NovelToon NovelToon
Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Romansa Fantasi / Ruang Ajaib / Epik Petualangan / Roh Supernatural / Time Travel
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nyx Author

🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”

Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.

Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.

Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.

>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”

Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.

Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?

Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.

Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.

📚 Happy reading 📚

⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

|Menjelang Akhir...

“Tanaya!”

Disana, seorang gadis 21 thun berlari kecil menghampiri temannya yang duduk santai di taman kampus, ditemani semilir angin senja yang hangat.

“Ih Tanaya, lo ke mana aja sih? Gue nyariin Lo tahu engakk dari tadi, sampe nyasar ke kelasnya kak Rafael kagak ketemu.”tukas Diva saat sudah ada di depannya.

Tanaya terkekeh kecil sambil menutup bukunya pelan.“Ngapain juga sampe nyasar ke kelasnya kak Rafael segala? Tadi gue dari perpus, terus mampir ke sini cari angin.”

Diva menjatuhkan diri duduk di sebelahnya, memelototi buku di tangan Tanaya.“Nay… kita tuh bentar lagi weekend. Lo ngapain sih masih belajar? Nih buku apaan lagi dah... Buku resep? Lo sebenarnya mau jadi chef atau calon dokter sih?”

Tanaya tertawa pelan. “Ya jadi dokter lah, buat apa coba gue ambil jurusan kedokteran kalo bukan karna itu, Gue lagi nyari resep soto Madura, kayaknya enak.”

“Kan bisa beli!”

“Tapi gue lagi pengin masak sendiri, sekalian belajar lah.”

Diva mendelik. “Lo kayak orang ngidam, tahu gak!”

Mendengar itu Tanaya menggeleng kecil sambil tersenyum, namun senyumnya langsung luntur ketika sahabat nya itu berkata.

“Eh iya… lo udah dengar kabar si Vino belum? Katanya dia mau tunangan sama Shifa. Anak jurusan Business, itooohh lhooh.”

Deg.

Tanaya mendongak perlahan, matanya menatap diva dengan ekspresi sulit ditebak. Ada sesuatu yang mengendap diam-diam di balik sorot matanya.

“Vino?” gumamnya pelan.

Diva mengangguk semangat, sambil mengunyah cokelatnya. “Iya, Vino. Anak pemilik kampus ini. Duh Nay, masa lo enggak tahu? Padahal dia tuh seleb kampus. Banyak mahasiswi yang patah hati denger kabarnya dia mau tunangan sama si Shifa-shifa itu.”

Tanaya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya bertanya pelan, “Dia mau tunangan… kapan?”

“3 minggu lagi katanya. Makanya belakangan ini dia jarang banget update story IG nya. Mungkin lagi sibuk persiapan.”

Diva mengulurkan cokelat ke Tanaya—menawar, tapi Tanaya hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Ia perlahan memasukkan bukunya ke dalam tas.

“Udah sore, yuk pulang,” ucapnya ringan, namun nada suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Oh iya, yaudah yuk.”

Diva segera berdiri setelah menatap langit sambil membuang bungkus cokelat ke tempat sampah. Ia meraih lengan Tanaya dan menggandengnya penuh semangat.

“Nay, nanti kalau sotonya udah jadi, bagi gue ya!”

“Iyaaa… nanti gue kirim langsung ke rumah lo!”

“Sekalian nitip seblak boleh nggak?”

“Dih, gelunjak lo!”

Mereka pun tertawa, tapi diantara mereka hanya satu dari mereka yang menyembunyikan rasa perih di balik tawa sore itu.

...~~~...

Malam pun tiba...

Langit Jakarta bergemuruh ringan dengan hujan deras yang mengguyur ibu kota tanpa henti, menambah kelamnya malam yang sudah dipenuhi awan tebal.

Suara gemericik hujan perlahan menabrak kaca jendela di rumah sederhana milik Tanaya, menciptakan irama dingin yang menyusup ke setiap celah ruangan.

Di sana, Tanaya duduk seorang diri di atas sofa. Rambutnya yang tergerai sedikit berantakan, tubuhnya hanya dibalut pakaian santai. Sedangkan di pangkuannya, laptop menyala menampilkan dokumen skripsi nya yang hampir selesai. Ia menyeruput jus alpukat dari gelas plastik, mencoba menahan kantuk yang datang bersama dinginnya malam.

Sendiri. Seperti biasanya.

Sejak usia sembilan tahun, Tanaya telah hidup tanpa kedua orang tuanya. Kehidupannya membuat tumbuh dewasa itu terlalu cepat.

Kini, di usia dua puluh satu tahun ia hampir menyelesaikan akhir semester nya, seraya bertahan hidup dengan bekerja paruh waktu di restoran mewah, berjuang agar bisa terus kuliah dan tetap hidup layak di kota yang tak pernah tidur ini.

Namun malam ini, tubuhnya tiba-tiba bereaksi.

Glekkk...

Perutnya seperti terpelintir, dan detik berikutnya rasa mual hebat menyerang. Tanaya spontan menyingkirkan laptopnya dan berlari ke kamar mandi.

"Huekk... Huekkk!"

Suara muntah terdengar keras, menggema di dalam kamar mandi sempit itu. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, napasnya terengah. Ia buru-buru membasuh mulut dan wajahnya di wastafel, lalu menatap cermin. Bayangannya sendiri seperti orang asing—pucat, lelah, dan tampak rapuh.

"Gue mual lagi... ini udah yang ketiga kalinya dalam minggu ini..." lirihnya nyaris tak terdengar.

Ia menggeleng cepat, menolak membiarkan pikirannya mengambil alih. Tapi bayangan itu terus menghantui. Tangannya gemetar, ia kembali ke kamar dan menarik kalender kecil dari laci meja. Di sana, dengan stabilo pink, ia selalu mencatat siklus bulannya.

"18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25... Ya Tuhan gue telat lebih dua Minggu."lirihnya membekap mulutnya syok. Airmatanya mulai menggenang dengan pikiran yang mulai tak tenang.

"Enggak! Ini pasti salah... mungkin karena gue lagi capek... mungkin karena stres... Gue harus pastiin dulu!"

Tanaya langsung cepat-cepat beranjak dari kamarnya, mengambil payung dan jaket yang ada dengan masker guna menutupi wajahnya. Saat ia hendak berangkat, tiba-tiba telfon di sakunya berdering membuat ia berhenti sejenak.

~Vino is calling...

Nama itu terpampang jelas di layar ponsel. Tanaya terdiam. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya sebelum akhirnya mendecak lirih.

Sudah beberapa hari ini ia mencoba menjauh, menghindari segala bentuk komunikasi dengan pria itu. Bukan karena apa, tapi justru karena tidak ingin terlalu berharap—dan tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah cukup.

Vino, pria yang telah menemaninya sejak SMA. Enam tahun mereka bersama, berbagi tawa dan tangis, sambil membangun mimpi masa depan. Tapi kini, mimpi itu seketika runtuh, dihancurkan oleh kenyataan pahit. Vino akan bertunangan dengan Shifa, gadis dari keluarga terpandang, pilihan orang tuanya.

Tanaya memejamkan matanya, menahan perih yang menyeruak diam-diam. Air matanya jatuh sekali lagi, menelusuri pipinya yang dingin.

Dengan cepat ia segera menghapusnya, lalu jarinya dengan gemetar menekan tombol merah di layar ponsel membuat panggilan itu berakhir dalam sekejap. Begitu pula dengan hubungan mereka—setidaknya di mata dunia mereka tidak akan bersama lagi.

Ia kembali melanjutkan langkahnya keluar. Hujan deras masih mengguyur jalanan Ibu Kota, membasahi trotoar dan menyisakan genangan air di mana-mana. Payungnya terbuka, dan tubuh Tanaya terbungkus jaket yang tak cukup menghangatkan hatinya yang membeku.

Tanaya melangkah cepat, menyusuri jalanan becek menuju apotek terdekat. Angin malam langsung menembus wajah cantiknya tanpa poles, seraya masuk ke sela-sela jaket tipis yang menusuk tulang. Tapi ia tak peduli. Yang memenuhi pikirannya hanya satu yaitu:

Kepastian.

Sesampainya di apotek, Tanaya masuk dengan langkah ragu. Matanya menyapu ruangan yang cukup ramai. Ia mendekat ke salah satu petugas perempuan di belakang etalase.

"Maaf, mbak… emm… di sini ada testpack, nggak?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Petugas apotek menatap Tanaya sejenak, lalu mengangguk pelan seakan mengerti.

"Ada, Mbak. Mau yang biasa atau yang bisa dipakai kapan aja, termasuk malam hari?"

Tanaya sempat terdiam, seakan menimbang-nimbang sesuatu dalam hati yang masih penuh kecemasan.

"Yang bisa dipakai malam aja, Mbak," jawabnya cepat, suaranya nyaris tak terdengar.

Petugas itu mengangguk lalu menyerahkan kotak kecil berwarna putih dan biru."Ini yang paling akurat dan bisa langsung dipakai sekarang juga."

Tanaya membayar dengan cepat lalu menoleh ke sekitar, matanya mencari sesuatu.

"Maaf, Mbak… di sini ada toilet umum, nggak?" tanyanya dengan nada cemas.

"Di belakang, sebelah kanan. Lewat rak obat batuk ya mbak." jawab petugas itu ramah.

Tanaya mengangguk singkat dan langsung melangkah cepat menuju arah yang ditunjukkan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tangannya menggenggam erat testpack itu seakan benda kecil itu bisa menjatuhkannya kapan saja.

Toilet itu sepi. Ia mendorong pintu salah satu bilik kosong dan menguncinya dari dalam. Suara hujan samar-samar masih terdengar dari luar, seakan ikut menyaksikan detik-detik yang bisa mengubah seluruh hidupnya.

Dengan tangan gemetar, Tanaya membuka bungkus testpack, membaca instruksi sekilas, lalu melakukan tes itu. Ia duduk di tutup kloset, menunggu dalam diam. Lima menit terasa seperti seumur hidup.

Detik-detik berlalu dan tak lama hasilnya pun muncul.

Deg!

Dua garis merah tentara disana, tegas, dan nyata.

Tanaya yang melihat itu sontak terdiam membeku, napasnya tertahan di tenggorokan. Dunianya seakan berhenti berputar hingga tanpa sadar tangannya melemas dan testpack itu pun hampir terjatuh dari genggamannya. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai yang dingin, bersandar pada dinding bilik dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia menutup mulutnya rapat-rapat agar isakannya tidak terdengar. Tapi airmata itu tetap jatuh. Hening, dan menyakitkan. Pandangannya kabur oleh genangan air mata. Napasnya terasa sesak, seolah paru-parunya menolak bekerja.

"Enggak... ini enggak mungkin..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara—frustasi.

Ia hanya bisa menunduk dalam diam, menggenggam perutnya yang masih datar—namun kini menyimpan rahasia besar. Sebuah kehidupan kecil yang mungkin tak diinginkan, namun nyata adanya.

Drrrrt... Drrrrrrtttt...

Tak lama sebuah dering handphone terdengar di balik sakunya. Tanaya masih terduduk lemah di lantai toilet, tubuhnya lunglai seolah tak punya daya untuk berdiri. Ia tersentak pelan, lalu merogoh saku jaket dengan gerakan lamban. Layarnya menyala.

~Vino is calling...

Nama itu muncul lagi. Terang, jelas, dan menusuk benaknya yang gelap. Tanaya hanya menatap layar itu, membiarkan jari-jarinya menggantung di udara—Ragu. Tersesat di antara harapan dan kenyataan.

"Kenapa baru sekarang, Vin...?" bisiknya terisak pelan.

Pandangannya perlahan bergeser ke testpack yang tergeletak di lantai dan garis di sana tak bisa diingkari.

Ini bukan mimpi, bukan juga sekadar kekhawatiran yang bisa disangkal. Itu kenyataan—dan kenyataan itu sudah hidup di dalam dirinya.

Seketika perutnya terasa nyeri. Bukan dari tubuhnya, tapi lagi-lagi dari luka yang menganga di hatinya. Luka karena dilema yang membunuhnya perlahan.

Kehidupan kecil itu... darahnya dan Vino.

Namun... Apa ia berhak mengatakannya?

Apa ia pantas merusak jalan hidup pria itu, yang sebentar lagi akan bertunangan dengan gadis pilihan keluarganya? Gadis yang sederajat, yang sempurna, yang diterima.

Bukan dirinya!!

Memikirkan itu, Tanaya menggeleng pelan. Mata beningnya sudah banjir basah, berkabut oleh rasa takut dan tak berdaya.

“Gue gak mau jadi pengganggu… Gue gak mau jadi alasan dia dibenci keluarganya lagi…” isaknya gemetar, karna ia tahu bagaimana kehidupan pria itu.

Tangisnya kembali tertahan, tapi tubuhnya menggigil menahan gejolak yang tak mampu ia redam.

"Gue harus apa..."tukasnya putus asa.

Dengan tangan gemetar, ia kembali menekan tombol merah di layar. Panggilan itu pun akhirnya terputus begitu saja.

Kesunyian kembali menyelimuti ruang kecil itu. Tapi di dalam hati Tanaya, badai baru saja dimulai—dan kali ini, tak ada tempat untuk berlindung.

...~~~...

"Shit! Bangs*t!! Tanaya!"

Disana, suara seorang pemuda pecah dalam gumaman penuh amarah, nyaris seperti bisikan setan yang meledak di antara ruang mahal mobilnya. Kepalanya bersandar di kursi, napasnya berat, penuh desakan emosi yang tak tertampung.

Tangannya menggenggam erat ponsel erat-erat, nyaris ingin melemparnya. Sedangkan satu tangannya lagi mencengkeram rambutnya, memijit pelipis yang berdenyut hebat karena pikirannya terasa seperti medan perang.

"Vin, lo kenapa sih... dari tadi ngedumel gak jelas. PMS lo kambuh?"Ujar pemuda satunya yang duduk di jok depan.

Dia—Gio mencoba mencairkan suasana dengan tawa tipis, tapi suaranya tak cukup kuat untuk meredakan badai di dalam mobil. Matanya tetap fokus pada jalan yang dibasahi hujan, tapi ekornya terus memantau raut Vino yang jelas-jelas sedang porak-poranda.

Vino hanya menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti langit mendung di atas kota Jakarta yang kini ditelan hujan deras. Matanya memerah, bukan hanya karena amarah—tapi karena lelah.

Lelah menyimpan semuanya sendiri.

Andre, dari kursi depan, sempat meliriknya sekilas sebelum kembali ke layar di ponselnya, tapi lidahnya tetap bergerak.

"Lo sih vin. Masih cinta tapi lo malah tinggalin. Besok-besok lo cuma bisa nyesel sambil mabuk di nikahan dia. Dengerin gue, enggak semua cewek itu matanya buta sama harta dan kedudukan—"

"Lo bisa diem gak, Dre?!"Teriakan Vino membelah udara. "Gue enggak butuh ceramah lo! Gue butuh solusi! Jalan keluar! Bukan ocehan omong kosong kayak gitu!"

Andre sontak menelan ludahnya kasar, lalu terdiam dengan bahu menegang. Gio menghela napasnya panjang, lalu berkata pelan.

"Lo bilang lo cinta... tapi lo biarin dia pergi. Lo lebih takut sama keluarga lo daripada kehilangan cewek yang lo sayangin segitu dalemnya? Jangan bodoh vin, kalo Lo enggak mau bernasib sama kayak gue..."

Diam. Sejenak Vino tidak menjawab. Tapi tiba-tiba, dia menghantam dashboard dengan keras.

Brak!

"GUE SUDAH PERJUANGIN DIA, BANGSAT!"Teriak Vino, Suaranya nyaris seperti raungan binatang terluka dengan nafas memburu.

"Gue udah lawan bokap nyokap gue. Gue bahkan udah bilang gue gak mau tunangan sama Shifa. Tapi enggak ada yang dengerin gue! Karna keluarganya Shifa bakal ngancam bakal batalin proyek perusahaan keluarga gue. Shifa—cewek manipulatif itu nangis-nangis depan nyokap gue, bilang dia bisa mati kapan aja kalau gue ninggalin dia! Shit!!"

Tangannya kembali memukul dasboard, ia berdecak keras sambil bersandar frustasi di dekat jendela.

"Lo tahu rasanya dipaksa jadi pahlawan buat orang yang bahkan gak lo cintai? Gue dijebak. Ditodong rasa kasihan. Dipaksa milih orang yang pake penyakit buat ngikat gue!"

Vino terdiam sejenak, suaranya merendah dan bergetar."Gue... capek. Capek jadi anak baik. Capek harus ngalah terus sama keadaan keluarga gue. Kalian enggak tahu gimana rasanya jadi gua!."

Ia menggenggam ponselnya kembali. Layarnya gelap."Dan Tanaya... dia malah ngejauh. Dia matiin panggilan gue berkali-kali. Gue udah coba temuin dia tapi dia malah menghindar dan pergi gitu aja."lirihnya—frustasi.

Gio merapatkan bibirnya ia menoleh sekilas, tatapannya melembut."Mungkin dia ngerasa lo ninggalin dia duluan, Vin. Biasanya cewek lebih sensitif, mungkin dia tahu kalo Lo mau di jodohin. Makanya Tanaya memilih buat menjauh dari lo, berhubung kan keluarga Lo juga enggak suka sama Tanaya. Jadi apa lagi yang di harepin."ujarnya santai.

Mendengar itu, Vino menutup matanya rapat-rapat. Hujan menetes deras di luar jendela, tapi tangis yang lebih deras sedang membanjiri dadanya.

"Gue pengen tarik semua waktu yang udah gue sia-siain. Gue pengen bilang ke Tanaya kalau... dia satu-satunya alasan gue pengen bertahan di hidup ini. Tapi sekarang..."

"... Semuanya seakan terlambat bagi gue."lirihnya tertahan, sekarang ada ribuan beban yang ada di hatinya.

Hening.

Tak ada yang berani bicara. Mobil melaju pelan di bawah guyuran hujan, membawa tiga pemuda yang terdiam dalam badai luka, cinta yang hilang, dan keputusan yang menghancurkan segalanya.

Gio menatap Vino lagi lewat kaca spion, wajahnya mulai berubah serius. Ada rasa kasihan, juga bingung. Namun saat itu juga, dari kejauhan, samar-samar muncul siluet seorang gadis yang tengah berjalan pelan di tengah jalan raya dengan membawa payung biru navy di tangannya. Matanya kosong—melamun. Seolah dunianya telah hampa hingga tak menyadari jika sebuah mobil tertuju ke arahnya.

“WOY GIOOOO!! DEPAN LO!!!”

Andre sontak menjerit panik membuat Gio langsung tersentak dan mendadak menginjak rem sekuat tenaga.

Suara decitan ban keras seketika menyeret di aspal basah—nyaring. Mobil oleng, jalanan licin sebab hujan tapi semua nya terlambat...

BRAAAKKK!!!

Tubuh gadis itu akhirnya tetap tertabrak dan terpental jauh. Payungnya terlempar, terombang di udara dan perlahan jatuh di samping trotoar. Dentuman itu menggema—lalu mendadak hening. Hujan tetap turun, seolah tak peduli pada tragedi yang baru saja terjadi.

“YO BROO!!! WHAT THE F*CK!! KITA NABRAK ORANG COK!!!”

Andre langsung panik, napasnya memburu. Tangannya gemetar, matanya tak lepas dari jalanan. Sedang gio terdiam—syok. Mukanya pucat Pasih. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya meski udara sedingin es.

“Kita… Kita harus cabut. Sekarang!” ucap Gio tergesa, tangannya hendak menarik tuas persneling.

“Tunggu…”

Satu kata lirih namun penuh tekanan keluar dari bibir Vino membuat Gio dan Andre sontak menoleh kearahnya.

Tatapan Vino membeku. Matanya terpaku pada payung biru navy yang tergeletak tak jauh dari mobil. Matanya membesar, napasnya tercekat.

“Payung itu… Gue kenal…” bisiknya, jantungnya mulai berdetak kencang—tak beres.

“VIN! Lo jangan gila! Mumpung sepi, kita bisa lari dari sini kala—VINO!!!”

Gio mengumpat tertahan saat lelaki itu langsung membuka pintu mobil dan berlari dalam hujan. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak tak beraturan, seolah tubuhnya tahu sebelum pikirannya sempat memproses.

Di sana…

Tubuh seorang gadis tergeletak di tengah jalanan basah. Darah mengalir dari kepalanya, menyatu dengan derasnya hujan. Jaket abu-abu menutupi tubuh ringkih itu, bersimbah darah, rambutnya yang dikuncir kini terlepas sebagian, menempel di wajahnya dengan penuh luka.

Vino sontak berhenti di tempat. Matanya yang melihat itu seketika terpaku bersamaan dunianya yang ikut berhenti.

“Tanaya…”

Dia berbisik tak percaya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali hujan.

“TANAYAAAA!!!”

Setelah memastikan sejanak, pemuda itu langsung segera berlari kencang menuju tempat gadisnya, tubuhnya seketika berlutut, dan memeluk tubuh gadis itu yang sudah dingin. Ia memeluk erat, mengguncang pelan.

“Sayang… bangun… Lo bercanda kan? Buka mata Lo nay... BUKA MATA LO!!”

Suara Vino pecah menembus hujan dan malam. Tangisnya meledak, saat yang ia lihat benar-benar sosok yang dicintai nya.

“Enggak! Enggak! Lo enggak boleh ninggalin gue! Maafin gue... maaf... GIO, ANDRE CEPAT PANGGIL AMBULANCE SEKARANGG!!"

Vino berteriak lantang. Tubuhnya basah di guyur hujan deras sambil menekan tubuh gadis nya memeluknya seakan tak ingin kehilangan.

Gio yang melihat itu di dalam mobil sontak menelfon ambulance, tangannya gemetar dengan Andre yang mengumpat lirih menelungsupkan kepalanya di dasbor.

"Sayang... Nay gue mohon kalo Lo marah sama gue, Lo bisa pukul gue, Lo bisa maki gue tapi sekarang jangan kayak gini yah please! Becanda Lo kelewatan tahu enggak?!"

Vino terisak histeris, tangannya yang gemetar menyatu dengan darah mengelus lembut wajah cantik itu—sayang.

"Kita belum selesai nay! Gue masih mau bahagiain lo! Gue masih mau lawan semuanya demi kita! Kita bangun mimpinya lagi sama-sama yah! Ayo bangun Nay.... Buka mata Lo, Jangan buat gue takut... Please bangun sayang, BANGUN TANAYA!!”

Namun tubuh Tanaya tak bergerak. Darah di kepalanya terus keluar, tangannya mendingin bahkan detak jantung dari gadis itu hampir tak terasa membuat vino semakin histeris seperti orang gila. Lalu tak lama tiba-tiba matanya menangkap sesuatu pada benda asing yang digenggam erat oleh Tanaya.

Melihat itu, dunia Vino seketika kembali runtuh total. Dia tercekat. Nafasnya tersengal dengan tatapan lebih dalam.

Itu sebuah testpack.

Dua garis merah terpampang di matanya—Tegas menyala di tengah keputusasaan diiringi hujan deras.

“Shit! L-lo hamil…? Tanaya… itu anak guekan? Anak kita kan…?”

Suara Vino tak lebih dari bisikan patah. Seluruh tubuhnya semakin menggigil. Ia peluk Tanaya erat seolah bisa menghidupkannya kembali sambil meraih benda kecil itu.

ARGGGHHHHHHH SIALAN!!

“No please! Enggak!! Kenapa Lo enggak ngomong sama gue! Kenapa LO ENGGAK NGOMONG SAMA GUE HAH!!"Teriaknya lagi dengan rahang mengeras.

"Gue gagal… gue gagal jadi laki-laki yang bisa lindungin lo nay… Bahkan gue gagal buat jadi ayah buat anak kita hiks… Sialan lo Vin!!"Umpatnya pada diri sendiri."Please jangan giniin gue nay...”

Andre dan Gio hanya berdiri membeku di belakang, tak mampu berkata apapun. Hujan semakin deras. Jalanan seamakin sepi. Hanya tangisan Vino dan rintik hujan yang terdengar.

Malam itu, langit ikut menangis.

Seorang kekasih kehilangan cinta dan anaknya—dalam satu hentakan takdir yang menyakitkan.

---

“Dan mungkin… tak semua orang berakhir dengan bahagia. Ada yang ditakdirkan hanya untuk saling mencintai… lalu saling kehilangan.”

Tamat.

1
Angela
lanjut thor
Lala Kusumah
double up dong Thor, ceritanya tambah seruuuuu nih 🙏🙏👍👍
Yani
update lagi Thorr, semangat 💪🙏🙏
Musdalifa Ifa
rua lelaki kurang ajar ih dasar lelaki brengsek😤😤😤😠😠😠
Lala Kusumah
Naya hati-hati sama buaya darat 🙏🙏🙏
anna
❤❤👍🙏🙏
Andira Rahmawati
dasar laki2 munafik..naya harus lebih kuat..harus pandai bela diri..knp tadi naya tdk msk ke ruang rahasianya saja..
Yani
aku mau izin masuk grup dong Thorr, sdh aku klik tapi gak ada ya lanjutannya. apa belum di accept ya🥰🥰🙏
📚Nyxaleth🔮: Maaf kak... ceritanya error enggak bisa di masukin di grub. Aku udah up disini kok, bentar lagi muncul. kata-kata nya udah AQ perbaiki. makasih udah nunggu🙏❤️
total 1 replies
Yani
ayok lanjut Thorr crita nya
Angela
yah cuman 1 eps , kurang banyak thor kalau bisa 2 eps
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
lanjut kak
Angela
lanjut thor,aku suka ceritanya😍
RaMna Hanyonggun Isj
sedikit sekali update x sekali update x 50 ep kha
Lala Kusumah
Naya emang hebaaaaaatt baik hati dan tidak sombong 👍👍👍😍😍
Muhammad Nasir Pulu
lanjut thorr..baru kali ini dapat cerita yg menarik, bagus dan ini kali pertama selama baca novel baru ku tinggalkan jejak
Andira Rahmawati
lanjut..thor...
Musdalifa Ifa
wah bagus sekali Tanaya pengetahuan dunia modern bisa menjadi solusi untuk hidup lebih baik di dunia kuno
Lala Kusumah
makasih double updatenya ya 🙏🙏🙏
anna
🙏❤👍
Rena🐹
itu kan ada mobil kenapa kagak di pakee/Frown/

tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh
📚Nyxaleth🔮: /Curse/ Astaga kak, enggak ekspek bakal ada yang komen gini. tapi iya juga sih🤭🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!