Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29
✨ Versi Revisi:
***
Pagi itu, di tempat lain…
Faizan baru saja tiba di kantornya. Jas hitamnya terpasang sempurna, rambutnya tersisir rapi, tapi guratan lelah masih terlihat samar di wajahnya. Hari-harinya belakangan ini terasa berat—urusan kantor menumpuk, sementara hatinya sendiri tidak pernah benar-benar tenang.
Begitu melangkah melewati lobi, beberapa karyawan menyapa dengan ramah.
“Selamat pagi, Pak Faizan.”
Ia membalas hanya dengan anggukan ringan dan senyum tipis, langkahnya tenang menuju lift. Ia memang selalu begitu—tenang di luar, tapi di balik ketenangan itu ada badai yang ia sembunyikan sendiri.
Pikirannya penuh daftar pekerjaan: rapat pagi, laporan keuangan, dan janji temu penting. Namun, di sela-sela tumpukan jadwal itu, terselip satu nama yang tak bisa dihapus—Alea.
Entah kenapa, setiap pagi terasa lebih sepi sejak kepergian gadis itu.
_-_-_
Sementara itu, di desa…
Alea pagi ini ikut Tante Mira ke pasar. Udara pagi masih sejuk, sinar matahari menembus celah dedaunan, menimbulkan bayangan bergerak di jalan tanah.
Aroma rempah dan sayur-mayur memenuhi udara. Alea mengenakan blouse biru muda, rambutnya diikat sederhana, membuat wajahnya tampak segar alami.
“Lea, ayo sini. Tante kenalin sama teman-teman Tante di pasar. Mereka pasti penasaran sama kamu,” ujar Tante Mira sambil tersenyum lebar.
Alea hanya mengangguk, membantu membawa keranjang belanja. Saat sampai di pasar, suasananya begitu hidup. Pedagang saling berteriak menawarkan dagangan, tawa dan sapaan terdengar bersahut-sahutan.
“Lho, Bu Mira! Wah, bawa ponakan, ya?” sapa seorang ibu penjual sayur.
“Iya, ini Alea. Anak kota, sekarang tinggal di rumahku,” jawab Tante Mira ringan.
Alea tersenyum malu, menunduk sopan. Satu per satu pedagang menyapa—ada Bu Wati penjual tempe, Pak Hasan si tukang ayam, dan Mbah Darmi yang menjual bunga di sudut pasar.
Suasana itu sederhana, tapi hangat. Berbeda jauh dari hiruk pikuk kota, dari rumah megah yang kini hanya menyisakan sepi.
“Cantik banget, Mbak Alea. Hati-hati, nanti banyak yang naksir,” celetuk seorang pemuda penjual buah, membuat tawa riuh pecah di sekitar mereka.
Pipi Alea memerah, namun senyum tipis muncul di bibirnya. Untuk pertama kali sejak lama, hatinya terasa ringan.
_-_-_-
Sementara itu, di Jakarta…
Rumah besar itu kini seperti kehilangan nyawanya.
Langkah-langkah kaki yang dulu terdengar setiap pagi, kini berganti sunyi. Di taman belakang, Ibu Maisaroh duduk sendirian di bangku kayu kesayangannya. Kerudung pastel menutupi sebagian wajahnya yang mulai pucat. Pandangannya kosong menatap gerbang depan rumah.
Biasanya, Alea akan duduk di sampingnya, membawa teh hangat, lalu bercerita dengan semangat tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa indah. Kini, semua itu lenyap bersama kepergian gadis itu.
“Bu, makan dulu, ya. Nanti sakit kalau terus begini,” ucap Bi Iyem pelan, membawa nampan berisi nasi hangat dan sayur sop.
Ibu Maisaroh hanya menggeleng. “Nggak usah, Bi… Saya nggak lapar.”
Suaranya lirih, seperti hampir hilang ditiup angin.
Setiap hari, rutinitas itu terulang. Ia duduk di taman, menatap pintu gerbang, seolah menunggu seseorang yang mungkin tidak akan kembali.
Tangannya menggenggam kuat cangkir teh yang mulai dingin.
“Lea… pulanglah, Nak. Ibu kangen,” bisiknya.
Air mata menetes perlahan, membasahi punggung tangannya.
_-_-_-
Di Surabaya…
Faizan baru selesai rapat ketika ponselnya berdering. Nama Bi Iyem muncul di layar.
Ia sempat ragu sebelum mengangkatnya.
“Ya, Bi? Ada apa?” suaranya tenang, datar.
“Den… ini soal Nyonya. Sejak kemarin pagi beliau nggak mau makan sama sekali. Cuma duduk di taman, melamun, nungguin seseorang. Bibi takut beliau jatuh sakit.”
Faizan terdiam. Pandangannya kosong menatap meja. Dalam kepalanya, tergambar jelas wajah ibunya yang tegar namun kini mungkin sedang rapuh.
“Kalau begitu panggilkan dokter,” ucapnya singkat.
“Tapi Den… sepertinya beliau bukan sakit badan. Beliau kehilangan semangat hidup sejak Nyonya Alea pergi…”
Suara Bi Iyem terdengar parau, seperti menahan tangis.
Faizan menutup mata, menarik napas panjang. Ada rasa bersalah yang menekan dadanya, tapi ia menahannya rapat-rapat.
“Baik, Bi. Malam ini saya pulang. Tolong jaga Mama sampai saya tiba.”
“Baik, Den…” suara itu menjawab lirih sebelum telepon terputus.
Untuk beberapa saat, Faizan hanya duduk terpaku. Ruangan terasa terlalu sunyi.
Ia menatap layar ponsel yang gelap, lalu mengusap wajahnya perlahan.
Sakit. Tapi ia memilih menahannya, seperti biasa.
_-_-_-_
Sore menjelang malam…
Langit Surabaya berwarna jingga. Faizan mengemudikan mobilnya kembali ke hotel. Lampu jalan menyala satu per satu.
Di kepalanya, suara Bi Iyem terus terngiang: “Beliau duduk di taman, menatap pintu gerbang…”
Setiap kata itu menancap di dadanya seperti duri.
Begitu tiba di hotel, ia melepaskan jas dan duduk di sofa. Nayla ada di kamar sebelah, tapi Faizan tidak berniat menyapa. Ia langsung menelepon Arka, asistennya.
“Arka, siapkan tiket malam ini ke Jakarta. Saya harus pulang.”
“Baik, Pak. Saya urus sekarang juga,” jawab Arka cepat.
Tak sampai satu jam, Arka datang membawa tiket dan beberapa dokumen. Setelah menandatangani semuanya, Faizan menatapnya serius.
“Kamu tetap di sini. Pastikan Nayla dijaga. Jangan sampai kekurangan apapun.”
“Siap, Pak.”
Setelah Arka pergi, Faizan melangkah ke balkon kamar.
Dari sana, ia bisa melihat lampu kota Surabaya yang berkelip. Tapi hatinya gelap, berat. Angin malam menerpa wajahnya, membawa dingin yang terasa sampai tulang.
Ia menatap jauh ke langit, bibirnya bergerak tanpa suara.
“Mah… Maafkan anakmu ini?”
Ia diam lama. Mungkin tidak ada yang tahu, tapi malam itu—untuk pertama kalinya—Faizan benar-benar terlihat rapuh.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/