Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar buruk tengah malam
Sesampainya di Bali, Aira lekas mengerjakan pekerjaannya.
Aira berjalan ke luar hotel, menyusuri jalan kecil yang sudah sepi di malam hari.
Ia merasa sangat lelah setelah seharian bekerja tanpa henti.
Pekerjaan butik Clara memang menuntutnya untuk selalu memberikan yang terbaik, dan malam itu, Aira bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah hampir selesai.
Namun, tubuhnya mulai memberi tanda-tanda kelelahan yang tak bisa diabaikan.
Perutnya terasa tidak enak, seolah-olah ada yang tidak beres.
Ia berusaha mengabaikan rasa sakit itu dan terus menyelesaikan detail terakhir dari desain butik Clara yang harus segera diserahkan ke tim renovasi keesokan harinya.
Ketika tengah malam tiba, Aira menyadari bahwa dia belum makan sejak pagi.
Rasa lapar yang datang tiba-tiba membuat perutnya semakin menderita.
"Perutku sakit sekali," gumam Aira pelan. Ia berjalan kembali ke hotel dengan langkah lemah, berusaha mencari makanan, tapi langkahnya semakin berat.
Tiba-tiba, ia merasakan ada yang aneh. Sesuatu yang lebih serius terjadi.
Aira menyadari bahwa ada darah yang keluar dari tubuhnya.
Dengan panik, ia melihat ke bawah, melihat darah yang terus mengalir.
Kepanikan mulai menyerang jantungnya. Ia merasa sangat lemah, tubuhnya mulai terjatuh, dan akhirnya pingsan di lantai hotel.
Waktu seakan berhenti bagi Aira, dalam kegelapan dan keputusasaannya, ia tak sadar bahwa dunia di sekitarnya mulai bergulir tanpa dirinya.
Di sisi lain, Abraham yang sedang duduk di kantornya menerima telepon tengah malam dari rumah sakit Bali.
"Tuan Abraham, kami mendapat kabar mengenai istri Anda, Aira. Kami membutuhkan Anda untuk segera datang ke rumah sakit. Ada kondisi darurat yang perlu segera ditangani."
Dada Abraham terasa sesak, dan darahnya seperti membeku seketika. "Aira? Apa yang terjadi?" suaranya serak, cemas.
Semua pikirannya langsung terfokus pada Aira, tak peduli seberapa jauh jaraknya.
Ketika mendengar kabar tersebut, Abraham langsung berdiri dan memanggil asistennya untuk mempersiapkan penerbangan ke Bali.
****
Aira terbaring lemas di rumah sakit, tubuhnya sangat lemah.
Perawat berlari-lari mengelilinginya, memberikan pertolongan medis secepatnya.
Sebelum kejadian itu, Aira tak sadar akan apa yang terjadi, hanya merasa sangat takut dan terjebak dalam kegelapan.
Kabar ini sangat mengejutkan bagi Abraham. Ia menunggu di bandara dengan cemas, tanpa bisa menenangkan dirinya sendiri.
"Tolong beri kabar secepatnya," kata Abraham pada perawat melalui telepon.
Pikirannya sangat kacau, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Aira terlambat mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.
Dengan perasaan penuh ketakutan, Abraham hanya bisa berharap, berharap agar Aira baik-baik saja.
Setibanya di Bali, Abraham langsung menuju rumah sakit dengan langkah terburu-buru.
Wajahnya penuh kecemasan, dan jantungnya berdetak cepat.
Ketika akhirnya ia sampai di ruang rumah sakit tempat Aira dirawat, Abraham bisa merasakan perasaan yang luar biasa sakit di dadanya melihat Aira terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Sayang, bangunlah. Tolong bangun," ucap Abraham dengan suara hampir tidak terdengar, berusaha menenangkan dirinya meskipun hatinya teriris-iris.
Aira, dengan mata terpejam, perlahan membuka matanya dan melihat Abraham.
"Mas… apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara lemah, hampir tak bisa didengar.
Abraham mengusap wajahnya dan menangis, menyentuh tangan Aira dengan lembut.
"Kamu kenapa, Aira? Kenapa kamu tak memberi tahu aku?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
"Jangan lakukan lagi seperti ini, sayang. Aku tak akan bisa hidup tanpamu."
Aira menatap suaminya dengan mata penuh air mata.
Ia merasa sangat bersalah dan menyesal karena telah menyembunyikan perjalanan itu dari Abraham.
"Mas, aku… aku ingin melakukan yang terbaik. Aku… maafkan aku," ucap Aira, suaranya tertahan.
Abraham memeluk tubuh Aira dengan lembut, sambil membisikkan kata-kata lembut.
"Tidak apa-apa, Aira. Kamu tidak sendirian. Aku ada di sini. Jangan takut."
Malam itu, Abraham tetap setia menemani Aira di rumah sakit.
Meski perasaan takut dan cemas menghantui hatinya, ia merasa lebih lega karena bisa berada di sisi Aira, siap memberikan dukungan sepenuhnya.
Abraham menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya setelah mendengar kabar baik bahwa anak mereka baik-baik saja.
Namun, perasaan cemas dan marah masih menggelayuti hatinya, melihat Aira terbaring lemah di rumah sakit.
"Kenapa kamu berbohong kepadaku, Aira?" kata Abraham, suaranya serak dan penuh kekhawatiran.
Ia duduk di samping tempat tidur Aira, menggenggam tangan istrinya dengan erat.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi? Aku bisa saja kehilangan kamu, Aira," tambahnya, matanya menatap Aira dengan intens.
Aira menundukkan kepalanya, rasa bersalah semakin menyelimutinya.
"Mas, aku… aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Aku ingin membuatmu bangga. Aku tidak ingin membuatmu khawatir." Suaranya terdengar penuh penyesalan.
Abraham menatap Aira dengan tatapan penuh kasih sayang, tetapi juga ada kekhawatiran yang mendalam.
"Aira, aku tahu kamu ingin sukses, aku tahu kamu ingin memberikan yang terbaik, tapi bukan dengan cara seperti ini. Kamu hamil, Aira. Bayi kita adalah yang paling penting sekarang. Aku tak akan biarkan kamu terus bekerja dalam kondisi seperti ini."
Aira membuka mulutnya, berusaha untuk berkata sesuatu, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Ia tahu apa yang akan datang selanjutnya.
"Aku melarang kamu bekerja. Kamu harus istirahat total," kata Abraham dengan tegas, menatap istrinya dengan penuh keyakinan.
"Aku akan mengurus semuanya. Kamu harus menjaga dirimu dan bayi kita. Ini bukan waktu untuk bekerja, ini waktu untuk merawat dirimu sendiri."
Aira menatap Abraham dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa suaminya hanya peduli padanya, tetapi ia juga merasa kesal pada dirinya sendiri karena telah mengkhianati kepercayaan Abraham.
"Mas, aku… aku tidak ingin membuat kamu kecewa."
Abraham mengelus rambut Aira dengan lembut. "Kamu tidak pernah membuatku kecewa, Aira. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan anak kita. Kamu tidak sendirian. Aku ada di sini, dan aku akan melindungimu."
Aira merasa lega mendengar perkataan suaminya. Ia merasakan kedalaman cinta yang dimiliki Abraham untuk dirinya.
Meski ia merasa terjepit dengan rasa bersalah, cinta dan perhatian yang diberikan Abraham membuatnya merasa dihargai.
"Terima kasih, Mas. Maafkan aku," ucap Aira dengan lirih, tangannya menggenggam tangan Abraham lebih erat.
Abraham tersenyum lembut. "Jangan minta maaf, sayang. Kita akan melalui ini bersama-sama. Kamu cukup fokus untuk istirahat dan menjaga kesehatanmu. Aku yang akan mengurus semuanya."
Aira mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan janji Abraham.
Walau rencana dan ambisinya tertunda, yang terpenting kini adalah menjaga diri dan bayi mereka.
Perasaan cemas dan penyesalan yang selama ini mengganggunya mulai mereda, digantikan dengan perasaan lega dan penuh harapan.
"Makasih, Mas," kata Aira, sambil menatap Abraham dengan tatapan penuh cinta dan terima kasih.
Abraham membalas tatapan Aira, tangannya mengusap pelan pipi istrinya.
"Kita akan selalu bersama, Aira. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu dan bayi kita."