membuat seseorang bertahan. Tapi ternyata, cinta yang tidak disertai keberanian untuk memperjuangkan dan melindungi hanyalah bentuk ilusi.”

Semua terdiam. Laras gelisah. Arvan menunduk.

“Saya pernah berada di titik terendah, menjadi istri yang tidak dianggap, perempuan yang dihina, dan manusia yang dilupakan. Tapi dari sana saya belajar: bahwa tidak semua yang hilang harus dicari, dan tidak semua yang kembali layak diberi tempat.”

Tepuk tangan menggema. Tapi Nayla hanya tersenyum tipis.

“Dan hari ini, saya berdiri di sini bukan karena saya kuat. Tapi karena saya memilih untuk tidak hancur.”

Faiz, yang duduk di bangku tengah, menatap Nayla dengan mata yang tak bisa berbohong: ia bangga.

Setelah acara usai, Arvan menghampiri Nayla.

“Kamu hebat tadi.”

Nayla menatapnya sebentar. “Terima kasih.”

“Boleh kita bicara sebentar?”

Nayla menimbang. Lalu mengangguk.

Mereka duduk di bangku taman kampus.

“Aku sadar semuanya terlambat. Tapi kalau boleh jujur… aku masih punya rasa.”

Nayla menghela napas. “Rasa, Van, tidak cukup untuk mengembalikan apa yang sudah kamu hancurkan.”

“Kalau aku ingin memperbaiki semuanya, mulai dari awal?”

“Kamu bisa perbaiki hidupmu. Tapi bukan denganku di dalamnya.”

Arvan menatapnya hampa. “Kamu sudah punya orang lain?”

“Aku punya diriku sendiri. Dan itu lebih dari cukup sekarang.”

Langkah-langkah kaki terdengar menyatu dengan suara musik yang mengalun lembut dari panggung kecil. Malam mulai turun ketika acara reuni beralih ke sesi makan malam dan temu kangen. Suasana seolah hangat dan penuh tawa, tapi bagi Nayla, momen itu seperti memeluk bara hangat di luar, menyakitkan di dalam.

Ia berjalan perlahan ke sudut taman kampus, menghindar dari sorotan. Duduk di bangku panjang dekat kolam ikan, Nayla menarik napas panjang, menatap pantulan bulan di air.

“Masih sama seperti dulu, ya? Kamu selalu suka menyendiri habis acara ramai,” ucap Arvan tiba-tiba.

Nayla tak menoleh. Ia tahu suara itu.

“Kamu masih suka diam-diam memperhatikanku?” tanya Nayla pelan.

Arvan mengangguk meski tahu Nayla tak sedang menatapnya. “Dulu aku terlalu bodoh untuk menghargai keberadaanmu. Tapi aku tak pernah benar-benar berhenti memikirkanmu.”

Nayla berbalik menatapnya, kali ini tanpa air mata, tanpa harapan. Hanya ketenangan yang mematikan. “Masalahnya, Van, kamu baru sadar saat semuanya sudah selesai.”

Arvan duduk di sebelahnya, menjaga jarak. “Aku tahu aku sudah salah besar. Tapi aku juga tahu, tidak semua kesalahan harus dihukum seumur hidup.”

Nayla menoleh padanya. “Benar. Karena Tuhan pun Maha Pemaaf. Tapi bukan berarti yang disakiti wajib kembali.”

Ia berdiri, meninggalkan Arvan dalam diam.

Keesokan harinya, sebuah artikel dari media lokal tentang reuni itu viral. Judulnya sederhana: “Ketegaran Mantan Istri Seorang Eksekutif, Menyuarakan Luka untuk Perempuan Indonesia.”

Nayla tak menyangka pidatonya akan menyentuh begitu banyak hati. Komentar mengalir deras di akun sosial medianya. Pesan-pesan dari perempuan tak dikenal memenuhi inbox-nya mengucap terima kasih karena suara Nayla menjadi penguat bagi luka mereka sendiri.

Ia menangis malam itu, bukan karena sedih, tapi karena akhirnya luka yang ia pendam lama justru menjelma jadi cahaya bagi orang lain.

Faiz datang ke rumah malam itu, membawa secangkir teh hangat dan sebuah amplop berisi undangan untuk menjadi narasumber di seminar nasional bertema Healing dari Kekerasan Emosional dalam Rumah Tangga.

“Kamu jadi suara buat banyak orang, Nayla,” ucap Faiz pelan.

Nayla memandang undangan itu lama. “Aku tidak pernah menyangka, perjalanan yang penuh luka ini bisa jadi sesuatu yang berguna.”

Faiz tersenyum. “Karena kamu berani. Bukan hanya bertahan, tapi juga memilih untuk tumbuh dari luka.”

Beberapa minggu setelahnya, Nayla resmi menjadi salah satu tokoh publik perempuan yang diundang ke berbagai acara kampus dan komunitas. Ia menulis artikel, muncul di podcast, bahkan ditawari menerbitkan buku.

Namun semakin ia melangkah ke depan, semakin Arvan mencoba muncul kembali. Lewat pesan, lewat panggilan yang tak dijawab, lewat kiriman bunga yang tak pernah dibalas.

Dan di salah satu acara diskusi publik, Nayla dikejutkan oleh kehadiran Arvan di barisan audiens.

Setelah sesi tanya jawab, Arvan mengangkat tangan. “Boleh saya bertanya?” suaranya tenang, tapi wajahnya letih.

Semua mata menoleh. Nayla meneguk ludah, lalu mengangguk pelan.

“Jika suatu saat orang yang menyakitimu datang untuk meminta kesempatan… bukan karena rasa bersalah, tapi karena ia akhirnya menyadari kamu adalah rumah yang ia tinggalkan… apakah kamu akan menutup pintu selamanya?”

Ruangan hening. Nayla menatap Arvan dengan tatapan yang mengandung lebih dari sekadar jawaban.

“Rumah itu memang tempat pulang, Arvan. Tapi rumah juga punya hak untuk tidak menerima kembali seseorang yang pernah merusaknya habis-habisan.”

Tepuk tangan membahana. Tapi Nayla tahu, kalimat itu bukan kemenangan. Itu hanya titik akhir dari luka yang akhirnya selesai.

1
Mamah dini
raka atau arvan
Mamah dini
mudah2an pilihanmu yg sekarang ada benarnya nay, jgn diam kalau GK di anggap
Mamah dini
mampir thor, kasian kmu nay , semoga kedepan nya kmu bisa bahagia sm orang yg benar2 mencintaimu menghargaimu dn melindungimu, semangat terus nay .
yuliaw widi: Aamiin, Makasih Mamah dini 🤍 sudah mampir dan ikut merasakan luka Nay.
yuliaw widi: Aamiin, Makasih Mamah dini 🤍 sudah mampir dan ikut merasakan luka Nay.
total 2 replies
Dâu tây
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
yuliaw widi: Terima kasih! Tenang, update-nya bakal lanjut terus kok 🤍
total 1 replies
Jennifer Impas
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
yuliaw widi: Makasih! Senang banget ceritanya bikin kamu terus baca 😍
total 1 replies
mr.browniie
Menggetarkan
yuliaw widi: Terima kasih banyak, senang sekali bisa menyentuh hati pembaca 🖤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!