Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Skala mengusap air mata Aurora yang mengalir deras. Meski sambil menangis, Aurora tetap mengobati luka-luka Skala.
"Don't cry, please," bisik pria itu. Dia menarik pinggang Aurora hingga duduk di pangkuannya, setelah itu Skala memeluk Aurora dan mengelus punggungnya.
"Maaf," ucap Skala yang kesekian kalinya. Dia sangat merasa bersalah pada istrinya. Padahal Aurora sudah mengatakan jika Skala tidak perlu terus meminta maaf.
"A-aku ... sudah m-maafkan k-kamu ... t-tapi..."
"Ssstttt." Skala menangkup kedua pipi Aurora. Dia tidak tega mendengar Aurora berbicara tersendat-sendat karena menangis. Aurora juga terlihat kesulitan bernafas akibat terisak-isak.
"Sudah, aku baik-baik saja. Sekarang tenang, ya?" Skala mengelus punggung Aurora untuk menenangkannya. Dia mengambil segelas air yang ada di meja lalu membantu Aurora minum.
Kamar ini menjadi saksi bisu betapa kacaunya mereka berdua.
"Sakit?" tanya Aurora sambil menyentuh pipi Skala yang lebam. Dia sudah sedikit tenang meski masih ada isakan kecil.
Skala menggeleng. "Tidak," jawabnya singkat.
"Bohong." Bibir Aurora melengkung ke bawah hendak menangis lagi, tapi Skala langsung menangkup pipinya.
"Rasa sakit yang kamu terima lebih sakit dari ini. Jangan menangis lagi, ya?" ucap Skala dengan lembut.
"Kenapa tidak menjelaskan pada mereka?" tanya Aurora. Dia mengelus lebam di pipi Skala.
"Sudah, aku sudah menjelaskan semuanya. Memang sudah seharusnya aku mendapatkan hukuman seperti ini."
"Kak Charlie jahat sekali, dia tega pada adik iparnya sendiri." Aurora memeluk Skala dengan erat.
"Itu wajar, artinya dia sayang dengan adiknya. Jika aku berada di posisi Charlie, aku pasti akan melakukan hal yang sama," balas Skala.
Aurora hanya diam saja. Sedangkan Skala mengelus punggung gadis itu.
"Ayo ke luar, semuanya pasti menunggu kita."
"Tidak mau! Nanti kakak memukulmu lagi." Aurora mengeratkan pelukannya. Dia seperti cicak yang menempel di tubuh Skala.
"Kamu tidak kasihan dengan mereka? Mereka jauh-jauh datang kemari demi menemui princess mereka. Tapi, kamu malah tidak mau keluar." Skala mencoba membujuk Aurora.
"Kita keluar, ya? Kamu lapar, kan?"
Aurora mengangguk kecil. Pada akhirnya dia mau keluar. Sebelum itu ia mencuci wajahnya lebih dulu agar terlihat fresh.
Mereka berdua menuju ruang makan sambil bergandengan tangan. Charlie yang tidak sengaja melihatnya pun langsung berdecih. Sedangkan Lythia tersenyum melihat putrinya sudah tenang.
"Putri Mommy sudah lapar?" goda wanita itu.
Aurora tersenyum malu, dia mengangguk pelan.
"Baiklah, ayo kita makan!"
Makan bersama keluarga yang lengkap dan menyayanginya termasuk wish list Aurora. Dulu dia memang pernah makan bersama keluarga angkatnya, tapi tentu saja berbeda vibes. Sekarang Aurora merasa tenang dan senang, jika dulu, dia merasa tertekan dan sedih.
Aurora sempat berfikir jika dia tidak akan diberi kebahagiaan, tapi ternyata, Tuhan telah merencanakan semuanya dengan baik. Dia akhirnya bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Keluarga lengkap dan menyayanginya tanpa terpaksa. Dan juga ada Skala yang selalu berada di sampingnya. Untuk kali ini, Aurora ingin egois. Dia tidak ingin kehilangan mereka semua. Tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Siapapun itu, Aurora tidak akan membiarkan orang-orang jahat menghancurkan kebahagiaannya. Cukup sudah dia sabar selama ini.
****
Javas tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Benjamin Alessandro. Seperti Skala, dia pun juga tidak pernah melihat secara langsung wujud asli Benjamin Alessandro. Dia hanya mengenal melalui internet alias media sosial. Gugup? Tentu saja. Tapi, Javas mencoba terlihat biasa dan tetap santai tapi sopan.
Bukan Benjamin yang datang, melainkan Javas yang datang ke rumah Skala dan Aurora. Tentunya Evanda pun ikut.
Di ruang keluarga adalah tempat mereka berkumpul.
Benjamin dan juga Javas berbincang hangat, begitu pula dengan Evanda dan Lythia. Meski awalnya Lythia sempat tidak suka dengan Evanda karena wanita itu pernah membenci putrinya, tapi Benjamin mampu membuatnya tenang dan tetap santai. Sementara Aurora sedang sibuk memainkan tablet sembari menyandarkan kepalanya di pundak Skala yang sedang berbincang dengan Archie.
Tentang masalah kemarin, Javas dan Evanda ataupun pihak keluarga Bramasta tidak ada yang mengetahuinya. Mereka sepakat menyembunyikan masalah ini. Lagi pula Skala sudah menjelaskan maksud dan tujuannya melakukan hal itu.
Game over
Aurora mencebikkan bibirnya ketika kalah di permainan yang ia mainkan. Karena bosan, dia meletakkan tablet itu ke pangkuan Skala. Hal itu tentu membuat Skala menoleh ke arahnya.
"Bosan?" tanyanya membuat Aurora mengangguk. pelan. Dia mengambil satu toples kue kering dan meminta Skala membukakan tutupnya.
Dengan senang hati Skala melakukannya. Mungkin Aurora bosan karena pembicaraan orang tua yang tidak dia mengerti. Terlebih dia masih canggung dengan Evanda.
"Aurora," panggil Archie yang sedari tadi menyimak keduanya.
"Hm?" jawab Aurora dengan mulut mengunyah.
"Setelah ini ikut Kakak, bisa?"
Aurora melirik Skala meminta persetujuan, melihat Skala mengangguk, dia pun mengiyakan permintaan Archie.
"Bisa," jawabnya.
Archie tersenyum, lalu kembali duduk dengan nyaman.
Benar-benar membosankan. Aurora sampai beberapa kali pindah posisi karena bosan. Semua orang sibuk sendiri. Dia seperti tidak memiliki teman. Dan ya, Aurora ketiduran karena Skala mengelus kepalanya. Mungkin terlalu nyaman. Bahkan posisinya tiduran dengan paha Skala sebagai bantalan. Tidak sopan memang, padahal di sana banyak orang tua.
"Skala, pindahkan istrimu ke kamar lebih dulu. Kasihan dia," titah Javas.
Sontak saja semuanya menatap Aurora yang memejamkan mata dengan damai.
Skala tidak menolak, dia pamit untuk memindahkan Aurora ke kamar. Padahal ini masih jam sebelas siang, tapi Aurora sudah tidur. Dan, sejak kapan istrinya ini mau tidur siang?
Saking gemasnya melihat pipi tembam Aurora, Skala sampai menciumnya beberapa kali. Untung saja gadis itu tidak terbangun.
"Maaf," bisiknya seraya mengelus kepala Aurora yang sudah dia rebahan di kasur.
Setelah Aurora berada di posisi nyaman, Skala pun keluar dari kamar dan kembali bergabung dengan yang lain.
"Skala."
Ketika dia hendak duduk, Thomas memanggilnya, alhasil Skala kembali berdiri.
"Bisa ikut sebentar?"
Skala mengangguk, lalu mengikuti langkah Thomas menuju halaman belakang.
Benjamin menatap punggung putranya dengan tatapan yang sulit diartikan.
****
"Lakukan secepatnya dan pastikan Aurora tetap aman. Aku tidak ingin kamu kembali nekat seperti beberapa waktu lalu."
Skala menatap punggung Thomas yang berdiri di depannya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menambah kesan wibawa terhadapnya.
"Ya, aku akan menyelesaikannya. Secepatnya," balas Skala tanpa ragu.
Thomas berbalik, tangannya ia lipat di dada. Terlihat angkuh dan sombong. "Jangan ceroboh. Ingat baik-baik, jika sampai membuat Aurora menangis lagi karena misi ini, aku tidak akan pernah mengampuni mu."
Skala meneguk ludahnya dengan kasar. Apakah ini sebuah ancaman?
"Baik," jawab Skala dengan yakin.
"Satu lagi." Thomas mengangkat jari telunjuknya. "Jangan pernah meremehkan mereka. Meski kamu termasuk bagian dari kami, bukan berarti kamu lebih kuat dari mereka."
bersambung...
like like likeeeee
lanjuuuut