Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Evan Yang Manis
Pergerakan kecil Alya membuat Evan terbangun dari tidurnya. Beberapa kali dia masih mengerjapkan matanya. Kemudian tangannya meraba nakas yang ada di dekat ranjang, mengambil ponselnya yang ada di sana. Waktu menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit. Alya yang berada dalam pelukan Evan, ikut terbangun dari tidurnya.
“Jam berapa, mas?” tanya Alya dengan suara serak.
“Jam empat kurang lima belas menit.”
“Udah mau shubuh.”
“Belum.. masih ada waktu.”
Alya tak jadi bangun dari tidurnya karena Evan langsung menindihnya. Sebelum kesadarannya kembali, pria itu sudah menciumi wajah dan leher istrinya. Semalam mereka hanya bermain satu ronde saja, dan rasanya masih belum puas untuk Evan. Dia ingin mengulangi pergulatan semalam sebelum shubuh. Kalau dilakukan setelah shubuh, pria itu takut akan menemui kegagalan lagi.
Tangan Evan meremat bukit kembar Alya yang hanya daster yang dikenakannya. Lenguhan langsung terdengar dari wanita itu. Tanpa henti Evan terus memberikan cumbuan pada sang istri, membuat Alya kembali terbuai. Dia hanya pasrah saja saat suaminya itu melepaskan daster yang dimilikinya. Dengan tergesa, Evan juga membuka pakaiannya. Pria itu bersiap untuk memasukkan terongnya lagi.
Di pergulatan keduanya ini, Evan sudah tidak begitu kesulitan saat memasukkan terongnya. Rasa sakit yang dirasakan Alya di awal hubungan mereka juga tidak terlalu terasa. Gerakan Evan yang lembut, membuat dirinya bisa menikmati permainan sang suami. Udara shubuh yang dingin perlahan menghangat karena percintaan mereka.
Setelah dua puluh menit bermain, akhirnya Evan berhasil mengeluarkan santan kentalnya ke rahim sang istri. Keduanya masih dalam posisi berbaring, mencoba mengatur nafas yang masih menderu dan mengistirahatkan tubuh sejenak. Evan mencium kening sang istri cukup lama.
“Makasih ya, Al..” bisik Evan.
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan Alya. Wanita itu seakan tidak punya tenaga untuk membalas ucapan suaminya. Setelah beberapa saat, Evan bangun dari tidurnya. Disambarnya bokser lalu memakainya. Dia juga mengambil handuk milik Alya, dan membungkus tubuh istrinya itu.
“Biar cepat kita mandi bareng, ya.”
“Tapi, mas..”
“Ngga ada tapi.”
Alya hanya bisa pasrah ketika Evan menggendongnya. Pipi wanita itu bersemu merah mendapatkan perlakuan manis dari suaminya. Keduanya segera keluar kamar, lalu masuk ke kamar mandi. Sepanjang acara mandi bersama, Alya hanya menundukkan kepalanya. Dia terlalu malu melihat wajah suaminya. Apalagi Evan begitu telaten membantu dirinya keramas, dan menyabuni tubuhnya.
Usai mandi bersama yang disertai sentuhan-sentuhan kecil Evan, pria itu segera menuju masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Alya sendiri sedikit kesulitan saat hendak berjalan. Sesudah shalat shubuh, wanita itu berjalan tertatih ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia juga terlalu malu untuk keluar belanja sayuran, karena cara berjalannya yang aneh.
Evan langsung menghampiri istrinya yang sedang berada di dapur. Dipeluknya tubuh Alya dari belakang, seraya menaruh dagu di bahunya. Nampak Alya masih terdiam, belum melakukan apapun. Dia bingung harus membuat sarapan apa. Tidak mungkin dia menyuguhkan pepes ikan patin untuk sarapan.
“Kok bengong? Kamu mau masak apa?”
“Sebenarnya aku mau buat bihun goreng untuk sarapan. Tapi aku malu keluarnya. Bagian bawahku masih sakit, mas.”
Evan tertawa kecil mendengar penuturan istrinya. Rasa sakit yang mendera istrinya, sudah pasti akibat terongnya yang made in blasteran. Pria itu melepaskan pelukannya, lalu berjalan menuju kulkas. Sosis, bakso dan telur masih ada di dalamnya. Kemudian dia melihat lagi pada Alya.
“Kamu mau beli apa? Biar mas aja yang belanja.”
“Beneran mas mau belanja? Ngga malu?”
“Ngapai malu? Itu mang Maman aja ngga malu jualan sayur, dikerubutin emak-emak lagi. Bilang aja mau beli apa.”
“Ehmm.. mas hari ini mau makan apa buat makan malam?”
“Aku pengen capcay.”
“Kalau gitu beli wortel, brokoli, jamur kancing, bawang bombay. Kalau ada tofu, sekalian beli ya, mas. Terus beli bihun sama sawi hijau.”
“Ok, sayang.”
Sebelum pergi, Evan menyempatkan diri mencium pipi istrinya. Pria itu lebih dulu mengganti pakaiannya, lalu keluar dari rumah. Nampak mang Maman baru saja tiba. Hal tersebut segera dimanfaatkan Evan. Sebelum pedagang sayur itu diserbu tetangganya, dia akan belanja lebih dulu.
“Mang, aku mau wortel, brokoli, jamur kancing, bawang bombay, bihun sama sawi hijau.”
“Tumben yang belanja, masnya. Neng Alya mana?”
“Ada. Lagi sakit.”
“Sakit apa, mas?”
“Sakit enak,” jawab Evan asal.
“Ooh.. habis tempur toh.”
Evan jadi malu sendiri mendengar jawaban mang Maman. Dia lupa kalau tukang sayur keliling ini sudah lebih berpengalaman darinya. Dengan cepat pria itu menyiapkan apa yang diminta Evan. Satu per satu ibu-ibu pelanggan mang Maman mulai berdatangan. Seperti halnya penjual sayur itu, para ibu kepo juga bingung melihat Evan yang belanja.
“Eh tumben mas Evan yang belanja,” tegur Wati.
“Ngga apa-apa, bu. Sekali-kali saya yang belanja. Biar saya tahu harga juga. Supaya ngga kurang kasih uang belanja.”
Dalam hati mang Maman memuji kepintaran Evan bersilat lidah. Pria itu diam saja, tak menanggapi ucapan Evan. Sebagai sesama kaum Adam, tentu saja dia harus melindungi harkat dan martabat laki-laki. Jangan sampai Evan terkena bullyan para pelanggannya yang kepo dan terkadang julid.
“Duh senangnya kalau punya suami perhatian kaya mas Evan. Kalo bojoku, pas aku minta uang belanja lagi, selalu nanya, emangnya uangnya habis? Dipake apa aja? Lah yang dimakan sehari-hari emang belinya ngga pake duit apa? Isi token, jajan anak, emangnya pake daun? Kadang aneh sama laki-laki,” cerocos Susi. Sepertinya dia tengah curhat soal kecerewetan pak Slamet.
“Sama.. suamiku juga gitu. Kalau kasih uang belanja suka ngepas banget. kalau ada kembaliannya, malah diminta lagi,” sambung bu Endang.
“Lok kok diminta lagi?” tanya Tuti kepo.
“Buat beli makanan burung katanya. Pernah dia suruh aku beli paprika, kukira dia minta dimasakin apa. Taunya buat makan burung, katanya biar suaranya merdu. Kadang aku mikir, dia itu lebih sayang burungnya dari pada aku.”
“Tetap sayang bu Endang. Kan efeknya tetap buat Endang. Kalau burungnya pak Suhanda sehat, kan yang puas bu Endang juga, hihihi…”
Jawaban asal Wati tentu saja mengundang gelak tawa lainnya. Evan hanya melemparkan cengiran saja. Tak bisa dibayangkan, otak polos istrinya pasti akan terkontaminasi kalau terus-terusan mendengar ucapan absurd tetangganya ini.
“Pak, ada tofu, ngga?”
“Ngga ada, mas.”
“Ya udah ini aja. Jadi semuanya berapa?”
“Tiga puluh dua ribu, mas.”
Evan mengambil uang dari saku celananya, lalu memberikannya pada mang Maman. Setelah menerima kembalian, pria itu bergegas masuk ke dalam rumah. Telinganya tak tahan mendengar obrolan absurd ibu-ibu kompleks. Sesampainya di dalam rumah, dia memberikan kantong belanjaan pada Alya.
“Tofunya ngga ada.”
“Capcaynya ngga pake tofu, ngga apa-apa, mas?”
“Ngga apa-apa. Sini aku bantu. Aku harus ngapain nih?”
“Potongin sosis, baso sama sawi aja, mas. Aku bikin bumbunya.”
Dengan cepat Evan mengeluarkan sosis dan baso dari dalam kulkas. Alya memasak air untuk merendam bihun, lalu membuat bumbunya. Bihun yang sudah direndam air panas, segera ditiriskan lalu diberi kecap. Titin mengajarkan Alya memberi kecap bihun sebelum masuk ke wajan, agar kecapnya merata. Selesai membantu Alya, Evan segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian lagi. Sebentar lagi dia akan berangkat ke restoran.
Begitu Eva keluar kamar, bihun goreng sudah tersedia di meja, lengkap dengan taburan bawang goreng. Pria itu segera duduk di sofa dan mulai menikmati masakan istrinya. Sejak menikah, Evan sudah terbiasa lagi menikmati makanan khas Indonesia. Rasa masakan istrinya sama enaknya dengan masakan mendiang mamanya.
Baru saja mereka menyelesaikan sarapan, ponsel Alya berdering. Sejenak wanita itu hanya memandangi saja deretan nomor tak dikenal yang menghubunginya. Melihat sang istri hanya diam saja, Evan jadi penasaran.
“Siapa yang telepon?”
“Ngga tau, mas. Nomornya ngga ada di aku.”
“Angkat aja. Siapa tahu penting.”
Baru Alya akan menjawab telepon, panggilan berhenti. Namun tak lama kemudian kembali terdengar deringan di ponselnya. Dengan cepat Alya menjawab panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Alya.. ini gue, Nana.”
“Ya ampun, Na. Gue pikir siapa. Lo ganti nomer apa pake hape orang?”
“Ganti nomer sama gante hape, hehehe. Alhamdulillah gue dibeliin hape sama bang Ge, kemarin.”
“Wah, Alhamdulillah. Baik banget bang Ge.”
“Iya, Al. Disave ya nomer gue. Sekarang gue kalau mau telepon elo ngga boros pulsa, hihihi..”
“Ok.. eh iya hampir lupa. Lo masih minat keluar kerja, ngga?”
“Masih, dong. Lo ada info?”
“Restorannya bang Fariz butuh karyawan, tapi nanti awal bulan. Gue udah bilang, katanya lo tinggal datang aja.”
“Beneran, Al? Alhamdulillah.. restorannya di mana?”
“Nanti gue kasih alamatnya.”
“Minta Ge aja yang anter,” celetuk Evan.
Sontak Alya menolehkan kepalanya pada sang suami. Pria itu hanya memberikan isyarat lewat pandangan matanya.
“Kata mas Evan minta anter sama bang Ge aja.”
“Ngga mau, ah. Malu. Lagian belum tentu mau bang Ge-nya.”
“Malu katanya, mas,” Alya melihat pada Evan.
“Ngga usah malu. Pasti Ge mau anterin. Bakalan girang dia dimintain tolong kaya gitu.”
“Lo dengar sendiri, kan?”
“Ya udah deh. Nanti aku minta bang Ge anterin. Udah dulu ya, Al. Gue mau siap-siap ke café dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Usai bertelepon ria dengan Nana, Alya membawa semua peralatan kotor yang digunakan tadi ke dapur untuk dicuci. Evan masuk kembali ke kamar, tak lama dia keluar dengan tas kerja tersampir di bahunya. Alya bergegas mendekati suaminya. Dibenarkan dulu kerah kemeja yang tidak terlipat rapih.
“Nana beli hape baru?” tanya Evan.
“Iya, mas. Dibeliin sama bang Ge.”
Mata Evan kemudian melirik pada ponsel Alya yang ada di meja. Ponsel istrinya itu juga sudah waktunya diganti. Selain spesifikasinya yang masih terbatas, terdapat seditik retakan di bagian ujung layarnya. Berbanding terbalik dengan ponselnya yang keluaran merk ternama dan baru saja diganti tiga bulan lalu.
“Hape kamu juga kayanya harus diganti. Tapi aku belum punya uangnya,” nada suara Evan terdengar sedih.
“Ngga apa-apa, mas. Kan hapeku masih bisa dipake. Nanti aja kalau ada rejeki lebih, baru ganti yang baru.”
“Atau kamu pake hapeku aja.”
“Jangan. Mas kan dosen, masa pake hapenya jadul. Pasti mas butuh hape itu buat nunjang pekerjaan. Aku pake hape yang sekarang aja, ngga apa-apa kok.”
“Kamu sabar ya. Kalau aku punya uang, nanti kau belikan hape baru.”
“Aamiin.. mas kerja yang rajin. In Syaa Allah, rejeki mah ngikutin.”
“Aamiin..”
Sambil memeluk pinggang istrinya, Evan keluar dari rumahnya. Dia segera memindahkan motor ke pekarangan rumahnya, lalu memanaskannya sebentar. Pria itu mengenakan jaket lalu memakai helmnya. Alya mendekat kemudian mencium punggung tangan suaminya.
“Pulang kerja aku mampir ke toko buku. Beli buku latihan soal buat kamu.”
“Iya, mas.”
Evan meraih pundak Alya, kemudian mencium kening istrinya. Sudut matanya menangkap Tuti sedang mengintip dari balik tembok rumahnya. Timbul kejahilan pria itu. Tiba-tiba saja Evan mencium bibir Alya, lalu mel*matnya. Cukup lama Evan memagut bibir istrinya itu. Tuti yang melihat siaran langsung seperti itu, langsung masuk ke dalam rumahnya.
“Mas iihh.. kalau ada yang lihat gimana?”
“Emang ada yang lihat. Tuh bu Tuti, tadi ngintip kita, hahaha..”
“Mah jahil banget.”
“Ngga apa-apa sekali-kali kasih live show sama emak-emak kepo. Aku pergi dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alya membukakan pintu pagar. Evan segera menjalankan kendaraan roda duanya. Mata Alya terus memandangi punggung sang suami yang semakin menjauh, baru kemudian masuk ke dalam rumahnya.
☘️☘️☘️
Baru saja Evan menjejakkan kakinya di restoran, ketika Fariz menarik tangannya masuk ke dalam ruangan. Pria itu nampak tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Fariz mengubah panggilan menjadi mode loud speak, lalu menaruhnya di atas meja.
“Papa ngomong aja sama orangnya langsung. Nih baru sampe.”
“Halo, Van.”
“Kenapa, pa?”
“Papa minta tolong, buatkan SIM (Sistem Informasi Manajeman) buat di Resto. Perluasan restoran udah selesai. Reservasi semakin banyak, kayanya papa perlu itu sekarang. Sekalian buat stock of name di gudang. Ada pegawai baru juga yang masuk, mereka harus tahu job desk-nya.”
“Boleh, pa. Tapi ngga gratis ya.”
“Kamu tuh, sama orang tua aja hitungan.”
“Kalau papa minta tolongnya sebelum aku nikah, pasti aku kasih cuma-cuma. Sekarang kan aku udah nikah. Jadi harus jelas hitungannya. Kan demi menantu papa juga.”
“Bisa aja ngelesnya kamu. Ya pasti papa bayar. Kapan kamu bisa beresinnya? Harus cepat.”
“Habis aku beresin di sini, aku langsung kerjain resto papa. By the way, bayarannya berapa, pa?”
“Kerja belum, udah nanya bayaran aja.”
“Buat pemacu semangat, pa. Aku juga mau beliin hape baru buat Alya. Lima juta ya, pa.”
“Mahal amat.”
“Murah itu, pa. Itu harga bapak dan anak. Kalau papa bayar ahli IT coba keluar berapa?”
“Ya udah, lima juta. Deal!”
“Deal!”
“Papa tunggu secepatnya. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Panggilan segera berakhir. Fariz memperhatikan wajah Evan yang nampak sumringah. Pria itu seperti habis menang lotere besar saja. Dulu untuk mendapatkan uang segitu, Evan hanya harus menengadahkan tangan saja. Tapi sekarang, dia harus bekerja keras lebih dulu. Tapi Fariz bangga sekaligus senang dengan perubahan sang adik.
“Kamu mau beliin hape baru buat Alya?”
“Iya, bang. Hapenya udah ngga layak pakai kayanya. Lagian masa aku kalah sama Ge. Dia aja beliin hape baru buat Nana. Masa aku ngga bisa beliin hape baru buat Alya.”
“Ge beliin hape buat Nana?”
“Iya. Tuh anak lagi pedekate sama Nana.”
“Dia naksir Nana?”
“Iya. Gercep juga tuh orang. Abang sendiri gimana?”
“Gimana apanya?”
Fariz bangun dari duduknya, kemudian menuju meja kerjanya. Sebenarnya dia sudah tahu kemana arah pembicaraan adiknya ini. Hanya saja saat ini, dia enggan membahas masalah pribadinya. Pria itu masih menikmati masa sendirinya. Belum ada niatan untuk merubah statusnya, tidak seperti yang dikatakannya pada Sera waktu itu.
“Abang ngga usah pura-pura, deh. Mantan istri abang tuh katanya udah balik ke sini dan bakal fokus karir di sini. Dia minta dialihkan pekerjaannya di sini. Cih.. giliran udah dicerai balik ke sini. Kemarin-kemarin disuruh pulang, ogah balik.”
Tak ada tanggapan dari Fariz. Dalam hati, dia membenarkan perkataan sang adik. Belakangan ini juga Sera sering datang mengunjunginya di restoran. Walau dia kerap mengabaikannya, namun mantan istrinya itu pantang menyerah.
“Abang mending cepet-cepet cari pengganti. Daripada ditempelin kak Sera terus. Sama Riana aja, gimana?” Evan menaik turunkan alisnya.
“Riana?”
“Iya, Riana adiknya Defri. Kan udah lama dia naksir sama abang.”
“Ngaco aja kamu.”
“Lah, abangnya aja yang ngga peka. Dari pada kak Sera, mending Riana kemana-mana. Aku yakin, dia bisa jadi istri yang baik. Mau kubantu, ngga?”
“Sana balik ke ruangan. Kerjaanmu udah nunggu.”
“Soal Riana, gimana?”
Evan langsung bangun dari duduknya begitu melihat Fariz sudah mengarahkan pulpen di tangan padanya. Sepeninggal Evan, Fariz terdiam beberapa saat. Tak menyangka kalau gadis yang sudah dianggapnya adik sendiri, ternyata memiliki perasaan padanya. Pria itu bangun, lalu mengenakan chef jacketnya. Dia segera menuju dapur untuk melihat persiapan anak buahnya untuk reservasi hari ini.
☘️☘️☘️
**Yang udah dapet jatah, langsung manis sikapnya kaya gulali😂
Duh kira² jodoh bang Fariz siapa ya🤔**
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/