NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 25 Tanda di Batu Lumut

Matahari sudah meninggi ketika mereka kembali bergerak. Rumput basah masih menempel di ujung sepatu mereka, dan udara pagi membawa hawa segar bercampur dengan dingin.

Mauryn berjalan di tengah, sementara Revan selalu berada sedikit di depan, dan Ardan mengikuti dari belakang sambil bersenandung pelan.

“Kalau kita terus jalan seperti ini,” keluh Ardan

“aku yakin kakiku akan berubah jadi batu. Kamu yakin kita tidak bisa cari kuda atau semacamnya?”

“Kuda akan meninggalkan jejak. Lebih mudah bagi mereka untuk menemukan kita.” Revan menoleh sekilas.

Ardan mendesah keras, seakan ingin semua burung di hutan mendengarnya.

“Kamu selalu punya jawaban untuk segalanya. Menyebalkan.”

“Tapi dia benar, Ardan. Aku juga lelah, tapi lebih baik seperti ini daripada kembali dikejar.” Mauryn tersenyum samar.

“Baiklah, baiklah. Aku kalah suara.” Ardan mengangkat tangan.

Mereka melewati jalur berbatu yang ditutupi lumut. Mauryn berjalan pelan, matanya tanpa sadar menelusuri setiap bentuk di sekitar. Ada sesuatu yang aneh, tapi ia belum bisa menjelaskannya.

“Revan… tunggu.” Tiba-tiba langkahnya terhenti.

Revan segera berhenti, tangannya refleks menyentuh gagang pedang.

“Apa ada sesuatu?”

Mauryn berjongkok di depan sebuah batu besar yang sebagian tertutup lumut. Tangannya perlahan menyapu lumut itu, hingga sebuah ukiran samar terlihat: bentuk lingkaran dengan garis patah di tengahnya.

“Ini… ini sama dengan ukiran di liontin ayahku.” Matanya melebar.

Revan mendekat, berjongkok di sampingnya. Wajahnya berubah serius.

“Kamu yakin?”

“Aku tidak mungkin salah. Aku masih ingat jelas.” Mauryn mengangguk mantap.

Ardan ikut mendekat, menatap ukiran itu sambil mengerutkan kening.

“Hm. Bagiku itu cuma coretan aneh. Kamu yakin itu bukan sekadar batu yang bosan lalu memutuskan untuk dihias?”

“Ardan!” Mauryn menoleh padanya.

“Baik, baik.” Ardan mengangkat tangan, lalu menunduk lebih dekat.

“Tapi kalau itu memang tanda, artinya… ayahmu meninggalkan petunjuk, kan?”

Revan menyentuh ukiran itu dengan jemarinya, meraba lekukan dalam batu.

“Ya. Dan ini bukan kebetulan. Tempat ini bukan jalur biasa. Ia ingin seseorang mungkin kamu, Mauryn menemukan ini.”

Mauryn menggenggam tangannya, hatinya berdegup kencang.

“Kalau begitu… mungkin liontin itu bukan hanya kunci. Tapi juga peta.”

“Bisa jadi.” Revan menatapnya, matanya berkilat.

Mereka duduk di dekat batu itu sejenak, mencoba menenangkan diri. Ardan yang biasanya cerewet kali ini lebih banyak diam.

Akhirnya ia berkata pelan,

“Mauryn… bagaimana kalau ayahmu meninggalkan semua ini bukan untuk melindungimu, tapi… untuk menyeretmu ke dalamnya?”

“Maksudmu?” Mauryn terkejut.

“Aku hanya bilang… bagaimana kalau ini bukan warisan? Bagaimana kalau ini adalah beban yang kau tidak pernah minta?” Ardan menatap tanah.

Hening.

“Cukup.” Revan menatap Ardan dengan tajam.

Ardan menatap balik, tidak gentar.

“Aku hanya jujur. Bukankah lebih baik dia mempertimbangkan semua kemungkinan daripada buta berjalan ke dalam jebakan?”

“Tidak… Ardan ada benarnya. Aku memang takut. Bagaimana kalau semua ini hanya akan membawaku ke kematian?” Mauryn menggigit bibirnya.

Revan berbalik menatapnya, nadanya tenang tapi penuh keyakinan.

“Kalau itu jebakan, kita akan hadapi bersama. Kalau itu warisan, kita akan mengungkapnya. Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendirian.”

Mata Mauryn berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, tapi menusuk dalam.

“Ya ampun. Kau selalu tahu cara bicara dramatis, Revan.” Ardan mendesah.

“Aku bicara apa adanya.” Revan hanya mengangkat bahu.

Mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti arah yang ditunjukkan ukiran itu: sebuah jalur kecil yang nyaris tertutup semak.

Mauryn berjalan paling depan kali ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang seakan terpanggil oleh jalur itu.

“Rasanya aneh,” katanya pelan.

“Seperti ada yang menuntun langkahku.”

Ardan menatap punggungnya, lalu bergumam

“Aku harap itu ayahmu. Bukan sesuatu yang lebih jahat.”

Mauryn menoleh sekilas, tersenyum kecil meski cemas.

“Kamu memang tidak bisa berhenti bicara, ya?”

“Kalau aku diam, aku malah akan gila.” Ardan tersenyum kecut.

Jalur itu membawa mereka ke sebuah dataran rendah, di mana sebuah pohon tua berdiri. Akarnya menonjol keluar, meliuk seperti ular yang membelit tanah.

Mauryn melangkah mendekat, matanya melebar ketika melihat sesuatu di batang pohon itu: ukiran yang sama dengan di batu tadi.

Tapi kali ini, ada tambahan: simbol kecil berbentuk bintang di atas lingkaran.

“Ini… petunjuk kedua,” bisiknya.

Revan mendekat, meneliti ukiran itu.

“Ya. Dan semakin jelas kalau ini bukan kebetulan.”

“Ayahmu benar-benar suka ukiran, ya? Dia tidak punya cara lain untuk meninggalkan pesan?” Ardan bersiul pelan.

Mauryn menoleh, tersenyum samar meski gugup.

“Mungkin ini caranya berbicara denganku… bahkan setelah ia tidak ada.”

Hening lagi.

Revan akhirnya berkata pelan,

“Kita harus terus mencari. Setiap simbol ini adalah jejak. Dan pada akhirnya… akan membawa kita ke liontin itu.”

“Aku siap.” Mauryn menatapnya, matanya penuh tekad.

Ardan mendesah, lalu tertawa kecil.

“Aku tidak. Tapi aku ikut saja.”

Mauryn tertawa samar, dan untuk sesaat ketegangan berkurang.

Malam mulai turun. Mereka membuat api unggun kecil di dekat pohon itu.

Ardan berbaring, menatap bintang.

“Lucu, ya. Kita berburu ukiran di batu dan pohon, sementara orang lain mungkin sedang tidur nyaman di ranjang mereka.”

Mauryn ikut menatap bintang.

“Aku tidak iri. Kalau aku tidak di sini… aku tidak akan tahu apa pun. Aku lebih memilih menghadapi kebenaran, meski menyakitkan, daripada hidup dalam kebohongan.”

Revan menatap api, suaranya pelan.

“Itu yang membuatmu berbeda, Mauryn. Itu kekuatanmu yang sebenarnya.”

Mauryn terdiam, hatinya bergetar. Ia menunduk, lalu berkata pelan.

“Terima kasih. Untuk tetap bersamaku.”

“Aku sudah bilang… aku tidak akan pergi.” Revan menatapnya, matanya dalam.

Ardan mendengus sambil menutup wajahnya dengan kain.

“Kalau kalian mulai saling menatap lagi, aku akan benar-benar muntah. Tidurlah, besok pasti lebih gila dari ini.”

Mauryn menahan tawa, sementara Revan hanya tersenyum tipis.

Dan malam itu, di bawah bintang yang berkelip, mereka bertiga tahu: perjalanan mereka baru saja benar-benar dimulai.

Bersambung…

Jangan lupa Like, Komen dan Votenya yah

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!