Jawaban Untuk Kimi
"Keluarga Fatma siap kemari, Kim. Kapan kamu siap lamaran?"
Kimi tertegun ketika papa menanyakan sesuatu yang membingungan baginya.
Lamaran?
Kimi tidak ingin menebak-nebak, ia memberanikan diri bertanya langsung. "Lamaran apa maksud, papa?"
"Tentang perjodohan kamu dengan putra Fatma," jawab papa dengan santai.
Kimi merasa bingung, ia menatap mama yang menambahkan nasi pada piring papa. Ia berharap mama memberinya penjelasan.
"Segini udah, pa?" Tanya mama. Papa mengangguk, kemudian melanjutkan ucapannya. Setelah menyadari Kimi yang kebingungan.
"Begini Kimi, papa ingin menikah kan kamu dengan Arkana, putra Fatma. Papa harap kamu tidak menolaknya. Perjodohan ini sudah papa rencanakan dari jauh-jauh hari,"
Perjodohan? Dengan Arkana?
"Aku ngga bisa!"jawab Kimi. Ia merasa kesal saat kata perjodohan itu tiba-tiba saja muncul sebagai topik utama di meja makan.
Papa nampak tertegun, begitu juga dengan yang lainnya.
Kakaknya Yana segera berucap ketika menyadari papa yang menatap Kimi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa kamu buru-buru nolak, sih. Kim? Kalian aja belum pendekatan, " Ucap Yana tertawa kecil, berusaha mengurangi kecanggungan yang ada.
"Ngga perlu pendekatan, kak. Kalau aku bilang ngga yah engga,"Sahutnya dengan geram.
"Kecil kan suara mu, Kimi. Dimana sopan santun mu?" Peringatan mama membuat Kimi melengus.
Kimi tau siapa itu Arkana Savero yang hendak di nikahkan dengannya. Seorang guru yang kebetulan menjadi wali kelas nya Alam, adik bungsu nya.
"Usia kami beda jauh. Lagipula Arkan itu wali kelas nya, Alam,"
"Kalau wali kelasnya Alam, memangnya kenapa? Kamu ada masalah apa, hah?" Tanya papa dengan keangkuhannya.
Keangkuhan yang selalu membuat Kimi menjaga jarak, membangun tembok tinggi yang tanpa sadar telah berdiri kokoh diantara ikatan yang semestinya ada.
"Masalahnya... Aku ngga suka dipaksa kaya gini," Ujar Kimi lagi. Mencoba mengabaikan tatapan dingin papa.
Makan malam yang seharusnya berjalan seperti biasa itu terasa begitu menjengkelkan. Matanya bahkan menangkap perubahan raut pada wajah papa yang seketika saja mengeras. Juga mama yang terus menerus menghela napas seakan begitu lelah dengan ketidakpatuhanya. Bahkan Mas Raka, suaminya Kak Yana itu selalu saja tertawa pelan yang terdengar begitu memuakkan. Tawanya seakan mengejek sekaligus meremehkan keputusan Kimi.
"Jangan terlalu ngotot begitu, Kimi.
Kalau nantinya kamu nyesal bagaimana?"
Mas Raka terkekeh, sembari menyuapi putrinya, Rania yang berada dipangkuannya. Kakak iparnya itu terlihat begitu santai, seolah tidak terpengaruh pada ketegangan yang terasa mencekik leher.
Papa kembali diam. Namun, Kimi tahu dibalik diam nya papa tersimpan bom waktu yang mungkin bisa meledak kapan saja.
"Pak Kana itu baik loh Kak. Aku aja respek." Komentar Alam yang membuat Kimi semakin kesal. Mengapa mereka menyudutkannya. Ini adalah hidupnya, ia yang menjalaninya. Bukan Papa, Mama, Kak Yana atau Mas Raka. Apalagi Alam yang belum berumur delapan belas tahun itu. Namun tidak kalah cerewet nya mencampuri kehidupan Kimi.
Ini adalah hidup Kimi, ia yang lebih berhak dalam menentukan.
Kimi segera menegakkan pandangan nya, tanganya bergerak pelan mendorong piring yang tidak tersentuh sedikit pun makanan nya. Nafsu makannya mendadak hilang. Ini semua karena perjodohan tidak masuk akal ini.
"Maaf, tapi aku beneran ngga bisa.
Aku ngga suka hidup ku diatur orang lain," putusnya.
Papa terlihat menghentikan suapan nya, demi menatap Kimi dengan tatapan yang sulit diartikan. Kimi siap jika papa marah padanya, atau paling tidak mengutuk nya sebagai anak durhaka. Namun, papa hanya diam. Bahkan ketika mama ikut buka suara.
"Siapa yang kamu sebut sebagai orang lain, Kimi?"
"Kamu bahkan tidak akan ada didunia ini tanpa keinginan Papa dan Mama!."
"Bukanya berterima kasih, kamu justru semakin memberontak"
Lagi!
Kalimat itulah yang selalu diucapkan kepadanya, layaknya sebuah kenyataan yang tidak boleh ia abaikan. Kimi mendengkus, padahal ini bukanlah kali pertamanya ia diingatkan tentang keberadaan nya didunia yang tidak luput dari kemurahan hati orang tuanya. Namun, mengapa Kimi masih merasakan sakit. Rasanya seperti saat dulu ia jatuh dari sepeda, atau mungkin lebih sakit lagi. Karena yang tergores bukan lagi lutut maupun sikunya.
"Kenapa dulu aku ngga dibuang aja? Padahal... aku ngga pernah minta papa dan mama buat lahirin aku."
"Dari pada harus repot membesarkan anak yang tidak tau berterima kasih. Lebih baik dilenyapkan saja dari dulu." Jerit Kimi. Kedua tangannya kini meremas rok selutut yang belum sempat ia ganti dari siang.
Hal pertama yang dikomentari mama ketika ia baru tiba dimeja makan.
"Jadi anak gadis kenapa tidak disiplin, sih, Kim? Lihat kakak mu, loh. Selalu rapi. Bikin suami senang. lah... kamu, masih gadis saja sudah tidak keurus, begini."
Hal sederhana yang Kimi balas dengan senyum tipis. Ia pikir tidaklah menjadi masalah, sebab ia sudah terbiasa. Tapi, kali ini cukup melelahkan untuk Kimi.
Dan semakin melelahkan saat mama kembali buka suara.
"Ini loh Kim, yang jadi bedanya kamu sama kaka mu. Yana itu anaknya nurut, tau caranya berbakti sama orang tua."
"Sedangkan kamu itu banyaknya melawan. Orang tua aja, kamu ajak debat. Apa kurang baktinya Yana sebagai contoh buat kamu?" Ucap mama lagi.
Dan tidak ada yang lebih sakit dibandingkan dengan peryataan itu. Sesuatu itu mungkin sudah menyakiti nya berulang kali tanpa sadar. Hingga untuk kali ini saja, Kimi... ingin melampiaskan semuanya.
"Aku ngga bisa jadi kak Yana. Dan ngga akan pernah bisa. Jadi berhenti buat atur hidup ku seperti kalian ngatur hidupnya, kak Yana. " ujar nya dengan napas memburu.
Ia sudah berdiri dan siap pergi, ketika suara papa mengiterupsi.
"Lanjutkan makan, mu. Kimi," ujar papa tanpa menatapnya. Memerintah nya untuk tidak meninggal kan meja makan.
"Aku udah kenyang," jawabnya berbohong, ia bahkan belum menyentuh makanan nya.
"Papa bilang kembali ke tempatmu. Dan makan, makanan, mu!"
Kali ini papa menatapnya. Namun, sorot mata yang menampakkan ketegasan serta rahang yang mengeras itu. Seolah memberitahu nya bahwa papa sedang tidak ingin dibantah, itu justru membuatnya semakin marah. Apa mungkin papa ingin memaksanya menerima perjodohan konyol itu?.
Seharusnya Kimi segera kembali duduk di kursi nya, dan menyatap makanan yang sudah dingin itu dengan segera. Tapi, untuk kali ini ia melakukan tindakan yang lebih berani. Mangabaikan perintah papa, yang paling berpengaruh di keluarga mereka.
Ia justru berbalik, mengacuhkan papa yang semakin geram.
"KIMI AZAHRA!" Teriak papa menggelegar.
Kimi terperanjat, namun dengan segera menguasai diri. Rania yang berada dipangkuan kaka iparnya itu menangis ketakutan. Membuat Raka segera beranjak untuk menenangkan putrinya.
"Kak..." panggil Alam memelas. Seperti memberitahu nya untuk tidak berbuat lebih jauh, agar papa tidak marah.
Kimi mangabaikan peringatan itu, dan tidak membuatnya berhenti. Dengan langkah besar ia meninggalkan meja makan, ia berharap setelah perlawanan nya ini mama dan papa berhenti memintanya menerima perjodohan dengan putra dari sahabat papa, sekaligus wali kelas nya Alam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Kesini
ok sabar Kimi ini baru tahap awal, oke lanjut
2025-06-19
0
Asrar Atma
aku kepikiran kimi belum makan. Beli bakso aja Kim atau enggak makan diluar daripada keroncong mikirin beban hidup
2025-06-19
0
Kesini
mendadak
2025-06-19
0