Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan aneh Zayn
Pagi menyapa, sinar matahari tipis masuk melalui tirai tipis jendela kamar rumah sakit. Suasana hening, hanya terdengar bunyi beep beep mesin monitor kesehatan di samping ranjang Bima. Alisha masih tertidur di kursi panjang dengan selimut yang semalam Zayn selimuti di tubuhnya.
Zayn bangun lebih dulu. Tatapannya sempat jatuh pada wajah Alisha yang terlelap. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak bisa ia mengerti—kehangatan baru yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan perlahan, ia mengambil secarik kertas kecil dari notes yang biasa ia bawa, menuliskan dengan rapih:
"Aku ada meeting penting pagi ini. Kau harus sarapan. Jangan lupakan dirimu."
Zayn meletakkan kertas itu di meja kecil dekat kepala Alisha, memastikan posisinya mudah terlihat. Ia menatap istrinya sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik pergi dengan langkah tenang. Dua bodyguardnya sudah menunggu di luar pintu, siap mengawal kepergiannya.
Tak lama kemudian, Alisha terbangun. Tangannya meraba kursi kosong di sebelahnya. Zayn sudah tidak ada. Panik kecil menyergap dirinya, hingga matanya menangkap secarik kertas kecil di meja. Ia meraihnya, membaca pesan sederhana itu. Bibirnya terkatup rapat, lalu perlahan membentuk senyum kecil yang tak bisa ia cegah.
"Dia bahkan sempat menuliskan ini untukku…" gumamnya lirih, sambil menatap huruf-huruf yang begitu khas. Ada rasa hangat merayap dalam hatinya, meski otaknya masih sering mengingatkan bahwa pernikahan mereka hanyalah status. Tidak lebih.
Tok… tok…
Pintu kamar diketuk pelan. Arvin masuk dengan tas jinjing di tangannya. “Selamat pagi, Nyonya,” sapanya ramah, berbeda sekali dari gaya formalnya ketika hanya berhadapan dengan Zayn.
“Arvin?” Alisha menoleh. “Kau—”
“Ini titipan dari Tuan Zayn. Baju ganti untuk Nyonya,” ucap Arvin cepat, meletakkan tas di sofa. “Beliau memerintahkan saya untuk memastikan Nyonya agar merasa nyaman di sini.”
Alisha terdiam sesaat. Lagi-lagi, Zayn. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi semua perhatian itu.
“Lalu, apakah Nyonya ingin sarapan di luar? Atau saya pesankan untuk dibawa ke sini?” tanya Arvin sopan, nada suaranya sedikit menggodai tanpa terlihat berlebihan. Ia memang sudah mulai terbiasa melihat perubahan dalam hidup Tuannya.
Alisha berpikir sejenak. “Aku… mungkin ingin sarapan di luar sebentar. Tapi… Bima—”
“Tenang saja,” potong Arvin. “Saya akan menemani Tuan muda Bima di sini. Ada dua pengawal yang akan mendampingi Nyonya, jadi tidak perlu khawatir.”
Alisha mengangguk pelan. Ada sedikit rasa canggung, tapi ia juga butuh udara segar setelah semalaman di rumah sakit. Ia mengenakan cardigan tipis, lalu keluar dari kamar dengan langkah hati-hati. Dua bodyguard Zayn menyusul di belakang, langkah mereka kompak dan penuh wibawa.
.....
Kantin kecil di lantai dasar rumah sakit itu tampak ramai. Aroma kopi bercampur dengan roti panggang memenuhi udara. Alisha memilih meja di area pojok yang sedikit sepi, lalu memesan teh hangat dan roti isi sederhana.
Namun sejak ia duduk, ia merasa seperti ada sepasang mata yang terus mengawasinya. Benar saja, di meja seberang, seorang pria muda dengan kemeja krem rapih tengah menyantap sarapannya. Sesekali, pria itu mengangkat pandangan dan menatap lurus ke arah Alisha.
Alisha gelisah. Tangannya meremas cangkir teh hangat di genggamannya. Ia berusaha menatap ke arah lain, berpura-pura tak peduli. Tapi setiap kali ia menoleh sekilas, pria itu masih ada, seakan tak berniat menyembunyikan perhatiannya.
Alisha buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia merasa risih, tak nyaman dengan tatapan itu. Tanpa banyak bicara, Alisha bangkit, mengangguk singkat pada dua bodyguard yang segera mengikutinya, lalu melangkah cepat kembali ke kamar Bima.
Begitu masuk, rasa lega langsung menyelimutinya. Bima masih tertidur lemah di ranjang, sementara Arvin duduk di sofa sambil membaca tablet.
“Nyonya sudah selesai?” tanya Arvin, menoleh sambil tersenyum tipis.
“Ya…” jawab Alisha singkat, sembari merapikan helai rambut yang berantakan. Dalam hatinya, ia masih terngiang tatapan pria asing tadi. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—entah kebetulan, atau sebuah pertanda bahwa masalah baru mungkin akan segera datang.
____
Zayn bukan tipe pria yang bisa duduk tenang jika pikirannya terusik. Seusai meeting, bahkan sebelum mobilnya sepenuhnya berhenti di depan lobi rumah sakit, ia sudah melangkah cepat menuju lantai tempat Bima dirawat. Di wajahnya ada kelelahan, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan: kerinduan untuk memastikan Alisha baik-baik saja.
Saat pintu kamar rawat terbuka, Zayn mendapati Alisha tengah duduk di kursi samping ranjang, memperhatikan Bima yang tertidur dengan selang infus di tangannya. Senyum tipis terbit di bibir Alisha saat melihat Zayn masuk. Ada kehangatan, tapi juga ada semburat gugup yang ia sembunyikan dengan cepat.
“Aku pikir kau akan sibuk seharian,” ujar Alisha pelan.
“Aku tidak pernah terlalu sibuk untukmu,” jawab Zayn tanpa ragu, matanya menatap lurus. Ucapan itu seketika membuat jantung Alisha berdebar, tapi ia buru-buru menunduk, berpura-pura merapihkan selimut Bima.
Zayn mendekat, menarik kursi di sampingnya. “Kau terlihat gelisah,” ucapnya lembut.
Alisha terdiam. Bibirnya sempat terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tertutup kembali. Ia hanya menggeleng pelan. “Tidak… aku hanya khawatir soal Bima.”
Tentu saja Zayn tak begitu saja percaya. Ia mengenal bahasa tubuh Alisha yang berbeda kali ini. Meski belum lama bersama, namun dirinya merasa seperti terikat dengan Alisha. Ada sesuatu yang ditahannya. Ia diam sejenak, mencoba menimbang, lalu memutuskan untuk bertanya pada dua bodyguard yang tadi bertugas mengawal istrinya.
Saat mereka masuk dengan hormat, Zayn langsung bertanya tegas, “Apa ada kejadian mencurigakan saat kalian menemani istriku pagi ini?”
Kata 'istriku' membuat kedua pria itu menahan senyum, namun itu hanya terjadi beberapa detik, lalu keduanya saling pandang sebentar sebelum salah satunya menjawab hati-hati, “Ada, Tuan. Seorang pria muda duduk di meja tak jauh dari Nyonya saat sarapan. Tatapannya terlalu sering ke arah beliau. Setelah itu, pria itu terlihat mengikuti Nyonya hingga ke depan toilet umum. Tapi kami pastikan tidak ada kontak fisik, dan kami segera menghalau keberadaannya.”
Alisha menegakkan tubuhnya, wajahnya berubah. Ia tak menyangka para bodyguard akan mengatakan hal itu.
Zayn menoleh pada Alisha. Tatapannya tajam, tapi bukan kemarahan yang muncul di sana—melainkan kegelisahan. “Jadi benar?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris bergetar.
Alisha menelan saliva. Ia ingin menjawab, tapi yang keluar hanya gumaman lirih, “Aku tidak ingin membuatmu khawatir…”
Zayn mendekat, duduk lebih rapat di sampingnya, hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Kau seharusnya tidak menyimpannya sendiri, Alisha. Apapun itu, sekecil apapun, aku harus tahu. Aku tidak akan pernah membiarkan seseorang mengusikmu.”
Alisha mendongak, menatap mata suaminya yang begitu serius. Ada sesuatu yang hangat menyeruak dalam dadanya. Rasa aman, rasa dilindungi, tapi sekaligus kebingungan. Karena ini tidak sesuai dengan perjanjian mereka: hanya status, tanpa cinta.
Tangannya tanpa sadar meremas ujung selimut. “Zayn… aku…” suaranya tercekat.
Zayn menangkupkan jemarinya di atas tangan Alisha. Kehangatan itu membuat Alisha makin sulit menahan perasaannya. “Aku tidak tahu kenapa, tapi hanya memikirkan ada orang asing yang berani mendekatimu saja sudah membuatku tidak tenang,” ucap Zayn lirih, nyaris seperti pengakuan.
Hati Alisha bergetar. Ia ingin mengatakan bahwa ia juga merasakan hal yang sama—bahwa kehadiran Zayn sudah mulai menggoyahkan batas yang mereka buat sendiri. Tapi ia menahan diri. Kalimat itu terjebak di kerongkongan.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk, membiarkan genggaman tangan Zayn tetap di sana, seolah itu adalah benteng yang ia butuhkan saat ini.
Zayn menarik napas panjang, menahan segala gundah yang tiba-tiba tumbuh dalam dirinya. Untuk pertama kali, ia merasakan apa itu takut kehilangan.