NovelToon NovelToon
THE ETERNAL QUEEN

THE ETERNAL QUEEN

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Menjadi NPC
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yuuuki

Aku mengingat semua kehidupanku, tapi yang pasti aku tidak ingat kehidupan pertamaku, dan firasatku aku buka mahkluk bumi ini, siapa aku?
Lagi lagi aku menjadi seperti ini, terjebak di putaran dunia. kehidupan ku yang ke 1002
Besok ngapain ya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuuuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: Dewan siswa!!

“Mulai sekarang dan seterusnya, jadilah wakilku,” ucapnya di hadapan seluruh anggota Dewan Siswa. Suaranya tenang, tapi tegas. Tak terdengar seperti permintaan.

“Aku tidak menerima penolakan,” lanjutnya singkat.

Ia berdiri tegak di ujung meja rapat, tangan terlipat di belakang punggung. Penampilannya rapi, sikapnya tenang. Putra Mahkota memang selalu seperti itu, tidak banyak bicara didepan banyak orang, tapi sekali berbicara, semua orang mendengarkan.

“Sebelumnya aku belum pernah memilih wakil,” katanya, menatapku langsung.

“Dan aku rasa, sekarang saatnya.”

Lalu ia tersenyum tipis, bukan senyum sinis, lebih ke senyum percaya diri.

“Gimana?” tanyanya. “Mau atau tidak?”

Aku menghela napas, mencoba tetap tenang. Dari semua orang, kenapa aku?

“Apa semua Putra Mahkota punya senyuman seperti ini? Senyuman mematikan” gumamku pelan dan sedikit mengingatkan Putra Mahkota di kehidupanku sebelumnya.

Kaisar pernah bilang aku tidak bisa menolaknya. Tapi tetap saja....

“Berikan saya alasan kenapa harus saya?” ujarku, sambil memijat pelipis.

Putra Mahkota tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku beberapa detik, lalu berkata,

“Karena aku butuh orang yang bisa bilang ‘tidak’ padaku kalau aku salah. Dan kau salah satu dari sedikit orang yang bisa melakukan itu.”

Hening sejenak. Aku tak bisa menyangkal, alasan itu cukup masuk akal.

“…Baiklah,” kataku akhirnya. “Tapi jangan harap aku akan selalu setuju dengan keputusanmu.”

Dia mengangguk pelan. “Memang itu yang aku harapkan dari seorang wakil.”

Hening beberapa detik. Lalu..

“Tunggu... apa barusan kita menyaksikan sejarah?”

Suara itu datang dari salah satu anggota Dewan, Lena, yang duduk di ujung meja dengan dagu disangga tangan. Wajahnya datar, tapi nada bicaranya sarkas seperti biasa.

“Putra Mahkota memilih wakil? Dan dengan kalimat yang hampir terdengar sopan?”

Beberapa orang tertawa kecil.

“Aku pikir dia nggak bakal pernah milih siapa pun, jujur aja,” gumam yang lain, kali ini dari Arvel, si bendahara yang biasanya lebih fokus sama anggaran daripada drama politik.

Putra Mahkota hanya melirik mereka sekilas. Tatapan tajam, tapi tidak marah. Justru terlihat tenang, seperti sudah memperkirakan semua ini.

“Sudah cukup. Keputusan sudah dibuat,” ucapnya singkat.

Lena mengangkat tangan, setengah bercanda. “Baik, Yang Mulia. Kami terima wakil barunya. Asal jangan minta kita panggil dia ‘Yang Kedua Mulia’.”

"Yah.. Begitu juga tidak apa" Ucapku asal dengan helaan nafas kasar

Dia nyengir. “Santai, Wakil. Cuma mau bantu pencitraan kok.”

Aku mendesah, lalu kembali menatap Putra Mahkota. Ia masih berdiri tegak, tapi sekarang tatapannya sedikit lebih tenang.

“Mari kita mulai rapatnya,” katanya.

“Banyak hal yang harus dibenahi. Termasuk sistem keamanan Akademi.”

Mendadak suasana kembali serius. Tapi satu hal sudah jelas: posisi ini bukan hanya soal jabatan. Ini awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan aku... sekarang ada di tengah-tengah

“Mari kita mulai rapatnya,” ucap Putra Mahkota.

Semua anggota Dewan langsung duduk lebih tegak. Lena menurunkan kakinya dari kursi, Arvel membuka catatan keuangan, dan beberapa lainnya menyiapkan berkas.

“Topik pertama,” kata Putra Mahkota, membuka lembar laporan.

“Masalah keamanan asrama utara.”

Aku menoleh, sedikit kaget. Asrama utara? Itu wilayah yang biasanya sepi, bukan tempat yang ramai pelanggaran.

“Dua hari lalu, ada laporan bahwa salah satu siswa ditemukan pingsan di belakang ruang penyimpanan,” jelas Arvel.

“Tidak ada luka luar, tapi si siswa kehilangan sebagian ingatannya. Katanya terakhir dia mendengar suara aneh.”

“Suara?” tanyaku cepat.

“Seperti bisikan... yang bukan dari manusia,” tambah Lena. “Dan anehnya, bukan hanya satu kasus. Ada tiga siswa lain yang mengaku mendengar hal serupa seminggu ini. Semua terjadi di dekat koridor utara.”

Aku melirik ke arah peta kecil di meja. Koridor utara itu dekat dengan ruang sihir arsip lama, tempat yang katanya jarang dipakai dan tidak memiliki penjaga tetap.

“Apa tempat itu masih aktif?” tanyaku.

“Tidak,” jawab Putra Mahkota.

“Tapi dulu digunakan sebagai tempat penelitian sihir gelombang suara.”

Aku meneguk air. “Kalau begitu... bisa jadi ada sisa-sisa sihir yang belum dinetralkan. Atau, ada seseorang yang sengaja mengaktifkannya kembali.”

Ruangan hening. Beberapa orang mulai terlihat gelisah.

“Aku usul,” lanjutku,

“lakukan pengecekan di koridor itu malam ini. Tapi bukan hanya penjagaan biasa. Kita kirimkan siswa yang punya afinitas elemen pendengaran atau sihir proteksi mental.”

Lena mengangguk pelan. “Aku bisa bantu urus daftarnya.”

“Dan aku bisa pastikan penjagaan tambahan dari unit patroli akademi,” sahut Arvel.

"Lebih baik jika siswa tersebut ahli dalam jurusan Penyihir Ilusi & Spirit" Ucapku

Putra Mahkota menatapku sesaat, lalu berkata, “Laporan pertama... ditangani dengan baik.”

Suaranya datar, tapi entah kenapa, aku bisa merasakan nada pengakuan di dalamnya.

“Kalau benar ini sisa sihir lama yang aktif kembali, maka kita harus siapkan tim khusus. Aku tugaskan kamu memimpinnya,” katanya, menatapku langsung.

Aku berhenti menulis, mengangkat kepala.

“…Tunggu,” ucapku pelan.

“Kenapa saya? Bukankah Anda sendiri memiliki sihir mental yang jauh lebih baik dari saya?”

Semua orang di ruangan tampak menoleh bersamaan. Pertanyaanku cukup berani, bahkan Lena sampai terdiam.

Putra Mahkota tidak langsung menjawab. Ia menutup berkas di depannya dengan tenang, lalu bersandar sedikit di kursinya.

“Karena pemimpin tidak selalu harus orang terkuat,” katanya akhirnya.

“Tapi orang yang tahu siapa yang harus dibawa bersamanya.”

Aku menatapnya, masih belum puas dengan jawabannya.

Ia melanjutkan, “Kalau aku turun tangan langsung untuk hal seperti ini, maka ke depannya semua masalah akan menunggu perintahku. Aku butuh seseorang yang bisa berpikir cepat, bertindak mandiri, dan... cukup berani untuk bertanya seperti yang baru saja kamu lakukan.”

Aku terdiam. Lena menyikut lenganku pelan di bawah meja, seakan berkata: Udah jelas, itu pujian versi dia.

Akhirnya aku menghela napas. “Baiklah. Saya terima.”

Putra Mahkota mengangguk sekali. “Tim investigasi akan bergerak malam ini. Persiapkan semuanya sebelum matahari terbenam.”

Aku berdiri, menatap papan besar berisi denah akademi. Misi pertama sebagai wakil resmi… dan aku sudah harus masuk ke wilayah terlarang, dengan kemungkinan sihir mental aktif di dalamnya.

Sungguh awal yang menyenangkan.

Pagi harinya, ruangan rapat Dewan masih setengah sepi ketika aku masuk sambil membawa map tebal berisi laporan.

Putra Mahkota sudah duduk di kursinya, membaca sesuatu. Ia melirikku sebentar saat aku meletakkan map itu di atas mejanya.

“Laporan kegiatan semalam,” kataku.

“Kami menyusuri seluruh area koridor utara hingga ke ruang arsip sihir lama.”

Ia membuka mapnya, membaca cepat halaman pertama.

“Ada tiga poin utama permasalahan,” lanjutku, tanpa menunggu ditanya.

“Saya tulis ringkasnya di halaman depan.”

Aku menunjuk dokumen yang terbagi dalam tiga bagian:

Sumber Gangguan:

→ Reruntuhan Segel Sihir Mental

Kami menemukan sisa segel sihir yang rusak di ruang arsip lama. Segel itu dulunya berfungsi membatasi sisa-sisa eksperimen sihir suara dan ilusi mental. Tapi segelnya sudah retak parah, kemungkinan besar karena usia dan kelembapan.

Efek yang Ditimbulkan:

→ Gelombang sihir acak memicu halusinasi dan kehilangan fokus

Siswa yang berada terlalu lama di area tersebut mengalami gangguan seperti mendengar bisikan, kehilangan arah, bahkan mimpi buruk yang berulang setelahnya.

Penyelesaian:

→ Segel ulang dan isolasi area sementara

Kami melakukan penyegelan darurat dengan bantuan dua siswa dari jurusan sihir pelindung. Area telah ditutup untuk umum. Saya usulkan pengawasan rutin dan pembaruan sistem pelindung dalam dua minggu ke depan.

Putra Mahkota menatap halaman itu sebentar sebelum menutup mapnya dengan pelan.

“Rapi,” komentarnya singkat.

Aku mengangguk. “Dan aman. Tidak ada siswa yang terluka lebih lanjut.”

Lena datang sambil membawa dua gelas teh, meletakkan satu di depanku.

"Wakil baru kita kerja cepat juga, ya. Aku kira kamu bakal panik kemarin malam.”

“Aku sempat panik,” jawabku.

“Tapi setelah lima menit pertama, sisanya tinggal jalanin.”

Putra Mahkota menatapku lagi, kali ini lebih lama. “Mulai hari ini, kamu juga ikut rapat keamanan utama.”

Aku mengangkat alis. “Bukannya itu hanya untuk kepala departemen sihir dan bagian protokol akademi?”

“Kamu sudah buktikan bisa berpikir seperti mereka,” jawabnya.

“Beh... mengapa lama-lama aku merasa akan meng-handle semua tugasmu,” gumamku, cukup keras agar ia dengar.

Putra Mahkota yang masih duduk tenang di kursinya hanya menoleh pelan. “Baru sadar sekarang?”

Aku melotot kecil. “Jadi memang itu rencanamu dari awal?”

“Kalau aku bilang iya?” jawabnya santai, sambil menyisip teh tanpa ekspresi bersalah sedikit pun.

“Aku bukan pengganti gratis, tahu,” protesku sambil menumpuk map dengan suara thuk agak keras.

“Kalau begini terus, jangan heran kalau aku bikin peraturan agar ketua wajib ikut patroli malam juga.”

Ia menahan senyum. “Kau punya hak mengajukan aturan seperti itu. Tapi ingat, aku juga punya hak veto.”

(Hak veto itu hak untuk menolak atau membatalkan keputusan, meskipun keputusan itu sudah disetujui oleh mayoritas.)

Aku menghela napas panjang. “Hebat. Saya dipilih jadi wakil, bukan untuk meringankan beban kerja, tapi untuk jadi tenaga tambahan.”

“Aku memilih orang yang bisa diandalkan,” katanya pelan. “Dan kamu... sudah melebihi ekspektasi.”

Aku terdiam. Entah harus merasa bangga atau tertipu dengan halus.

“Bagus,” lanjutnya, berdiri sambil merapikan jubahnya. “Karena besok pagi, kau juga ikut menghadiri inspeksi ruang pelatihan baru.”

Aku menoleh tajam. “Itu tugas bagian logistik!”

Ia sudah berjalan ke arah pintu, lalu menoleh sebentar. “Sekarang tugas Wakil Ketua.”

Dan dia pergi begitu saja. Sisa tehku belum sempat ku minum, tapi rasanya hari sudah terasa panjang.

“…Harusnya aku pura-pura pingsan waktu dipilih jadi wakil kemarin,” gumamku pelan.

Malam harinya, aku duduk di ruang kerja kecil di asrama. Tumpukan dokumen hasil rapat masih menunggu, tapi pikiranku melayang ke percakapan siang tadi.

“Besok ikut inspeksi,” katanya.

Seakan aku ini asistennya, bukan wakil.

Aku mendengus pelan sambil mengaduk teh. Kalau begitu... sudah saatnya sang Ketua juga merasakan kerja lapangan, pikirku.

Tanganku meraih selembar formulir pengajuan tugas dari kompartemen bawah meja. Aku tersenyum kecil sambil mulai menulis:

Formulir Tugas Khusus – Non-Akademik

Nama: Ketua Dewan Siswa

Tugas: Pendataan Inventaris Gudang Lama

Waktu: 06.00 pagi

Keterangan tambahan: Lokasi lembap dan minim cahaya, bawa lentera.

Puas, aku menempelkan cap kecil “Disetujui Wakil Ketua” dan meletakkannya di dalam map prioritas yang akan dikirim ke ruang Ketua besok pagi.

Keesokan harinya, saat aku datang ke ruang rapat, Lena sudah tertawa terbahak sambil menunjuk-nunjuk formulir yang terbuka di meja.

“Ini serius? Kau suruh dia bersihin gudang?”

“Pendataan,” koreksi ku. “Bukan bersih-bersih.”

“Jam enam pagi?”

Aku mengangkat bahu, berpura-pura polos. “Wakil Ketua kan harus bantu mengatur distribusi tugas.”

Tak lama kemudian, Putra Mahkota masuk, masih dengan rambut sedikit berantakan dan ekspresi datar. Bajunya bersih, tapi sepatu botnya jelas kotor karena lumpur gudang.

Dia meletakkan map laporan dengan bunyi keras di meja. Lalu menatapku.

“…Sengaja, ya?”

Aku menyisip teh. “Saya hanya menerapkan sistem rotasi kerja secara adil.”

Lena hampir tersedak karena menahan tawa.

Putra Mahkota menatapku beberapa detik, lalu, senyum tipis muncul di wajahnya.

“Baiklah, Wakil Ketua,” katanya. “Tunggu saja balasannya.”

Aku menegang sedikit.

“…Balasan dalam bentuk apa dulu, nih?”

Tapi dia sudah duduk dengan tenang, membuka berkas rapat hari ini seperti tak terjadi apa-apa.

Aku menatap Lena. “Aku baru saja mengundang bencana, ya?”

Lena mengangguk penuh simpati. “Tapi kamu juga bikin sejarah. Ketua Dewan, di gudang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!