"KENAPA HARUS AKU SATU-SATUNYA YANG TERLUKA?" teriak Soo, menatap wajah ibunya yang berdiri di hadapannya.
*********************
Dua saudara kembar. Dunia dunia yang bertolak belakang.
Satu terlahir untuk menyembuhkan.
Satu dibentuk untuk membunuh.
*********************
Soo dan Joon adalah saudara kembar yang dipisahkan sejak bayi.
Soo diculik oleh boss mafia Korea bernama Kim.
***********************
Kim membesarkan Soo dengan kekerasan. Membentuknya menjadi seorang yang keras. Menjadikannya peluru hidup. Untuk melakukan pekerjaan kotornya dan membalaskan dendamnya pada Detektif Jang dan Li ayah mereka.
Sementara Joon tumbuh dengan baik, kedua orangtuanya begitu mencintainya.
Bagaimanakah ceritanya? Berhasilkah Soo diterima kembali di keluarga yang selama ini dia rindukan?
***********************
"PELURU" adalah kisah tentang nasib yang kejam, cinta dan balas dendam yang tak pernah benar benar membawa kemenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KEZHIA ZHOU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TITIK TERANG PENCARIAN SOO
Detektif Jang masih terpaku di depan layar, kedua matanya terus menelusuri berkas demi berkas yang mungkin mengarah pada identitas pria bernama Soo. Setiap kali nama itu muncul di pikirannya, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
“Dia ada di pelelangan Busan… itu artinya dia bukan orang sembarangan,” gumam Jang lirih, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.
“Kalau begitu, kemungkinan besar dia seorang mafia. Tapi… bagaimana mungkin wajahnya bisa sedemikian mirip dengan Joon?”
Pertanyaan itu membuat kepala Jang terasa berat. Pikiran-pikirannya berkelebat, satu tersambung ke yang lain, sampai akhirnya sebuah ingatan muncul dan menghantamnya tanpa peringatan.
Pria bernama Choi.
Kasus kelam yang pernah dia tangani—istri dan dua anak Choi yang ditemukan tewas mengenaskan. Dan pria itu… histeris, meraung, menuding Joon tanpa alasan yang terlihat jelas.
"Dia… diaaaaa… dia yang menghabisi anak dan isterikuuuu… DIIAAAAA!"
Gema suara itu terasa begitu nyata hingga membuat Jang menghentikan ketikannya. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat jelas bagaimana Choi bereaksi saat melihat Joon pertama kali—bukan sekadar terkejut, tapi panik, marah, seolah melihat hantu masa lalunya.
“Kenapa Choi langsung bereaksi seperti itu? Bahkan dia menuduh Joon sebagai penyebab kematian keluarganya? Apa yang sebenarnya dia lihat…?” bisiknya, penuh keraguan dan rasa curiga yang semakin menumpuk.
Pagi sudah merayap masuk. Angka digital di pojok layar komputer menunjukkan pukul 05.30. Namun Jang belum sedikit pun bergerak dari kursinya. Matanya memerah, tetapi pikirannya tetap menyala.
“Ada yang tidak beres… aku yakin itu.”
Ia bersandar ke kursi, menatap langit-langit ruangan sambil mencoba menyusun potongan teka-teki yang tercecer. Lalu satu ingatan lain menyusup masuk—kabar kematian Choi, sehari setelah dibawa ke rumah sakit. Gagal jantung, begitu diagnosis akhirnya. Terlalu tiba-tiba. Terlalu kebetulan.
“Apakah itu ada hubungannya dengan pria yang wajahnya sama persis dengan Joon?” gumamnya.
Tangannya mengepal. Ketegangan menghiasi garis wajahnya.
“CCTV ruangan Choi rusak… dan area sekitar juga…” suaranya mengecil, namun matanya perlahan membesar seakan menemukan celah yang selama ini terlewat.
Tiba-tiba Jang menegakkan tubuhnya, napasnya terhenti sejenak. Ia bangkit tergesa-gesa, meraih jaket, mematikan komputer, lalu keluar ruangan dengan langkah cepat.
“Selamat pagi pak Jang,” sapa seseorang yang berpapasan dengannya.
Jang hanya mengangguk singkat, lebih sibuk dengan pikirannya dibanding sapaan itu. Dia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan langsung melajukan kendaraan dengan kecepatan yang tidak biasa.
Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti di parkiran Rumah Sakit tempat Choi dirawat sebelum meninggal. Jang turun, menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut bangunan dengan cermat. Matanya berhenti pada deretan CCTV yang terpasang di sana.
Jika rekaman di dalam rusak, mungkin area luar tidak.
Dengan langkah mantap, ia memasuki koridor rumah sakit, melewati beberapa lorong hingga berhenti di depan ruangan khusus pemantauan CCTV.
“Detektif Jang. Ada yang bisa kami bantu?” suara seseorang terdengar dari belakang.
Jang menoleh. Di hadapannya berdiri salah satu staf keamanan rumah sakit, orang yang biasa memantau rekaman.
“Aku ingin mencari seseorang melalui rekaman CCTV,” ucap Jang singkat dan tegas.
“Aku butuh akses.”
Pria itu mengangguk sopan.
“Baiklah. Mari masuk.”
Ia membuka pintu, mempersilakan Jang untuk melangkah ke dalam. Dan begitu pintu itu tertutup, Jang tahu—apa pun yang ia temukan setelah ini, hidup mereka bertiga—dia, Joon, dan Soo—tidak akan pernah sama lagi.
Jang menyebutkan tanggal kejadian saat Choi tewas.
“Mungkin sekitar pukul 10 pagi hingga pukul 1 siang,” lanjutnya dengan nada serius.
Tanpa menunda, pria yang bersamanya langsung membuka rekaman CCTV parkiran mobil pada tanggal dan jam tersebut. Jang mencondongkan tubuhnya, matanya menelusuri setiap sudut kamera, memperhatikan pergerakan kendaraan dan orang-orang yang terekam.
Hingga akhirnya, layar menampilkan sosok pria yang keluar dari sebuah mobil hitam. Seluruh tubuhnya dibungkus pakaian gelap—baju hitam, jaket bertudung yang ditarik cukup rendah. Gerakannya tenang, seolah tidak terburu-buru. Saat pria itu melangkah keluar dan menutup pintu mobil, detektif Jang menajamkan pandangannya.
Postur tubuh itu… terlalu familiar. Dan ketika lelaki itu mendongak sedikit, wajahnya tertangkap jelas oleh kamera pintu masuk basement.
DEG!!
Jang terhenyak. Untuk kedua kalinya ia melihat wajah yang nyaris identik dengan Joon. Perbedaannya hanya pada rambut pria itu: lebih berantakan, tidak setertib Joon yang selalu tampil rapi.
“Tunggu sebentar, aku akan mencatat nomor mobil pria itu,” ujar detektif Jang cepat.
Dengan sigap ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik nomor kendaraan milik Soo yang baru saja terlihat di layar.
Setelah itu, Jang meminta rekaman CCTV tersebut.
“Baiklah,” jawab pria itu sambil mengangguk. Ia segera menyalin data rekaman dan menyerahkannya kepada detektif Jang.
Pada waktu yang sama, Li baru tiba di kantor. Ia berjalan menyusuri koridor sambil menoleh ke berbagai arah, mencari sosok sahabatnya. Namun ruang demi ruang yang ia lewati tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Jang.
“Apakah kalian tahu di mana detektif Jang? Aku sejak tadi tidak melihatnya,” tanya Li kepada beberapa rekan yang ditemuinya.
“Wah, aku juga tidak melihatnya,” jawab salah satu dari mereka sambil menggeleng.
Li melanjutkan langkahnya, hingga ia melihat seorang pria yang berada tak jauh dari ruang kerja Jang.
“Hei, apakah kamu melihat detektif Jang?” tanya Li.
Pria itu mengangguk pelan.
“Semalam dia tidak tidur. Sepertinya menghabiskan malam di depan komputer. Pagi-pagi sekali dia sudah pergi, tapi aku tidak tahu ke mana.”
Li menepuk bahu pria itu sebagai ucapan terima kasih, lalu mengangguk dan berjalan masuk ke ruangannya sendiri. Begitu duduk di kursi, ia menyalakan komputer, menarik napas, lalu meraih ponselnya dari saku celana. Tanpa menunggu, ia langsung mengirim pesan untuk sahabatnya yang sejak pagi menghilang tanpa jejak.
Pesan dari Li muncul di layar ponsel, nada cerianya hampir terdengar hanya dari rangkaian teks.
[Hei kawan, sedang dimana? Mengapa tidak mengajak ku?]
Li mengirimnya dengan santai, namun detektif Jang membalasnya tidak lama kemudian. Begitu ponsel bergetar, Li langsung membuka layarnya.
[Aku sedang mencari tau tentang seseorang. Tenanglah kawan.. jika semua sudah terbukti aku akan mengatakannya kepadamu]
Di sisi lain kota, detektif Jang sudah berada di dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin, tetapi tidak langsung berangkat. Sebaliknya, ia meraih ponselnya dan menekan satu nomor—bawahannya di kantor.
“Halo…” ujarnya, suaranya rendah namun tegang.
“Aku barusaja mengirimi mu pesan, tolong carikan plat nomor itu, terdaftar atas nama siapa dan dimana alamatnya. Berikan data orang itu secepat mungkin. Dan tolong rahasiakan ini dari Li,” perintahnya, tegas tanpa ruang untuk pertanyaan.
Begitu panggilan berakhir, Jang menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas panjang. Ia memutar ulang rekaman CCTV yang tadi ia lihat—sosok bertudung itu, langkahnya, wajahnya yang muncul sekilas, sangat mirip…
“Dia benar benar sama persis dengan Joon,” gumamnya pelan, hampir tidak percaya mendengar suaranya sendiri.
Tak lama, ponselnya kembali bergetar.
DDRRTT..!
DDRRTT..!
Jang segera membukanya.
[Terdaftar dengan nama : Park.
Beralamat di ‘Jalan Myeongdong 88, Distrik Gangnam, Seoul, Korea Selatan’]
“PARK?”
Jang mengulang lirih, seolah nama itu membawa bobot yang tiba-tiba menekan udara di dalam mobilnya.
Dadanya mengeras—intuisi lamanya mulai berputar, menyusun teka-teki baru yang tampak lebih rumit dari dugaan awalnya.