SUDAH TERBIT CETAK
"Aku mau riset ke Jepang."
Menjadi awal dari kandasnya mimpi indah Anggi bersama Dio, the first love never die.
Ditambah tragedi yang menimpa kedua orangtua Dio, membuat masa depan yang sejak lama diangankan harus pupus dalam sekejap.
Namun ketika Anggi masih berusaha menata hati yang retak, Rendra datang hanya untuk berkata,
"I just simply love you."
"Gimme a chance."
A romantic story about Dio-Anggi-Rendra
--------------
Season 1 : Kisah Tak Berujung Bad Senior in love
Season 2 : Always Gonna be You
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. "Sorry, I Can't"
"Sorry, I Can't"
(Maaf, aku tak bisa)
--------------------
Anggi
Siang harinya, usai kelas komunikasi internasional. Ia dan Mala berjanji untuk bertemu di kantin Fisipol. Yang jajanannya lumayan lengkap dan terkenal lezat.
Kini ia telah memesan seporsi siomay, lengkap dengan pare. Sementara Mala tak bisa berpaling dari capcay goreng pedas favoritnya.
"Mau cerita apaan sih, serius banget?" Mala meneguk habis air putih dari tumblernya. Siang ini cuaca memang lumayan terik.
"Tapi ... jangan kaget," matanya menerawang.
Beberapa menit kemudian, sudah tak terhitung berapa kali Mala menggelengkan kepala saat mendengar penuturannya. Sesekali mulut Mala melontarkan kalimat,
"Ya ampun?!"
"Yang bener?"
"Astaga!"
"Ampun deh."
Hampir setengah jam Mala mengulang kalimat-kalimat tersebut dengan mimik kaget, takjub, heran, gemas, campur aduk menjadi satu. Seporsi siomay dan capcay goreng pedas yang licin tandas menjadi penutupnya menyudahi cerita, disertai dengan helaan napas panjang.
"Berapa lama kita nggak ketemu? Seminggu, dua minggu, sebulan?" tanya Mala seraya terus menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Pas sibuk ngospek aja," ia mengangkat bahu.
"Dan selama kita nggak pernah ketemu, nggak pernah ngobrol, ternyata kamu .... Ya, ampun," Mala masih terus menggelengkan kepala tak percaya.
Ia kembali menghela napas panjang.
"Jadi ... orang yang meluk kamu di dapur Pitaloka itu Bang Rendra?" Mala menatapnya tajam.
"Rendra Darmastawa Teknik Industri yang digilai banyak ciwi ciwi?" lanjut Mala dengan intonasi suara yang meninggi dengan sendirinya.
"Sssttt," ia memperingatkan Mala. "Bisa pakai inisial atau istilah aja nggak sih?" matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Khawatir ada orang lain yang sempat mendengar pekikan Mala.
"Jadi ... gosip yang aku denger kalo Bang Re ...."
"Sssttt!" ia kembali memperingatkan. "Inisial."
"Kalau ada adik tingkat yang belagu itu tuh ... kamu?" Mala mengembuskan napas panjang.
"Belagu gimana?" ia mengernyit.
"Anak-anak rame ngobrolin, kalau ada cofas cewek songong yang di treat sedemikian rupa. Sampai dikirim makan siang setiap hari sama Bang ...."
Ia kembali melotot memperingatkan.
"Sama R ... sama R ...." ralat Mala. "Itu kamu?!" sambung Mala seraya memutar bola mata. "Dunia memang seluas daun kelor."
"Masa sih, sampai digosipin segitunya? Perasaan cuma anak cofas sama konsumsi doang yang tahu masalah maksi?" ia semakin mengernyit.
"Yee, jangan salah. Mata sama telinga itu ada di mana-mana. Tembok juga bisa ngomong kali," Mala tertawa.
"Lebay," cibirnya tak setuju.
"Eh, trus mimpi absurd kamu tadi pagi, bukannya refleksi dari alam bawah sadar kamu sendiri? Apa malah hati kecil?" Mala mendadak seperti teringat sesuatu.
"Refleksi gimana?" keningnya langsung mengkerut.
"Perasaan kamu yang sesungguhnya," jawab Mala enteng.
"Cuma bunga tidur aneh ah, nggak ada refleksi-refleksi an," tolaknya cepat.
"Terus ... kamu udah bales chatnya?" Mala kembali bertanya.
Ia menggeleng. "Males."
"Selama kamu belom bales, R ada ngechat atau hubungi kamu duluan nggak?" Mala seolah sedang menginterogasinya.
Lagi-lagi ia menggeleng.
"Tahu nggak, gosip putusnya Ba ...." Mala tercekat. "R ... maksudnya R ...." ralat Mala sambil mengecilkan suara.
"Gosip putusnya R sama exnya yang putri-putrian itu, jadi trending di kepanitiaan. Rame. Aku bener-bener nggak pernah nyangka, kalau ternyata kamu yang jadi pemeran pembantu di sini," Mala kembali menggelengkan kepala.
"Heh, pemeran pembantu gimana?!" ia menyergah tak setuju.
"Ya ... nggak pernah nyangka aja, kalau R langsung move on secepat itu. Sampai modusin kamu sedemikian rupa," Mala mengangkat bahu.
Ia mendesis sebal. "Nggak mempan Mal ... nggak bakalan mempan."
"Iya ... iya. Sial banget R ... salah pilih mangsa," Mala menyeringai. "Memang enak saingan sama first love never die."
Kalimat Mala membuatnya memutar bola mata.
"Kamu nyuekin R karena lebih milih Dio kan?" Mala tersenyum penuh arti.
"Sok tahu," ia merengut. Namun dalam hati membenarkan. Dio is my way.
"Eh, tapi ada gosip juga ... kalau R kelihatan beda akhir-akhir ini. Kata anak-anak yang kenal akrab sih. Aku kan cuman penonton dari kejauhan," Mala terlihat memikirkan sesuatu.
"Beda gimana?" ia tak mengerti.
"Jadi lebih apa ya ...." Mala mengerutkan kening tanda berpikir keras. "Beda aja pokoknya."
"Ya udah sih ya, yang penting sekarang perasanku lega banget. Karena udah cerita semuanya ke kamu. Off the record," ia memperingatkan Mala agar menyimpan rahasia ini sebaik mungkin.
"Tapi kamu musti jawab chatnya R. Kalau didiemin kayak gini ... bukannya malah kamu jadi ngegantungin dia? Iya nggak sih?" Mala menggeleng tak setuju.
"Bagiku ... chat itu nggak berarti apa-apa," cibirnya dengan hati kesal.
"Itu jelas deklarasi perasaan, Nggi," sela Mala cepat.
"Perasaan apa?" ia menggerutu kesal. "Bukannya tiap kami ketemu tuh, adanya nyolot-nyolotan."
"Deklarasi perasaan paling uwu yang pernah aku tahu," Mala mengerjapkan mata takjub. "Romantis tahu nggak sih? Deep banget."
"Keuwuan yang dikirim ke berapa puluh cewek? Hayo!" ia mencibir semakin kesal.
"Tebakanku sih ... cuma dikirim buat kamu seorang," Mala mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Tapi ia mendesis tak percaya. "Nggak mungkin banget."
"Kamu ini lagi fase denial apa gimana sih?" Mala mengernyit. "Tujuan kamu cerita ke aku apa, kalau bukan buat cari solusi? Nggak mungkin cuma biar lega doang kan?"
Ia menggeleng.
"Lagian waktu diantar naik ojol, kamu sampai nangis gitu. Apa itu bukan tanda, kalau kamu sebenernya ...."
Ia menyipitkan mata menunggu kelanjutan kalimat Mala.
"Kalau sebagian dari diri kamu sebenernya udah 'ketarik' sama dia?"
"Apa sih, Mal," ia kembali mencibir. "Enggak mungkin lah aku ngeladenin cowok mesum, sengak, songong, nyebelin kayak dia."
"Eh, hati-hati kalau ngomong. Nanti jatuh cinta beneran, aku nggak tanggungjawab ya. Batas antara benci dan cinta itu tipis ... setipis dompetku kalau akhir bulan."
Ia terus saja mencibir. "Emang kamu tega, ngebiarin aku ngeladenin player macem dia? Kamu rela, aku jadi mainan cowok breggsek macem dia?!" suaranya makin meninggi.
"Ya udah ... ya udah," Mala angkat tangan. "Kalau kamu memang enggak tertarik sama sekali sama R, tinggal bilang enggak. Sorry, i can't. As simple as that. Daripada begini, jadi kayak kamu lagu ngegantungin kan?"
"Ntar aku mikir dulu, gimana cara ngomongnya," ia mengembuskan napas panjang. "Aku males banget berhubungan dengan cara apapun sama dia."
Mala menatapnya masygul dengan wajah yang tak terdefinisikan. "Terserah kamu aja deh."
Tapi, ternyata saran dari Mala justru harus dipraktekkannya dalam waktu singkat. Sebab sore hari sepulang dari kampus, ia mendapati beberapa motor asing dan sebuah mobil ... Rubicon? Yang terparkir di halaman kost. Wah, ada apa nih?
Di teras, ia melihat ada sekitar 10-15 orang yang sedang duduk melingkar. Termasuk beberapa penghuni Raudhah seperti Salsa, Naila, dan Gadiza. Tiga kating semester akhir yang sedang menyusun skripsi.
Ia bahkan hampir melompat kaget, saat melihat AjiSakti Presma, dan beberapa kating anggota BEM KM juga ada di sana. Hmm, pertemuan tingkat tinggi kah? Perasaannya mulai tak enak.
Ia berusah memelankan langkah sambil berpikir, melanjutkan langkah dan masuk ke Raudhah atau balik kanan dan pergi?
Tapi mengapa mesti balik kanan? Ini adalah tempat kostnya sendiri. Terdengar lucu jika ia takut untuk masuk ke tempat tinggalnya sendiri.
Dan yang pasti, opsi balik kanan jelas tak mungkin. Karena entah muncul dari mana, mendadak sesosok jangkung berjaket hijau telah berdiri menghalangi jalannya.
"Baru pulang?"
Ia harus menelan ludah sebelum mengangguk. Mimpi buruknya semalam kini menjadi kenyataan. Meski tanpa aparat dan kokangan senapan. Ngapain coba dia juga ada di sini?
"Bisa ngomong sebentar?"
Ia terlalu sibuk menelan ludah, sampai lupa bagaimana cara memberikan respon yang benar dan seharusnya. Yaitu langsung menolak mentah-mentah permintaan Rendra.
Tapi saat ini, ia malah tetap berdiri di sana sambil menganggukkan kepala.
Ya ampun. Bahkan dirinya sendiri pun tak bisa untuk diajak bekerja sama.
"Di dalam banyak orang, kita jalan ke depan."
As always, ucapan Rendra adalah perintah, tanpa kompromi.
Dengan diiringi tatapan aneh dari sebagian besar orang yang sedang duduk di teras, ia berjalan keluar halaman kost -terpaksa- bersama Rendra.
"Apakabar, lama nggak ketemu?"
Mereka berjalan pelan menyusuri jalanan kompleks di sore hari yang lumayan sepi. Tanpa adanya anak-anak kecil seusia TK dan SD, yang biasanya ia dapati banyak bermain di pelataran rumah.
"Baik," ia menunduk dalam-dalam sambil menekuri ujung sepatu.
"Kabarku ... nggak terlalu baik sih. Kalau kamu nanya," ada seulas senyum dalam kalimat yang diucapkan Rendra.
Dan ini membuat rasa bersalahnya kembali muncul. Apa? Tidak, tenang Anggi ... tenang ....
Langkah Rendra terhenti tepat di gerbang masuk kompleks. Kini mereka tengah berdiri di depan bangunan kecil, tempat pos jaga satpam kompleks yang kosong tidak berpenghuni.
Satpam di kompleks ini memang hanya berjaga sejak maghrib hingga subuh saja. Dan bangku panjang di depan pos satpam pastinya menjadi tujuan utama Rendra.
"Duduk di sini, nggak apa-apa kan?"
Ia memaksakan sebuah senyum sambil mengangguk.
Sekilas dari pengamatan mata yang terbatas karena harus mencuri-curi pandang, penampilan Rendra tak jauh berbeda dengan yang biasa ia lihat saat workshop dan sederet hari-hari ospek kemarin.
Hanya saja, rambut Rendra terlihat lebih panjang dan sedikit berantakan. Mungkin karena belum sempat pergi untuk memotong rambut. Sibuk berurusan dengan cewek-cewek di sekitarnya mungkin. Hmmm.
Namun yang lebih menyita perhatian adalah, ekspresi wajah Rendra yang mendung. Berbanding terbalik dengan aura sengak penuh percaya diri, yang biasa menguar mengelilingi Rendra.
"Kamu nggak pernah balas chatku."
Ini akan menjadi bagian paling menyebalkan. "Maaf."
"Belum juga maafin, sekarang malah minta maaf," Rendra tertawa kecil.
Ia harus menggigit bibir untuk meredam keresahan.
Rendra menunggunya bicara, namun ia tetap diam seribu bahasa.
Dengan suara berat, akhirnya Rendra berkata, "Jadi ... masih belum bisa maafin aku?"
Lagi-lagi ia hanya bisa menelan ludah.
"Gimana caranya ... biar kamu bisa maafin aku?"
Ia memberanikan diri menatap Rendra. Dan ini membuatnya semakin menyadari, jika aura sengak Rendra telah menurun drastis. Berganti dengan aura mendung penuh kabut, yang kini menyelimuti dua bola mata berwarna kecoklatan milik Rendra.
"Aku sengaja kasih kamu ruang dan waktu buat mikir. Biar tenang mutusinnya. Tapi kalau kelamaan kayak gini, nggak bisa juga ...." sepasang mata berkabut Rendra mendadak menghangat saat mata mereka bertabrakan. "Minimal kasih aku petunjuk biar nggak gantung."
Ia menggeleng sambil menunduk. "Saya nggak bisa."
"Hohoho ... jawabannya nggak harus sekarang juga sih," seloroh Rendra sambil tertawa. "Boleh mikir selama apapun kamu mau kok. Cuma, jangan diemin aku. Say something."
"Tapi saya udah punya jawabannya sekarang," ia bersikeras mencoba melawan tatapan mata Rendra.
"Pikirkan dulu yang matang ...."
"Saya nggak bisa ...."
"Nggak bisa apa?" Rendra menatapnya tak percaya. "Nggak bisa maafin?"
"Kalau itu ... saya sudah nggak terlalu mempermasalahkan," ia kembali menunduk. Sebab tak bisa terus melawan tatapan Rendra.
"Jadi ... nggak bisa apa?"
"Nggak bisa untuk jawaban chat yang kedua."
Rendra tersenyum simpul. "Oh, kalau yang itu nggak perlu dijawab sekarang. Aku bisa nunggu sampai kapanpun ka ...."
"Maaf, tapi saya tetep nggak bisa," potongnya cepat sebelum ia sendiri berubah pikiran. "Sorry, i can't. Just can't."
Akhirnya, ia merasa beban berat di dada luruh bersama kalimat terakhir.
Namun mendadak berubah menjadi ketidaknyamanan, begitu melihat kabut semakin tebal menghiasi wajah Rendra.
Sorry, i can't.
***
peuyeum kali ya