Karena bosan dengan kehidupan yang dijalani selama ini, Rania gadis cantik berusia 25 tahun yang telah menyelesaikan s2 di luar negeri ingin mencoba hal baru dengan menjadi seorang OB di sebuah perusahaan besar.
Tapi siapa sangka anak dari pemilik perusahaan tersebut justru menginginkan Rania untuk menjadi pengasuhnya.
Sedangkan Raka duda berusia 40 tahun ,CEO sekaligus ayah dari 3 orang anak yang belum move on dari sang mantan istri yang meninggal pasca melahirkan anak ke 3 nya.
Bagaimana perjalanan Rania dalam menghadapi tantangan yang dibuatnya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasanya kok beda?
Setelah sholat subuh, Raka kembali ke mobil dengan wajah lebih segar, seolah beban pikirannya sedikit berkurang. Rania hanya diam selama perjalanan pulang, masih merasa canggung setelah kejadian tadi pagi.
Saat mobil memasuki halaman rumah, mereka melihat Mbok Jum berdiri di teras dengan wajah panik. Begitu melihat mereka turun, wanita tua itu langsung menghampiri.
“Aduh, Alhamdulillah pak Raka sama Rania sudah pulang! den Zian nangis nyariin Mbak Rania dari tadi subuh,” lapor Mbok Jum dengan nada cemas.
Rania terkejut. “Zian?”
“Iya, Nduk. Bangun-bangun langsung nyari kamu. Sudah Mbok coba tenangin, tapi katanya dia cuma mau sama kamu.”
Tanpa pikir panjang, Rania langsung berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar Zian.
Begitu membuka pintu, ia menemukan bocah kecil itu duduk di tempat tidurnya, wajahnya sedikit memerah dengan mata basah. Begitu melihat Rania, Zian langsung merentangkan tangannya.
“Tante Rania…”
Hati Rania mencelos melihat ekspresi bocah itu. Ia segera mendekat dan duduk di tepi ranjang, membiarkan Zian memeluknya erat.
“Maaf ya, tadi Tante pergi sebentar,” ujar Rania lembut, mengusap punggung kecil Zian.
Zian menggeleng kecil di bahunya. “Jangan pergi lagi, ya…”
Rania tersenyum, merasa hangat oleh ketulusan anak itu. “iya,Tante nggak akan pergi ke mana-mana.”
Dari ambang pintu, Raka berdiri memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya melihat bagaimana Rania mampu menenangkan Zian dalam hitungan detik, sesuatu yang bahkan dirinya sendiri kesulitan melakukannya.
Untuk pertama kalinya, Raka berpikir bahwa keputusannya memilih Rania bukan hanya sekadar keputusan impulsif.
Mungkin… ini adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat.
Setelah memastikan Zian sudah lebih baik, Rania pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi begitu ia masuk, Mbok Jum langsung melotot.
"Lho, lho! Rania mau ngapain ini?" seru Mbok Jum, tangan di pinggang.
"Mau buat sarapan untuk Zian, Mbok," jawab Rania santai, berjalan ke arah kulkas.
"Eh, nggak bisa! Masak itu tugas Mbok, jadi kamu tidak usah repot-repot," kata Mbok Jum tegas, mengambil langkah cepat untuk menghalangi Rania membuka kulkas.
Rania tersenyum, menatap wanita tua itu dengan lembut. "Tapi aku mau masak sesuatu yang Zian suka. Dia tadi kelihatan nggak enak badan, jadi aku mau buatkan makanan yang bisa bikin dia lebih nyaman."
Mbok Jum masih tampak ragu. "Tapi ini tugas Mbok, Ran…"
"Kalau begitu, gimana kalau kita masak bareng?" potong Rania, matanya berbinar penuh harap. "Aku bantu Mbok, bukan mengambil tugas Mbok."
Mbok Jum mengerutkan kening, masih mencoba mempertahankan prinsipnya. Tapi melihat tatapan penuh tekad dari Rania, ia akhirnya menyerah.
"Hadehh… ya sudah, tapi Mbok yang mimpin di dapur!" katanya akhirnya.
Rania terkekeh. "Siap, Mbok!"
Akhirnya, mereka berdua mulai memasak bersama. Suasana dapur yang awalnya canggung perlahan berubah menjadi lebih hangat, dengan Mbok Jum sesekali mengomel karena cara Rania mengiris sayuran kurang rapi, dan Rania hanya bisa tertawa meminta maaf.
Di luar dapur, Raka mendengar suara tawa dari dalam dan tanpa sadar tersenyum tipis.
Rania memang berbeda. Dan semakin hari, ia semakin menyadari bahwa kehadiran gadis itu membawa sesuatu yang belum pernah ada dalam rumah ini sebelumnya—kehangatan.
**
Suasana meja makan pagi itu terasa sama seperti biasanya—hanya ada dentingan sendok dan piring yang beradu, sementara Leon dan Revan, kedua putra Raka yang sudah beranjak dewasa, sibuk menyantap sarapan mereka.
Namun, tak lama setelah mereka mulai makan, Leon mengangkat alisnya. “Mbok, kenapa rasa omeletnya beda dari biasanya?”
Revan yang duduk di seberangnya ikut mengangguk sambil mengunyah. “Iya, sama bubur ayamnya juga. Rasanya lebih lembut, tapi ada sesuatu yang beda. Enak sih, tapi nggak seperti biasanya.”
Mbok Jum, yang sedang sibuk di dapur, hanya terkekeh tanpa menjawab. Sementara itu, Raka yang duduk di ujung meja tetap diam, menikmati kopinya tanpa berkomentar.
Leon melirik ayahnya, merasa aneh dengan reaksi pria itu yang biasanya akan menanggapi atau sekadar menjawab. “Ayah, Mbok Jum sakit atau gimana? Kenapa masakannya beda?”
Raka akhirnya menatap kedua putranya, tapi ekspresinya tetap tenang. “Kenapa? Nggak suka?”
Revan buru-buru menggeleng. “Suka sih. Cuma penasaran aja.”
Leon mengernyit. “Jangan-jangan mbok jum mencoba resep ala video kutube ya?”
Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopinya perlahan, membiarkan kedua anaknya mencari tahu sendiri.
Sementara itu, di kamar atas, Rania masih menyuapi Zian yang tampak lahap menyantap bubur ayam buatannya.
“ Zian suka?” tanya Rania sambil tersenyum.
Zian mengangguk antusias. “Suka! Lebih enak dari yang biasanya.”
Rania terkekeh, merasa senang bisa membuat anak itu makan dengan baik.
Apa yang belum ia sadari adalah, di bawah sana, dua kakak Zian sedang bertanya-tanya tentang seseorang yang perlahan mulai mengubah suasana rumah mereka—seseorang bernama Rania.
Di sisi lain rumah, Rania masih berada di kamar Zian. Bocah kecil itu belum mau lepas dari pelukannya sejak tadi.
“Zian nggak mau Tante pergi,” rengek Zian, menyandarkan kepalanya ke bahu Rania.
Rania mengelus rambut lembut anak itu, tersenyum sabar. “tante nggak ke mana-mana, kok. mungkin cuma keluar sebentar, nanti balik lagi.”
Zian merengut. “Tapi aku mau sama Tante Rania terus…”
Rania tertawa kecil, hatinya menghangat melihat betapa lengketnya Zian padanya. Sejak pertama kali mengasuhnya, anak itu seolah tak mau berpisah dengannya.
Di ambang pintu, Raka berdiri memperhatikan adegan itu. Tangannya sudah siap mengetuk pintu, tapi ia memilih menunggu, membiarkan momen itu berlangsung.
Melihat Zian yang begitu nyaman di pelukan Rania membuatnya sadar sesuatu. Anak bungsunya itu sangat jarang dekat dengan orang lain. Zian sering menutup diri. Tapi dengan Rania, semuanya berbeda.
Rania menangkap keberadaan Raka di pintu dan menoleh. “Pak Raka,” sapanya lembut.
Raka melangkah masuk, menatap Zian yang masih memeluk Rania erat. “Aku harus berangkat kerja.”
Zian mendongak dan menatap ayahnya dengan wajah merajuk. “Zian nggak mau Tante Rania pergi…”
Raka menatap putranya dengan sabar, lalu mengalihkan pandangan ke Rania. Ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak.
Rania tersenyum ke arah Zian, menepuk pelan punggung bocah itu. “Aku tetap di sini, kok. Nanti kita main bareng, ya?”
Zian akhirnya mengangguk meski masih enggan melepaskan pelukannya.
Raka melihat interaksi mereka dengan diam-diam. Ada rasa hangat yang mengalir di hatinya. Sesuatu yang asing tapi tidak sepenuhnya ia tolak.
Tanpa banyak kata, ia mengangguk ke arah Rania, lalu melangkah keluar untuk berangkat kerja. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah wanita itu—dan untuk sesaat, mata mereka bertemu.