Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Tengah Api
Suara tembakan meledak di udara seperti kembang api yang mematikan. Leon segera merunduk, bergerak cepat ke balik kontainer terdekat. Bayangan bergerak di antara lampu pelabuhan yang padam, menandakan pasukan Arka sudah mengepung dari semua arah.
"Raka! Posisi?!" Leon berbisik agak keras ke earpiece.
Suara statis terdengar, lalu samar-samar Raka menjawab di tengah hiruk pikuk pertempuran, "Aku di sisi barat! Ada empat orang disini," suara itu terputus oleh letusan senjata lagi.
Leon menggeram. "Bertahan lah!"
Arka berdiri santai di tengah gudang terbuka, bahkan tidak berusaha berlindung. "Selalu kamu, Leon. kau selalu mau jadi penyelamat semua orang. Masalahnya, malam ini… tidak ada yang mau diselamatkan."
Leon mengangkat pistol, menembak ke arah bayangan di belakang Arka. Satu sosok tumbang, tapi tiga lainnya langsung mengisi posisi.
"Kamu pikir aku akan datang kesini tanpa persiapan?" Arka tersenyum tipis. "kau sedang berada di wilayahku sekarang Leon."
"Wilayah atau kuburan, itu tergantung aku nanti," balas Leon, lalu bergeser cepat ke sisi lain kontainer.
Di sisi barat pelabuhan
Raka terengah-engah di balik tumpukan peti. Dua pria bersenjata mendekat, kaki mereka menendang serpihan kayu di lantai pelabuhan. Raka melempar pisau lempar dari balik perlindungan. Pisau itu menancap tepat di bahu salah satu pria, membuatnya jatuh sambil menjerit.
Yang satunya menembak membabi buta ke arah Raka. Raka menunduk, lalu membalas dengan tembakan cepat, satu, dua, dan pria itu terjatuh.
"Leon!" teriak Raka lewat radio, "Aku bisa maju ke posmu dalam tiga menit!"
"Tidak," jawab Leon tegas. "Tetap di jalur, tutup sisi barat. Kalau mereka lolos, kita bisa habis."
Kembali ke Leon
Lampu pelabuhan tiba-tiba menyala kembali, menyilaukan mata nya, setelah gelap total. Leon langsung menyadari itu bukan kebetulan, Arka ingin dia terlihat jelas.
Tepat saat Leon bergerak, peluru menghujani tempat ia berdiri tadi. Percikan logam dan serpihan kayu beterbangan.
Leon berlari zig - zag, menembak sambil bergerak. Tiga orang tumbang, tapi lebih banyak lagi orang - orang Arks yang datang.
Arka melangkah mundur, masih santai. "Kamu pikir ini cuma balas dendam, Leon? Tidak. Ini adalah pembuktian. Aku akan mengambil semua yang kamu punya, mulai dari nyawa temanmu… sampai wanita itu."
Darah Leon mendidih. "jika kau menyentuh Lana, dan aku akan pastikan kamu menyesal telah hidup."
Arka tertawa kecil. "Oh, Leon. Aku tidak perlu menyentuhnya. Dia akan datang padaku sendiri… saat dia sadar kamu tidak bisa melindunginya."
Di dalam safe house, saat yang sama
Lana duduk di lantai ruang tamu, memeluk Arya yang tertidur di pangkuannya. Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu belakang.
Dia menegang. Semua orang yang tahu lokasi ini ada di pelabuhan bersama Leon.
Ketukan itu datang lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Lana mengambil pistol dari meja yang di tinggalkan Leon, Lana menatap pintu tanpa berkedip. "Siapa?" tanyanya, suaranya tegas.
Tidak ada jawaban.
Lalu, suara berderit dari jendela dapur.
Lana memindahkan Arya pelan-pelan ke sofa, lalu berjalan ke dapur. Saat dia sampai, dia melihat bayangan bergerak di luar.
Jantungnya berdegup cepat. Apakah ini orang yang Arka?
Kembali ke pelabuhan
Leon semakin terdesak. Peluru hampir mengenai kakinya, memaksa dia melompat ke belakang forklift tua. Dia memeriksa magasin, tinggal empat peluru.
"Raka bagai mana keadaan mu?" teriaknya di radio.
"Aku hampir tiba di posmu! Tapi… Leon, kita punya masalah, ada transmisi aneh dari safe house."
Jantung Leon seperti diremas. "Lana?"
"Aku nggak tahu. Sinyalnya terputus-putus."
Arka melihat reaksi Leon dan tersenyum puas. "Kamu tahu kan, aku tidak pernah bermain di satu papan catur saja?"
"Kalau kamu menyentuh mereka..."
"Aku bahkan nggak perlu menyentuh. Kadang, rasa takut cukup untuk menghancurkan orang," potong Arka dingin.
Leon tidak membuang waktu. Dia menembak ke arah Arka, memaksa pria itu mundur ke balik kontainer. Lalu, Leon buru - buru mengaktifkan saluran cadangan radio. "Lana, jawab aku!"
Hening.
Di safe house
Lana merapat ke dinding, mendengar langkah di luar. Pistol di tangannya sedikit bergetar, tapi matanya tetap fokus.
Jendela dapur tiba-tiba pecah, dan sebuah tangan masuk mencoba membuka kunci dari dalam.
BRAK! Lana menembak sekali, peluru menghantam kusen jendela hanya beberapa inci dari tangan itu. Tangan itu segera menarik diri.
Dia mendengar suara langkah cepat menjauh.
Lana mengunci semua pintu dan memeriksa Arya, yang masih tertidur meski sedikit bergerak gelisah. Napasnya belum tenang, tapi dia tahu dia tidak bisa panik, di depan anak nya.
Pelabuhan — klimaks pertempuran
Raka akhirnya muncul dari sisi barat, wajahnya berkeringat, senapan di tangan. "Sisi barat bersih!"
Leon mengangguk cepat. "Kita harus cepa selesaikan ini sekarang.”
Keduanya bergerak seperti mesin, menembak dengan koordinasi sempurna. Satu demi satu anak buah Arka tumbang.
Namun, saat Leon memutar sudut kontainer terakhir, Arka sudah tidak ada. Hanya sisa bau asap dan langkah yang menghilang di kegelapan.
"Dia kabur," kata Raka, matanya menyapu area sekitar
Leon mengetatkan rahangnya. "Dia tidak kabur. Aku curiga dia masih merencanakan permainan lain."
Kembali ke safe house, beberapa menit kemudian
Pintu depan diketuk keras.
Lana menodongkan pistol ke arah pintu. "Siapa?"
"Lana, ini aku!" suara Leon, terdengar terengah-engah.
Dia masih ragu. "Buktikan!"
"Pada malam ulang tahunmu tahun lalu, aku kasih kamu kalung perak dengan inisial ‘L’ di bagian belakang. Kamu marah karena aku taruh di gelas anggur, hampir kamu minum."
Lana segera membuka pintu. Leon masuk, langsung memeriksa Arya.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil memegang wajah Lana.
"Ada yang mencoba masuk tadi," jawab Lana. "Tapi untung nya aku bisa mengusirnya."
Leon menarik napas panjang, memeluknya erat. "Dia mulai main di wilayahku. Ini artinya kita harus memindahkan kalian sekarang."
Lana menatapnya. "Ke mana?"
Leon menatap Raka yang berdiri di belakangnya. "Tempat yang bahkan tidak ada yang tahu ada."
Malam itu
Mobil melaju cepat di jalan gelap menuju lokasi rahasia. Lana duduk di kursi belakang bersama Arya, memandang keluar jendela tanpa bicara. Leon di depan, wajahnya penuh tekad.
Di ponselnya, sebuah pesan baru masuk tanpa nomor pengirim:
*Kamu bisa berlari, Leon. Tapi apinya tidak akan pernah padam.
Leon menatap layar itu lama, sebelum mematikannya. Dia tahu satu hal, permainan baru saja dimulai.