Menyukai Theresia yang sering tidak dianggap dalam keluarga gadis itu, sementara Bhaskar sendiri belum melupakan masa lalunya. Pikiran Bhaskar selalu terbayang-bayang gadis di masa lalunya. Kemudian kini ia mendekati Theresia. Alasannya cukup sederhana, karena gadis itu mirip dengan cinta pertamanya di masa lalu.
"Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Aku yang bodoh telah menyamakan dia dengan masa laluku yang jelas-jelas bukan masa depanku."
_Bhaskara Jasver_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bhaskar
Entah apa yang dipikirkan oleh ponakannya, Bhaskar tidak turun ataupun keluar dari kamarnya sehingga membuat Omnya khawatir. Pria itu berjalan kesana-kemari dan beberapa kali menatap pintu kamar Bhaskar berharap laki-laki itu keluar. Bahkan, sampai jam sembilan pun Bhaskar tidak keluar. Ia belum makan sama sekali dan malah mengunci dirinya sendiri di kamar.
"Bhas-"
Om tersentak ketika Bhaskar membuka pintu tiba-tiba saat akan mengetuknya. Pria itu menarik sebelah alisnya melihat keadaan kedua mata Bhaskar sembab dan pakaian yang kusut. "Kamu abis ngapain?"
"Tidur," jawab Bhaskar. Padahal sudah terpampang jelas jika terdapat jejak air mata di wajahnya.
"Kamu nggak mau jalan-jalan? Ke pantai besok sama Om mau nggak? Atau jalan-jalan di sekitar sawah di sini, atau ke puncak gi-"
Laki-laki itu melewati Omnya begitu saja, ia haus setelah seharian tidur untuk menenangkan dirinya serta menahan rasa sesak begitu dalam. Sementara Omnya mengikutinya dari belakang. "Mau sampai kapan kamu seperti? Om tahu kamu butuh waktu, tapi kamu juga harus sekolah, harus tetap menjalani kehidupan kamu sebagai remaja. Jangan sia-siakan wa-"
"Lebih bagus lagi kalau aku juga mati."
Tangan Liam menggenggam kuat mendengar ucapan Bhaskar yang sungguh dibencinya. "Ucapin sekali lagi!"
Wajah Bhaskar terangkat menatap Omnya yang menahan geram. "Aku mau mati."
Liam menarik napasnya dalam-dalam sebelum berbicara kembali. Ini benar-benar membuat dadanya sesak melihat keadaan ponakannya seperti ini apalagi kata-kata yang Bhaskar keluarkan menggores hatinya. "Lalu? Om nggak punya siapa-siapa?"
"Aku juga nggak mau jadi beban Om, Om bisa bebas. Nggak perlu khawatirin aku, nggak perlu bertanggung jawab lagi ataupun temuin aku. Aku udah selesai." Bhaskar meletakkan gelasnya dan hendak menaiki tangga menuju kamarnya.
"Kamu lupa janji kamu sendiri?"
Langkah kaki Bhaskar terhenti dan menatap mata sayu Liam yang membuatnya terkejut.
"Kamu janji ke Mama kamu kalau kamu bakalan jadi orang yang paling bahagia, cita-cita Mama pengen lihat kamu kerja, punya keluarga sendiri dan rumah yang sesungguhnya." Om menarik napasnya sebab sesak saat berbicara mengingat sesuatu yang seharusnya itu ia ceritakan ke ponakannya sejak dulu. "Kamu bilang ke Mama kamu kalau bakalan jadi orang yang paling bahagia, sebelum mama kamu menutup mata, mama bilang ke Om kalau pengen lihat pertumbuhan kamu, melihat orang yang dia cintai tumbuh menjadi remaja, bermain bareng temannya, menjadi seorang pria dengan pekerjaan dan seorang wanita yang setia. 'Meski nggak bisa sampaiin ini langsung, mama berharap Bhaskar punya keluarga dengan rumahnya sendiri meski tanpa Mama' itu kalimat terakhir Mama."
Bendungan air mata tak tertahankan itu meluncur bebas membasahi kedua pipi Liam. Sudah lama pria itu menahan diri untuk tetap tegar di depan ponakannya, menjadikan Bhaskar tumbuh dengan melihat sisi dirinya yang kuat tanpa tahu apa yang sebenarnya Omnya rasakan. Tidak memiliki orang tua sejak kecil, tumbuh bersama dengan saudaranya yang memiliki seorang putra, tapi takdir mengambil saudaranya dengan meninggalkan Bhaskar yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
"Maaf." Suara Bhaskar bergetar, laki-laki itu kini juga ikut menahan isakan tangisnya setelah tahu apa yang dibicarakan Mamanya dengan Om di dalam rumah sakit yang cukup lama. Ia tidak tahu harus berbuat apa, dirinya benar-benar hancur dan berantakan setelah kedua orang tuanya tiada, menyisakan Omnya yang menjadi satu-satunya keluarganya.
Bhaskar berjalan menghampiri Omnya, menundukkan kepalanya dalam-dalam sembari menahan air matanya yang hendak turun. "Makasih, Makasih, Om. Aku nggak tahu harus apa, aku bener-bener benci sama keberadaanku, tapi aku juga bersyukur masih punya Om. Cuma... aku sering berpikir kalau aku cuman beban Om yang seharusnya juga menjalani apa yang Om inginkan di luar sana, bukan urusin aku yang kayak gini."
Pria itu menggeleng, menatap Bhaskar yang beberapa kali mengusap air matanya di hadapannya. Liam pun mendekati ponakannya, memeluknya erat seraya menepuk-nepuk punggung Bhaskar. "Jangan pernah berpikir seperti itu, justru karena kamu, Om jadi semangat buat jalani pekerjaan karena masih punya keluarga. Kamu tahu? Dulu mama kamu sering marahin Om karena selalu ngelakuin hal-hal yang nggak bermutu dan sia-siakan banyak waktu. Tapi, Om mulai berpikir kalau setiap waktu itu berharga, lihat kamu tumbuh, menjalankan tugas, dan lihat perkembangan kamu seiring waktu itu bener-bener mengharukan. Kamu udah baik dan tetap menjalani kehidupan kamu meski banyak hal yang terjadi. Jangan berpikir yang enggak-enggak, Bhaskar, karena kamu satu-satunya keluarga yang Om punya."
Tangisan laki-laki itu semakin keras dengan pelukan yang semakin kuat. "Maaf, aku bener-bener minta maaf."
"Janji jangan bicarain hal itu lagi," ucap Liam yang langsung dijawab Bhaskar dengan anggukan kepala dalam dekapan.
......••••......
Pagi yang sangat dingin di pedesaan, embun bertebaran di udara dengan orang-orang yang berlalu-lalang menuju sawah di jalanan. Membawa peralatan dengan suara-suara tawa bocah hendak pergi bersekolah sambil berjalan kaki. Bhaskar sudah lama tidak menyaksikan hal seperti ini sejak ia pindah ke rumahnya di kota. Banyak hal yang kini ia saksikan, rasanya seperti mimpi kemarin, sehingga kini benar-benar membuat dirinya tenang setelah kemarin menangis penuh isakan di hadapan Omnya. Sungguh memalukan, bahkan Liam juga sebenarnya malu menangis di hadapan Bhaskar. Tapi kedua air mata laki-laki itu tidak terbendung.
Aroma sangat menggugah selera tiba-tiba menarik penciuman yang membuat Bhaskar turun ke dapur, melihat seorang pria memakai celemek sedang menumis sesuatu. "Om masak apa pagi-pagi gini? Nggak kerja?"
"Tumis udang, hari ini Om mau ajak kamu jalan-jalan di sini. Kemarin itu bikin orang-orang sini banyak salah paham dan kamu langsung pergi gitu aja. Biar makin kelihatan kayak orang yang mudah akrab dan nggak menutup diri, mangkanya Om ajak. Cuman keliling sekitar sini aja."
"Ehm...." Bhaskar mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengeluarkan ponselnya.
...----------------...
......ERGACOR......
Lo kenapa nggak masuk sekolah?
Mau sampe kapan lo kayak gini?
06.48
^^^Gua di desa^^^
^^^Di rumah nyokap untuk sementara waktu^^^
^^^Cuman beberapa hari lagi kok^^^
^^^06.50^^^
...----------------...
Bhaskar menghela napasnya membaca pesan Erga yang juga mengkhawatirkannya. Andai Erga tahu jika di lingkungannya sekarang ada seseorang yang sangat mirip dengan Theresia. Bhaskar tidak membandingkannya tetapi ini memang sungguh mirip. Ia sudah mulai move on dari Leta sejak menyukai Theresia, kini malah ada orang baru bernama Serena yang amat mirip Theresia.
"Kamu mikirin Serena?" tanya Om secara tiba-tiba.
"Enggak, ngapain aku pikirin?" Bhaskar meletakkan ponselnya melihat sebuah piring yang disodorkan Omnya di atas meja.
"Kalau kamu pengen tahu, Serena sebenarnya bukan orang sini."
"Aku tahu, dia pindah sini udah setahun."
Sebelah alis Liam terangkat menatap Bhaskar yang lahap memakan masakannya. "Kamu tahu dari mana?"
"Bocil sekitar sini."
"Ohh, kemarin Om sempat ngobrol sama orang tua Serena, ternyata Serena bukan anak kandung mereka. Serena diambil kakeknya di panti asuhan dan dibesarkan sejak kecil di kota, pindah di sini baru setahun. Kamu nggak kepo soal dia?"
Bhaskar menghentikan aktivitasnya yang mengupas kulit udang. "Buat apa? Aku nggak peduli."
"Dia bener-bener mirip sama Theresia. Dulu kamu cerita kalau Theresia mirip sama Leta, dipikir-pikir memang mirip sedikit. Tapi yang ini bener-bener seperti fotocopy Theresia." Liam menyanggah dagunya dengan memikirkan tetangga sebelahnya.
"Harus berapa kali aku ngomong sih, Om? Kalau dia beneran Theresia, baru aku peduli, tapi dia bukan Theresia."
Tanpa sadar, ucapan Bhaskar itu membuat Om sedikit lega mengetahui ponakannya kini tidak mudah mendekati seseorang dengan alasan mirip. Bagus deh kalau kamu bisa berusaha berubah sedikit demi sedikit, biarkan waktu dan takdir yang mengobati rindu kamu.
...••••...
...Bersambung....