WORST PRINCE

Lucas menatap keluar jendela, memperhatikan bulan yang semakin tinggi di langit.

Dia merasakan angin malam yang dingin menyapu wajahnya.

Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit terbuka.

Seorang pria tampan dengan rambut biru dan jubah panjang berdiri di ambang pintu.

"Pangeran," sapa pria itu dengan suara rendah.

Lucas menoleh, mengenali sosok itu sebagai Theron, kepala akademi. "Kepala akademi? Apa yang sedang Anda lakukan di sini?"

Theron memperhatikan kamar Lucas, lalu berjalan mendekat.

"Pangeran Lucas," panggil Theron lirih, "sihir apa yang telah Anda gunakan sebelumnya?!" gertaknya.

Lucas tersentak dan langsung berdiri, matanya menyipit menatap Theron. "Dia bisa merasakan sihir Angevin-ku?" pikir Lucas.

Theron berhadapan langsung dengan Lucas, mereka menatap satu sama lain dengan tajam.

"Apakah anda menggunakan sebuah sihir sebelumnya?" Tanya Theron sambil menggertak. "Saya merasakan sebuah sihir asing dari sini.."

"Apa maksud Anda?" gumam Lucas dengan nada kesal.

"???" Theron merasa bingung dengan perkataan Lucas.

Lucas tersenyum ramah. "Tentu saja aku menggunakan sihir kuno dari buku yang Anda berikan sebelumnya."

Theron masih menatap Lucas dengan tajam, lalu mengeluarkan mananya, mencoba mendeteksi jejak sihir yang ada di kamar Lucas.

"Kepala akademi, Theron Van Clomocas..." panggil Lucas dingin, "Sebelumnya Anda memanggilku pangeran, bukan?"

Theron merasa penasaran, masih menyebarkan mananya. "Anda benar" jawabnya.

"Maka artinya kita bicara dengan gelar ku sebagai seorang pangeran, bukan?" Tanya Lucas lagi, dia mengangkat kakinya sedikit.

Theron mengeluarkan sedikit keringat dingin, dia memandang Lucas dengan bingung.

Lucas menghentakkan kakinya, membuat mana Theron yang berada di kamarnya langsung menghilang.

"Apa?!" batin Theron penuh keterkejutan. "Dia menghilangkan manaku begitu saja?" lanjutnya.

Lucas menatap Theron dengan sangat tajam. "Apakah Anda tahu hukum mengganggu keluarga kekaisaran...??!!" Ujar Lucas mengancam.

...****************...

Di tengah bayang-bayang malam, Fairris duduk di hadapan Phineas, yang mulai menceritakan kisah kelam tentang pamannya, Callian Beaumont.

"Callian selalu percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di balik kehancuran keluargamu," kata Phineas. "Dia menemukan petunjuk tentang konspirasi besar yang melibatkan beberapa keluarga bangsawan lain."

Fairris mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Phineas.

Malam semakin larut, dan suasana semakin tegang.

"Dan dia pergi untuk menyelidiki lebih jauh, meninggalkan kita tanpa petunjuk," lanjut Phineas. "Namun, aku menemukan catatan rahasia yang ditinggalkannya. Aku pikir catatan ini bisa membantumu."

Phineas mengeluarkan gulungan kertas kuno dari dalam jubahnya dan menyerahkannya kepada Fairris.

Dengan hati-hati, Fairris membuka gulungan itu dan membaca isinya dengan cepat.

Ada peta, petunjuk, dan tulisan tangan Callian yang mendeskripsikan beberapa lokasi yang dia kunjungi.

"Kau harus berhati-hati, Fairris. Banyak mata yang mengawasi gerak-gerikmu. Tidak semua orang di akademi ini dapat dipercaya," kata Phineas dengan nada peringatan.

Fairris mengangguk, menyadari bahwa dia harus lebih waspada dari sebelumnya.

"Terima kasih, Phineas. Aku akan melanjutkan pencarian ini dan menemukan kebenaran di balik hilangnya pamanku." Ucap Fairris dengan tekad.

Sementara itu, di kejauhan, Lorien yang telah dipanggil oleh Lucas, mengamati pertemuan antara Fairris dan Phineas dari dalam bayang-bayang.

Dengan mata merah menyala, dia mencatat setiap detail, siap melaporkan semuanya kepada tuannya.

Phineas tersenyum tipis saat meninggalkan pertemuan dengan Fairris.

"Aku telah menanamkan rasa ragu pada dirinya," gumam Phineas dalam hati. "Fairris akan menjadi pion yang sempurna dalam rencanaku."

Di sisi lain, Fairris menatap peta dan catatan yang baru saja diberikan Phineas.

Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami makna di balik setiap kata dan simbol yang tercantum di sana.

"Apa sebenarnya yang Paman cari?" gumam Fairris pelan.

Saat Fairris mengamati gulungan kertas kuno itu, dia menemukan sebuah catatan tersembunyi di balik peta.

Catatan itu berisi pesan singkat: "Temukan sebuah pedang kuno di Hutan Menzran. Hanya itu harapan terakhir kita."

Dengan hati-hati, Fairris melipat kembali peta dan catatan tersebut, menyimpannya dengan baik di dalam jubahnya.

Dia harus merencanakan langkah berikutnya dengan hati-hati.

"Hutan Menzran..." pikir Fairris, membayangkan hutan luas yang berada dekat dengan akademi.