Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Derai Air Mata
Di tepi jurang yang curam dan gelap, Shanum berdiri gemetar, air mata membasahi wajahnya. Orang suruhan Niar sudah bersiap untuk mendorongnya. Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah kekuatan terakhir muncul dari dalam dirinya. Shanum tidak bisa menyerah. Ia harus hidup demi Mariska. Shanum berteriak melawan, mengerahkan semua tenaganya untuk memberontak. Ia menendang salah satu pria di lutut, lalu menyikut yang lain.
"Tidak! Aku tidak akan mati!" teriak Shanum, suaranya parau.
Dalam keributan itu, ia bisa melarikan diri. Shanum berlari sekuat tenaga, mengabaikan rasa sakit di kakinya yang terkilir. Ia tidak tahu harus lari ke mana, namun ia terus berlari menjauhi jurang maut itu.
Tepat saat para penculik hendak mengejarnya, sebuah cahaya senter menyapu hutan. Suara langkah kaki terdengar cepat. Tiba-tiba, sebuah suara familiar memanggil namanya.
"Shanum!"
Shanum menoleh, dan melihat Rivat datang menyelamatkannya. Rivat berlari ke arahnya, wajahnya dipenuhi amarah. Ia membawa sebatang kayu di tangannya, siap melawan.
"Bajingan! Apa yang kalian lakukan pada Shanum?!" teriak Rivat, mengayunkan kayu itu ke arah para penculik.
Seketika, terjadi perkelahian sengit antara Rivat dan tiga pria suruhan Niar. Rivat melawan dengan berani, melindungi Shanum yang berdiri di belakangnya. Ia berhasil menjatuhkan satu pria, namun dua pria lainnya terlalu kuat.
"Berhenti! Pergi dari sini!" teriak Rivat, terus melawan.
Salah satu pria suruhan Niar menghentikan serangannya. Ia menyeringai, lalu mengeluarkan senjata dari balik jaketnya. Niar tidak hanya menyuruh mereka untuk menculik, tapi juga membunuh.
"Jangan ikut campur, kalau tidak kau akan mati!" ancam pria itu.
Rivat tidak gentar. Ia meletakkan tubuhnya di depan Shanum, melindungi wanita itu. "Lebih baik kalian pergi sekarang!"
"Dasar bodoh!" desis pria itu, lalu tanpa ampun, orang suruhan Niar menembak Rivat. Suara tembakan itu memekakkan telinga, bergema di seluruh hutan. Tembakan itu mengenai dada Rivat, membuatnya terhuyung. Darah segar mulai mengalir dari luka tembak.
Shanum yang menyaksikan semua itu langsung histeris. Ia berteriak sekuat tenaga, memanggil nama Rivat. Tubuhnya limbung, ia hampir jatuh pingsan. Suasana mencekam seketika. Para penculik, yang panik setelah menembak Rivat, langsung melarikan diri, meninggalkan Shanum yang menangis dan Rivat yang tergeletak berlumuran darah di tanah.
****
Shanum, dengan tubuh gemetar dan air mata yang tak henti mengalir, berusaha menekan luka tembak di dada Rivat. Wajahnya yang semula pucat kini dipenuhi darah. Dengan bantuan beberapa warga desa yang mendengar suara tembakan dan teriakan, Rivat segera diangkut ke rumah sakit terdekat. Shanum membawa Rivat ke rumah sakit dengan bantuan warga desa, terus memegang tangan pria itu erat-erat sepanjang perjalanan. Ia mencoba menenangkan Rivat, meskipun dirinya sendiri dilanda ketakutan yang luar biasa.
"Mas Rivat... Bertahanlah... Kumohon, bertahanlah..." bisik Shanum, suaranya parau karena menangis. Ia berderai air mata saat mengantar Rivat. Di dalam ambulans yang melaju kencang, Shanum tak henti-hentinya berdoa, berharap Rivat bisa selamat. Pria yang telah menyelamatkannya kini berjuang antara hidup dan mati karenanya.
Setibanya di rumah sakit, Rivat langsung dilarikan ke ruang operasi. Shanum duduk di kursi ruang tunggu, sendirian, dengan pakaian yang berlumuran darah. Ia tak mampu berucap sepatah kata pun, hanya bisa memeluk lututnya, menunggu dengan cemas.
Tak lama kemudian, Bu Roro, Pak Pamuji dan Mariska datang. Wajah mereka menunjukkan kepanikan yang mendalam. Mereka segera menghampiri Shanum. Bu Roro langsung memeluknya.
"Nak Shanum! Ya Tuhan! Kamu tidak apa-apa?" seru Bu Roro, membolak-balikkan tubuh Shanum untuk memastikan tidak ada luka.
Shanum menggeleng, air matanya kembali mengalir deras. Ia menunjuk ke arah ruang operasi. "Mas Rivat... Mas Rivat tertembak, Bu..."
Seketika, Bu Roro dan Pak Pamuji terkejut, namun mereka segera menguatkan diri. Mariska, yang tadinya dipeluk oleh Pak Pamuji, langsung berlari ke arah Shanum. Mariska memeluk Shanum, juga berderai air mata.
"Mama... Mama tidak apa-apa?" tanya Mariska, isakannya pilu.
Shanum memeluk putrinya erat-erat, menumpahkan segala kepedihannya di sana. Bu Roro dan Pak Pamuji pun juga, mereka memeluk Shanum dan Mariska, tangisan mereka pecah bersamaan. Ruang tunggu rumah sakit itu dipenuhi tangisan yang penuh dengan derai air mata, sebuah gambaran kepedihan yang mendalam. Keluarga yang sederhana itu kini diuji dengan cobaan yang berat. Rivat, sang anak tunggal mereka, terbaring di ruang operasi, berjuang melawan maut karena berusaha menyelamatkan Shanum.
****
Ponsel Niar bergetar di atas meja rias, layarnya menunjukkan nama kontak yang ia tunggu-tunggu. Dengan hati yang dipenuhi keyakinan akan kemenangan, Niar segera mengangkat telepon. Namun, ekspresi wajahnya yang semula puas seketika berubah menjadi murka saat ia mendengar kabar dari orang suruhannya.
"Gagal, Nyonya," suara di seberang terdengar panik. "Ada warga desa yang datang... dan Rivat ikut campur. Dia tertembak, tapi wanita itu berhasil kabur."
Darah Niar terasa mendidih. Wajahnya memerah padam, urat di lehernya menonjol. Rencananya yang nyaris sempurna, yang ia yakini akan mengakhiri semua masalahnya, kini hancur berantakan. Niar murka bukan main. Tangan yang menggenggam ponsel gemetar hebat. Ia tidak peduli dengan penjelasan lebih lanjut dari si penelepon. Dengan satu sentakan kasar, ia melempar ponselnya hingga membentur dinding dan hancur.
Matanya menyapu seisi ruangan, mencari objek untuk melampiaskan amarahnya yang meluap-luap. Tatapannya jatuh pada sebuah vas bunga porselen yang indah di atas meja rias. Tanpa pikir panjang, ia mengambil vas itu dan dengan kekuatan penuh, melempar vas bunga ke cermin meja rias.
"Prang!"
Suara pecahan kaca yang nyaring memekakkan telinga, disusul oleh kepingan kaca dan vas yang jatuh berhamburan di lantai. Niar berdiri di tengah pecahan-pecahan itu, napasnya memburu. Ia berteriak histeris, suaranya melengking tinggi, memaki-maki Shanum, Rivat, dan takdir yang seolah-olah berpihak pada Shanum.
"Dasar wanita iblis! Kenapa kau tidak mati saja?! Kenapa?!" teriak Niar, air matanya bercampur dengan kemarahan. Teriakannya yang keras dan histeris itu membuat gaduh seisi rumah. Para ART yang mendengar keributan itu hanya bisa bersembunyi di balik pintu, ketakutan, tidak ada yang berani mendekat.
Niar tidak bisa lagi menyerahkan semuanya pada orang lain. Ia akan turun tangan sendiri. Ia akan memastikan Shanum hancur dengan tangannya sendiri. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Niar segera mengambil kunci mobilnya. Ia tidak peduli dengan keadaan mobil yang rusak dan rumah yang kacau. Ia membuka pintu mobilnya, menyalakan mesin, dan memacu mobilnya menuju Shanum berada di rumah sakit. Tekadnya bulat, dan di benaknya hanya ada satu tujuan: mengakhiri hidup Shanum, kali ini untuk selamanya.
****
Niar tiba di rumah sakit dengan mobil yang dipacu kencang. Wajahnya dipenuhi amarah yang membara. Ia keluar dari mobil, tanpa peduli dengan pandangan orang, dan langsung masuk ke lobi. Dengan gerakan cepat, ia mengambil sepucuk senjata dari tasnya. Niar menembak satpam yang berjaga di sana, suara tembakan itu menggelegar, memecah kesunyian malam. Seketika, suara itu membuat gaduh dan panik. Orang-orang berteriak, berlarian mencari tempat berlindung, menciptakan kekacauan yang mengerikan.
Niar tidak membuang waktu. Ia terus berjalan dengan langkah berderap, mencari ruangan tempat Shanum berada. Ia menemukan Shanum duduk di kursi tunggu, masih dengan pakaian yang berlumuran darah Rivat. Niar menghampirinya, matanya menyalang penuh kebencian.
"Kau pikir kau bisa lolos dariku, hah?!" teriak Niar, suaranya parau. Ia langsung meletakkan senjatanya di kepala Shanum sambil menarik paksa rambut Shanum.
Shanum meringis kesakitan, terkejut dengan serangan mendadak itu. Kemurkaan dan hinaan keluar dari mulut Niar, "Dasar wanita sialan! Kau harusnya sudah mati!"