"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Malam itu, di kamar yang dulunya menjadi tempat beristirahat mendiang istri Argadhanu, Lingga terbaring memandang langit-langit dengan mata yang tak kunjung mau terpejam. Aroma kayu tua yang samar bercampur bau bunga kering dari pojok ruangan seolah membawa ingatannya melayang jauh. Ia memejamkan mata, namun justru bayangan wajah ibunya muncul, sosok yang selalu menyemangatinya sejak kecil. Lalu, muncul pula senyum lembut kekasihnya yang ia tinggalkan di dunia lamanya. Dadanya terasa sesak.
"Apa kabar kalian di sana...?" batinnya lirih, nyaris seperti bisikan yang tenggelam dalam dinginnya malam.
Lamunannya buyar seketika saat terdengar ketukan pelan di pintu. Tok… Tok… Suara itu nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat Lingga tersentak dan bangkit dari ranjang.
Ia melangkah pelan ke arah pintu dan bertanya dengan suara serak, "Siapa di luar… malam-malam begini?"
Dari balik pintu terdengar suara perempuan yang dikenalnya. "A-aku… Mitha."
Lingga membuka pintu, dan di sana berdirilah Mitha, dengan wajah yang tampak sedikit gugup. Di tangannya ada selimut tambahan dan sebuah cangkir berisi teh panas yang mengepul tipis.
"Ada apa? Kenapa belum tidur? Sudah larut," tanya Lingga sambil menahan kantuk yang sempat memudar.
Mitha menggigit bibir bawahnya pelan sebelum menjawab, "Aku… hanya ingin mengantarkan ini. Malam ini akan sangat dingin, biasanya kabut turun cukup tebal. Takut kalau kau kedinginan, Tuan Lingga."
Lingga terdiam sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih, Mitha. Kau baik sekali."
Mitha menunduk cepat, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia merasakan dadanya berdebar hebat, apalagi ketika pandangan mereka sempat bersirobok beberapa detik.
"Kalau begitu… aku undur diri, Tuan," katanya tergesa.
Lingga mengangguk sekali lagi. "Ya, selamat malam. Hati-hati di jalan kembali."
Mitha buru-buru membalikkan badan, berjalan cepat di lorong tanpa berani menoleh lagi, meninggalkan Lingga yang sempat mengernyit, heran melihat sikap gadis itu.
Setelah menutup pintu, Lingga menghela napas panjang. Ia menaruh teh itu di meja kecil dekat ranjang, lalu membentangkan selimut tambahan yang dibawa Mitha. Aroma harum bunga melati samar tercium dari kain itu, membuat suasana kamar sedikit lebih hangat.
Lingga meraih cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Hangatnya mengalir di tenggorokan, membuat tubuhnya sedikit lebih rileks. Tak lama, rasa kantuk mulai merayapi matanya yang berat. Ia merebahkan diri, membiarkan pikirannya tenggelam.
Namun, saat kelopak matanya benar-benar menutup, dunianya berubah. Ia berada di sebuah padang luas dengan langit berwarna ungu gelap, dan di hadapannya berdiri sosok wanita berjubah merah keemasan. Wajahnya anggun, namun matanya tajam seperti menembus jiwa.
"Bethari Syaidra…," gumam Lingga.
Sosok itu mengangguk pelan. "Akhirnya kau kembali ke tempat ini, Lingga Ardian."
Lingga mengernyit, perasaannya bercampur antara bingung dan waspada. "Apa maksudmu? Kenapa kau muncul lagi? Aku sudah cukup bingung dengan semua yang terjadi!"
Syaidra mendekat, langkahnya seolah tak menyentuh tanah. "Aku datang untuk memperingatkanmu. Bahaya besar sedang menuju ke arahmu. Dunia tempatmu tinggal sekarang… tidak sesederhana yang kau pikirkan."
Lingga mengepalkan tangan. "Aku bahkan tak pernah memilih untuk datang ke dunia ini! Kalau bukan karena Lira dan Ratu Kadita, aku pasti sudah mati di sana… dan aku akan tetap hidup damai di duniaku!"
Syaidra menatapnya tajam, lalu menggeleng pelan. "Takdir, Lingga. Ini takdir yang tak bisa diubah. Kau telah terikat dengan Pengekang Tujuh Jiwa… Kau bukan lagi sekadar manusia biasa."
Lingga menunduk, rahangnya mengeras. "Kalau memang takdir, baiklah. Aku akan jalani. Tapi jangan harap aku menerimanya begitu saja tanpa perlawanan!"
Senyum samar terbit di wajah Syaidra. "Semangat itu yang kubutuhkan darimu. Ingat ini baik-baik… kekuatanmu berikutnya ada di kerajaan Tirtokencono. Pergilah ke sana. Di sanalah jalanmu akan semakin jelas."
Lingga mengangkat wajahnya, hendak bertanya lebih lanjut, namun tiba-tiba suara desis aneh terdengar dari sekelilingnya. Dunia mimpinya berguncang.
"Bangun, Lingga… bahaya sudah mulai mengintaimu bahkan dalam dunia nyata…" bisik Syaidra sebelum bayangannya lenyap.
Lingga terbangun mendadak, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu.
Tapi matanya langsung membelalak saat mendengar suara berdesis di luar kamar yang seharusnya sepi itu. Seperti suara napas kasar… atau bisikan yang mengendap-endap dari luar ruangan.
Ia menoleh cepat ke arah jendela kamar, tempat gelap yang tak tersentuh cahaya lampu minyak.
"Siapa… di sana?!" teriak Lingga, tubuhnya refleks bangkit dari ranjang.
Namun yang ia lihat hanya kegelapan yang terasa… terlalu pekat.
Tapi suara itu… suara itu jelas nyata.
Lingga menelan ludah. Tiba-tiba ia teringat cincin di jarinya yang dingin seperti es. Cincin Pengekang Tujuh Jiwa itu terasa bergetar lemah… seolah ikut merasakan adanya sesuatu yang tak beres.
Di luar kamar, angin malam berembus lebih kencang, dan kabut mulai menyelinap masuk dari celah jendela yang tak sepenuhnya rapat.
Lingga menggenggam erat cincin itu, napasnya masih memburu. "Apa… ini ujian yang dimaksud Syaidra…?"
Dan di saat itu pula… suara itu terdengar lagi, lebih dekat.
*