Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7: Blood on Snow
...“Tak ada salju yang putih ketika ...
...darah keluarga jatuh ke tanahnya.”...
Salju di Utara tidak seperti salju di Ravennor.
Ia jatuh bukan seperti kapas, tapi seperti pecahan kaca. Dingin, tajam, dan mematikan. Dan di tanah berbatu dekat Gerbang Frostmere, tumpukan salju telah berubah warna—menjadi merah.
Caelum berdiri dengan lutut berdarah. Pedangnya patah di tengah. Nafasnya membeku, bukan karena dingin, tapi karena sihir yang terlalu dekat dengan kematian.
Satu-satunya alasan ia belum mati…
Adalah karena seseorang ingin dia tetap hidup.
“Kenapa… tidak kau bunuh aku saja?” desisnya.
Siluet berjubah gelap melangkah pelan di antara kabut dan bangkai pasukan. Wajahnya tertutup topeng besi.
“Karena kau perlu melihat bagaimana mahkota itu terbakar,” jawabnya. Suaranya berat—terlalu dalam untuk manusia biasa. “Ratu barumu akan menyambut kebangkitanmu... tepat sebelum kau mengkhianatinya.”
Caelum merangkak, menggenggam tanah.
“Aku tidak akan...”
“Ah, tapi kau sudah melakukannya sekali, bukan?” bisik suara itu, kini lebih dekat. “Kau tahu siapa dia... dan kau tetap membiarkannya hidup di dalam kandang singa. Karena kau mencintainya.”
Suara itu tertawa kecil.
“Cinta adalah kelemahan, Pangeran. Sama seperti yang membunuh ayahmu, dan ibumu, dan kerajaanmu.”
Lalu ia lenyap dalam kabut.
Sementara itu, di Ravennor...
Seraphine berdiri di ruang takhta. Kursi besar berlapis obsidian itu masih kosong. Ia belum duduk di sana, belum… karena belum ada yang berani mengangkatnya sebagai ratu tanpa persetujuan Caelum.
Dan kini… Caelum menghilang.
“Sudah dua minggu, Lady Seraphine,” kata salah satu anggota dewan. “Kita butuh pengganti. Kerajaan butuh pemimpin.”
“Apakah maksud Anda... seorang boneka yang bisa Anda kendalikan seperti dahulu?” suaranya tajam.
Para bangsawan terdiam.
“Aku belum akan duduk di sana,” lanjutnya. “Tapi jika satu hari lagi berlalu tanpa berita dari Utara... Maka aku sendiri yang akan mencarinya.”
“Tidak mungkin!” seru salah satu bangsawan. “Itu terlalu—”
“Bahaya?” Seraphine tersenyum dingin. “Percayalah, aku lebih berbahaya dari apa pun yang menanti di luar sana.”
Malam harinya, ia turun ke ruang bawah istana. Di sana, Orin menunggunya. Mata bocah itu kini bersinar merah samar ketika marah—tanda segel kedua telah pecah sepenuhnya.
“Kita akan pergi malam ini,” bisik Seraphine.
Orin mengangguk. “Ke Utara?”
“Tidak. Kita singgah dulu ke tempat lain. Ada seseorang yang bisa membantu. Seseorang dari masa lalu.”
Orin menunduk. “Ash?”
Seraphine tak menjawab. Tapi tangannya mengepal pelan.
Di tengah salju, jauh dari istana, seorang pria bertopeng berdiri di antara reruntuhan kapel tua. Di belakangnya, ada lambang buram: lingkaran bercabang.
Ordo Umbra.
“Dia akan mencariku,” gumamnya. “Dan saat dia datang, aku akan membawanya... pulang.”
Keesokan pagi, Seraphine dan Orin menyamar dan meninggalkan istana dengan kuda cepat, hanya ditemani satu pengawal kepercayaan: Varleth. Mereka menuju ke arah barat terlebih dahulu—menuju tempat di mana Ash, kakak mereka, terakhir terlihat.
Dalam perjalanan, Varleth bercerita, “Ash... tidak lagi seperti dulu.”
“Apa maksudmu?”
“Setelah dia kabur dari istana tua, dia ditangkap oleh para pemberontak. Disiksa. Dipaksa... untuk membunuh demi bertahan.”
Seraphine menatap salju di bawah kakinya.
“Kalau begitu... dia akan mengerti,” bisiknya. “Karena kita semua telah membunuh demi bertahan.”
Di Ravennor, Lady Mirella diam-diam membaca catatan dari ruang pribadi Seraphine. Ia menemukan surat-surat yang belum dikirim—semuanya untuk Caelum.
Ia membaca dengan tangan gemetar.
“Dia... mencintainya?” bisiknya sendiri.
Tapi kemudian... ia temukan satu surat yang berbeda. Surat itu disegel dengan lilin hitam.
Saat ia membuka—yang tertulis di dalamnya adalah rencana pembunuhan.
Target: Caelum.
Tanggal eksekusi: tidak ditentukan.
Tanda tangan: S.
Mirella membeku.
“Tidak... tidak mungkin.”
---
Di perbatasan barat, Seraphine dan Orin tiba di reruntuhan tua yang pernah menjadi benteng ayah mereka sebelum dihancurkan. Di sana... suara langkah berat menggema.
Seseorang muncul dari balik pilar.
Berseragam hitam, bersenjata dua pedang.
Wajahnya keras, bekas luka membelah alisnya.
“Aku tahu kalian akan datang,” ucapnya datar. “Aku hanya tak tahu... apakah aku akan membunuh kalian, atau memeluk kalian.”
Orin maju pelan. “Ash...?”
Dan Ash, kakak tertua mereka, menatap keduanya dengan mata yang bukan lagi lembut seperti dulu—tapi tajam, penuh kehati-hatian, dan... sedikit rindu.
“Kau masih hidup,” bisik Seraphine.
“Aku bukan satu-satunya,” jawab Ash. “Dan jika kau di sini... berarti perang benar-benar sudah dekat.”
Seraphine menarik napas.
“Aku butuh bantuanmu. Aku ingin kita... kembali bersama.”
Ash menatapnya lama, lalu... mengangguk.
“Tapi kau harus tahu satu hal dulu.” Ia melempar gulungan tua ke arah Seraphine. “Ibu tidak dibunuh oleh Elric.”
Seraphine membuka gulungan itu—isinya adalah potret: ibunya, berdiri bersama seorang pria bertopeng.
Pria yang kini dikenal sebagai musuh dari utara.
“Dia menyerahkan dirinya sendiri,” kata Ash. “Demi proyek sihir yang kini menjadi dasar semua kehancuran ini.”
Dan di suatu tempat, dalam reruntuhan beku...
Caelum duduk sendirian di dalam gua es. Tubuhnya luka, tapi pikirannya lebih parah. Ia memegang liontin kecil pemberian Seraphine.
Satu bisikan melintas dalam pikirannya—bukan suara musuh, tapi suara dirinya sendiri.
"Jika kau kembali... kau mungkin akan kehilangan dia."
Tapi ia tetap menggenggam liontin itu.
“Kalau begitu... aku akan kembali.”
“Biarpun dengan darah.”
“Biarpun harus membakar tahta yang kududuki sendiri.”
...“Seorang ibu bisa melahirkan pewaris, atau menghancurkannya dari dalam.”...
Sepuluh tahun lalu, di ruang bawah tanah istana lama...
Suara tangis bayi menggema samar. Seorang wanita berselimut jubah gelap berlutut, menggenggam sesuatu di dada. Di hadapannya, seorang pria bertopeng dengan mata seperti bara.
“Apakah kau yakin?” tanyanya.
Wanita itu menunduk. “Kerajaan ini sudah mati sejak aku dinikahi. Jika aku bisa menyelamatkan anak-anakku... maka biarkan aku menjadi monster dalam sejarah.”
“Lalu... kau menyerahkan tubuh dan sihirmu untuk eksperimen Umbra?” tanya pria itu.
Ia mengangguk. “Dengan satu syarat. Jangan biarkan anak-anakku tahu bahwa ibunya... memilih pergi.”
Pria itu terdiam sejenak.
“Kau akan diingat sebagai pengkhianat.”
“Lebih baik begitu... daripada menjadi ratu yang membiarkan mereka dibunuh satu per satu.”
Kembali ke masa kini – Benteng Tua, Barat Ravennor.
Ash, Seraphine, dan Orin berdiri dalam keheningan.
“Maksudmu... Ibu kita masih hidup?” suara Seraphine bergetar. “Dan bekerja... untuk Ordo Umbra?”
Ash menatapnya. “Mungkin tidak lagi hidup. Tapi tubuhnya—jiwanya—dijadikan wadah. Umbra mengubahnya jadi bagian dari ritual gelap yang disebut Coronis. Dia adalah ‘Ratu Abu’ yang mereka tunggu bangkit kembali.”
Orin menggenggam lengan Seraphine, ketakutan. “Jadi... ibu adalah monster sekarang?”
Ash menunduk. “Tidak semuanya. Tapi dia bukan ibu yang kalian kenal lagi.”
Di Istana Ravennor, Lady Mirella menghadap Dewan Rahasia.
“Kita tidak bisa membiarkan Seraphine naik takhta,” desisnya. “Dia bukan pewaris sah. Dan lebih dari itu... dia berbahaya.”
Salah satu anggota dewan menatap skeptis. “Apa yang Anda maksud?”
“Dia menyimpan surat berisi rencana pembunuhan Pangeran Caelum,” Mirella melempar dokumen hitam ke meja. “Ini tanda tangannya. Inisial ‘S’.”
“Bukti bisa direkayasa,” protes salah satu lainnya.
“Tapi niatnya tidak,” Mirella bersikeras. “Kita harus memilih penguasa baru—dan saya punya kandidat.”
Dari balik pintu, seorang pria masuk. Muda, rambut perak, mata kebiruan tajam.
“Perkenalkan,” ujar Mirella. “Lord Dacien Elvar. Darah bangsawan dari cabang keluarga kerajaan yang lama hilang.”
Sementara itu, di luar tembok kerajaan...
Seraphine menggenggam surat dari Ash. “Tempat terakhir ibu terlihat... adalah reruntuhan Sanctum di Timur?”
Ash mengangguk. “Kita bisa sampai sana dalam dua hari. Tapi akan ada yang menjaga tempat itu.”
“Mereka?”
“Bukan hanya Umbra. Tapi juga makhluk yang disebut The Hollowed. Mereka dulunya manusia... tapi diserap oleh sihir ibu.”
Orin bergidik. “Apakah mereka masih sadar?”
“Tidak,” Ash menjawab. “Mereka hanya hidup untuk melindungi tubuh ratu... dan membunuh siapa pun yang mendekat.”
Seraphine menggenggam gagang pedangnya.
“Kalau begitu... kita datang untuk mengakhirinya.”
Perjalanan menuju Sanctum tak mudah. Salju menebal, dan sihir di udara menjadi berat, seperti kabut beracun yang menyerap ingatan. Orin beberapa kali menangis saat melihat bayangan masa kecilnya melintas di antara pohon-pohon es.
Ash selalu berjaga di belakang, matanya tak pernah tidur.
Saat malam turun, Seraphine memimpikan sosok wanita berpakaian ungu gelap berdiri di dekat ranjangnya.
“Kau akhirnya datang,” suara lembut itu berkata. “Putriku.”
Seraphine tak bisa bergerak. Tapi hatinya tahu... itu suara ibu.
“Kau membiarkan kami mati,” bisik Seraphine.
“Aku menyelamatkan kalian,” jawab sang ibu. “Dengan cara yang tak akan kau mengerti… sampai kau menjadi ratu dan kehilangan segalanya.”
Keesokan paginya, mereka tiba di reruntuhan Sanctum.
Di tengah reruntuhan kuil, ada sebuah altar besar. Dan di atasnya... terbaring tubuh perempuan dalam balutan jubah perak pudar, rambut panjang menyentuh lantai batu.
Ibu mereka.
Tapi sebelum mereka mendekat—jeritan muncul dari balik bayang.
The Hollowed.
Puluhan makhluk bermata kosong, dengan tubuh yang berubah—setengah manusia, setengah bayangan, menyerbu dari segala arah.
Ash menarik dua pedangnya.
“Jaga Orin!”
Seraphine langsung membuka sihir pelindung, menciptakan perisai perak di sekeliling adik bungsunya.
Pertarungan berlangsung brutal.
Ash menebas satu demi satu, tubuhnya dipenuhi luka, tapi tak berhenti. Seraphine mengendalikan sihir api dan angin, membakar jalur mereka menuju altar.
Akhirnya, mereka mencapai tubuh ibu.
Seraphine berlutut. “Jika kau masih ada di sana… jika masih ada bagian dari ibu yang mencintaiku… maka bantu aku. Atau izinkan aku mengakhiri penderitaanmu.”
Tangan wanita itu tiba-tiba bergerak.
Suaranya terdengar di dalam kepala Seraphine, lirih.
“Kau harus membunuhku, anakku.”
Seraphine menahan air mata. “Aku tidak bisa—”
“Karena jika tidak… tubuh ini akan menjadi milik The One Below—dan dia akan lahir lewat darah kalian.”
Seraphine menggenggam belati.
Ash berdiri di belakangnya, pelan menunduk.
“Aku akan menjaganya… sampai akhir.”
Dengan satu tarikan napas... Seraphine menancapkan belati ke jantung ibunya.
Sinar merah menyebar, dan tubuh wanita itu terbakar menjadi abu… yang melayang ke langit seperti hujan hitam.
Di Ravennor, salju mulai jatuh hitam.
Dacien Elvar berdiri di balkon istana. “Pertanda... bahwa kerajaan ini telah kehilangan darah suci terakhirnya.”
Tapi di kejauhan, seorang pria berpakaian lusuh dan berdarah berdiri di gerbang kota.
Caelum telah kembali.
Dan dalam matanya, ada bara.
Reruntuhan Ordo Umbra tidak berada di peta. Bahkan, mereka yang tahu letaknya, lebih memilih untuk melupakannya. Tapi di sinilah kaki mereka berpijak kini—di tengah kabut ungu pekat yang terasa seperti bisikan di tengkuk.
Seraphine, Caelum, dan Ash menunggangi kuda hitam tanpa pelana, melintasi hutan mati. Hanya suara tapak kaki dan bisikan angin malam yang menemani perjalanan.
“Kau yakin kita tidak sedang menuju jebakan?” tanya Caelum, memandangi pepohonan mati yang seperti tengkorak berjari.
Ash menjawab datar, “Jebakan atau bukan, tempat ini satu-satunya harapan.”
Caelum menyengir. “Kau tahu, biasanya orang bilang ‘selamat datang’ atau ‘semoga kita selamat’. Tapi ini juga... menyegarkan.”
Seraphine memotong, “Diam kalian. Aku dengar sesuatu.”
Dan benar saja—dari balik reruntuhan altar kuno, terdengar suara lembut... lantunan nyanyian anak kecil.
Tiga pasang mata bertukar pandang. Ash turun duluan. Seraphine mengikutinya dengan tangan siap sihir. Caelum—dengan gaya santai ala bangsawan—mengangkat alis dan berjalan seperti sedang melangkah ke pesta dansa.
Di tengah reruntuhan altar, berdiri seorang anak laki-laki. Rambutnya putih seperti salju, mata keperakan, dan aura... tidak seperti manusia biasa. Di sekelilingnya, puing-puing batu melayang—tidak menyentuh tanah, tapi tidak benar-benar terbang.
“Orin?” bisik Seraphine.
Anak itu berhenti bernyanyi dan menoleh.
“...Kakak?”
Suara itu lembut. Tidak penuh ancaman. Tapi dalam satu detik, energi di sekitarnya berubah. Batu-batu jatuh, dan tanah bergetar.
Ash berlutut. “Adik kecilku. Aku kembali.”
Orin berjalan pelan, matanya fokus pada Seraphine.
“Kau... masih mengingatku?”
Seraphine mencoba tersenyum, tapi air matanya lebih cepat. Ia melangkah maju, namun sebelum bisa mendekat, Orin mengangkat tangan—dan semburan energi biru menahan mereka semua.
“Jangan mendekat,” ucapnya pelan. “Kalian... terlalu penuh rasa. Dan itu... menyakitkan.”
Ash mengangkat tangan. “Orin. Kami di sini bukan untuk melukai. Kami ingin menyelamatkanmu.”
Orin menunduk. “Aku tidak perlu diselamatkan. Aku adalah kunci. Mereka bilang aku akan membuka era baru. Dan mereka... tidak berbohong.”
Caelum melangkah maju. “Kalau begitu, biarkan kami membuka kebenaran yang kau tutupi.”
Seketika, Orin mendongak, matanya bersinar.
“Siapa kau untuk bicara padaku soal kebenaran? Seorang pangeran? Penjaga takhta palsu?”
Caelum menyilangkan tangan, tanpa rasa takut. “Seorang pangeran, ya. Tapi juga seorang pria yang muak melihat anak-anak dijadikan alat perang.”
Orin menatapnya lama. Lalu... tersenyum kecil.
“Lucu. Kau tidak seburuk yang kuduga.”
Seketika, aura di sekitarnya memudar. Batu-batu jatuh ke tanah. Seraphine mendekat dengan pelan, tangannya gemetar.
“Kau... masih adik kecilku, kan?”
Orin melihat ke arah Seraphine. “Aku selalu adikmu. Tapi aku bukan anak yang kalian tinggalkan dulu.”
“Bukan kami yang meninggalkanmu!” Seraphine setengah berteriak. “Kami pikir kau mati!”
Sunyi. Angin menggoyangkan reruntuhan di sekitar mereka.
Orin memejamkan mata. “Kalau begitu... bantu aku hidup. Bukan sebagai kunci, bukan sebagai senjata... tapi sebagai diriku sendiri.”
Ash mendekat dan memeluk adiknya, meski energi magis membuat rambutnya berdiri.
“Selalu, Orin. Kita mulai dari awal. Bersama.”
Perjalanan pulang ke istana tak lebih tenang. Mereka disambut kereta kerajaan yang dikirim oleh Arven—penasihat kerajaan yang terlalu perfeksionis untuk membiarkan mereka kembali berdebu.
Di dalam kereta, Caelum duduk bersila sambil memandangi Orin yang tidur dengan kepala di pangkuan Seraphine.
“Anak itu... terlalu kuat. Kalau dia bersin, mungkin setengah dapur istana hancur.”
Seraphine menatapnya. “Jangan lucu.”
“Aku serius. Kita butuh pelindung sihir baru hanya untuk ruang tidur.”
Ash mengangkat alis. “Dan kau? Pangeran sihir api tak stabil? Berapa kali kau sudah membakar sayap istana?”
Caelum menunjuk dirinya sendiri. “Itu... bagian dari pesona.”
Seraphine menggeleng. “Kalian berdua benar-benar cocok. Sama-sama menyebalkan.”
Tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ketiganya merasakan sesuatu yang mendekati damai.
Namun kedamaian, seperti biasa... hanya pendahulu dari badai yang lebih besar.
Beberapa hari kemudian, di malam yang tampak biasa, langit Ravennor berubah merah.
Peringatan telah datang.
Dan mereka tahu...
Musuh yang sebenarnya akan segera tiba.
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~