Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Pagi itu cahaya berembus lembut melalui celah tirai kamar, menghadirkan sinar keemasan yang menyingkap debu-debu kecil menari di udara. Audy sudah lebih dulu terjaga, tubuhnya sigap bergerak di dapur, menyusun sarapan sederhana untuk Chandra, lelaki yang telah menemaninya selama lima tahun dalam ikatan pernikahan. Aroma kopi hangat bercampur dengan roti panggang memenuhi ruang makan, seakan hendak mengusir sisa kantuk yang masih melekat di dinding rumah mereka.
“Kamu jadi ke Singapore hari ini?” suara serak Chandra terdengar dari balik pintu kamar, masih kusut dengan rambut acak-acakan dan mata setengah terpejam.
Audy menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. “Jadi, Mas. Ini aku mau berangkat. Supir kantor sudah nunggu di depan.”
Chandra mengangguk pelan, tanpa upaya menyembunyikan nada malas dalam jawabannya. “Ya sudah, hati-hati. Kabari aja kalau udah sampai.”
Audy menatapnya sejenak—tatapan yang sarat makna, seperti seseorang yang ingin memastikan bahwa kepergian sementara ini benar-benar akan meninggalkan kerinduan. Ada getar halus dalam dadanya, tapi dia hanya menghela napas perlahan sebelum melangkah pergi, meninggalkan rumah yang selama ini mereka bangun bersama.
Mobil dinas yang menjemputnya meluncur tenang menembus jalanan Jakarta yang masih setengah terjaga. Jam masih terlalu pagi; kota metropolitan itu belum sepenuhnya menampakkan hiruk-pikuknya. Bangunan-bangunan tinggi berjejer kaku, diselimuti kabut tipis yang menolak pergi. Audy bersandar, matanya sempat terpejam, membiarkan pikirannya melayang pada hari-hari panjang yang menantinya di negeri seberang.
Namun ketenangan itu buyar ketika dering ponselnya memecah keheningan. Nama yang muncul di layar membuatnya sontak tegak. Direkturnya, Teddy.
“Iya, Pak…” suaranya terdengar resmi, penuh kesopanan.
Sepasang mata Audy menajam, menekuri setiap kata yang masuk ke telinganya. Dia mendengarkan dengan penuh konsentrasi, dari balik kaca sang supir dapat melihat raut wajah Audy yang tampak menegang, menahan marah. Lalu, tanpa banyak ragu, dia menutup telepon itu dan menatap ke arah supir.
“Pak, kita ke kantor saja. Tidak jadi ke bandara.”
Sopir sempat melirik melalui kaca spion, tapi profesionalismenya menutup rasa ingin tahu. Tanpa pertanyaan, dia memutar kemudi, membuat mobil itu berbalik arah. Roda berputar membawa Audy menuju Mega Kuningan, ke jantung kesibukan Jakarta yang mulai menggeliat.
Dan di dalam mobil itu, Audy hanya diam, menatap keluar jendela. Ada sesuatu dalam suaranya tadi—datar, tapi menyimpan riak yang tak biasa.
***
Langkah-langkah Audy terdengar terburu di lantai marmer gedung pencakar langit itu, bergema di antara lobi yang masih diselimuti aroma kopi pagi dan parfum para karyawan yang baru berdatangan. Wajahnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah energi amarah yang mendidih di dadanya butuh wadah untuk meluap.
Tanpa pikir panjang, dia mendorong pintu kayu berat bertuliskan Director Utama tanpa mengetuk. Pintu berayun keras menabrak dinding, membuat sosok di balik meja besar itu terperanjat.
“Pak Teddy!” suara Audy meluncur, tajam dan bergetar, seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Pak Teddy, pria paruh baya dengan jas rapi dan dasi kebiruan, mengangkat wajahnya. Wajahnya berkerut, bukan karena kaget, melainkan karena terusik. “Apa-apaan kamu, Audy? Datang-datang teriak-teriak begini. Ini kantor, bukan hutan! Di mana sopan santunmu?”
Namun Audy tak menggubris teguran itu. Nafasnya memburu, sorot matanya menyala penuh tuntutan. “Apa betul yang Bapak katakan di telepon tadi? Bahwa Laura yang akan jadi representative kantor kita, yang mengawasi proyek di sana?”
Sejenak, ruangan itu hening. Hanya terdengar denting jam dinding yang seolah mengejek ketegangan mereka. Pak Teddy menutup mata, memijit pelipisnya dengan gerakan lelah—atau mungkin sengaja, untuk menunda jawaban yang sudah jelas.
“Benar,” akhirnya dia berkata datar.
Seakan ada petir menyambar dadanya, wajah Audy memerah. Tiga bulan ia mengorbankan waktu, tenaga, bahkan sebagian dari dirinya, demi proyek yang dia rancang dengan penuh dedikasi. Dan kini, begitu saja dialihkan pada orang lain—pada seseorang yang jelas tidak lebih kompeten darinya.
“Saya tidak terima!” suaranya pecah, namun tegas.
Pak Teddy mengangkat alis, seperti menantang. “Apa maksud kamu?”
“Bapak tahu,” Audy maju selangkah, telunjuknya hampir menuding, “kalau saya menyiapkan proyek itu sendirian selama tiga bulan—tanpa bantuan siapa pun. Lalu tiba-tiba orang lain yang mengambil alih? Menurut Bapak, apakah ini pantas? Adil?”
Amarahnya merambat ke seluruh tubuhnya, membuat suaranya bergetar bukan karena takut, melainkan karena menahan luka yang terlalu dalam.
Pak Teddy hanya mendesah. “Lalu kamu mau apa? Ini sudah final. Laura bahkan sudah ada di Singapura sekarang. Kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa.” Nada suaranya licik, penuh kemenangan kecil.
Tapi saat itulah, bibir Audy melengkung tipis. Senyum yang bukan tanda menyerah, melainkan sebuah tantangan yang tersembunyi.
“Bapak salah.”
Pak Teddy menatapnya, sedikit terusik oleh ketenangan yang mendadak hadir dalam diri wanita itu.
“Saya berhenti, Pak.” Suara Audy tegas, penuh kepastian yang nyaris tak terbantahkan. “Saya tidak sudi bekerja di perusahaan yang tidak bisa bersikap adil dan menghargai karyawannya. Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi pada saya. Jadi, buat apa saya bertahan?”
Dengan gerakan mantap, dia meletakkan ID karyawan di atas meja kayu mengilap itu. Bunyi kecil dari kartu itu terasa seperti pukulan keras di telinga Teddy.
“Jangan main-main, Audy.” Wajah Teddy mulai kehilangan wibawanya, terselip panik di balik nada ancamannya.
Audy menatapnya dengan mata dingin. “Saya tidak main-main, Pak. Permisi.”
Dia berbalik, melangkah menuju pintu dengan kepala tegak. Namun sebelum benar-benar menghilang dari ruangan itu, dia berhenti sejenak, menoleh, dan melontarkan kalimat yang membuat jantung Teddy nyaris copot.
“Oh ya, Pak… rancangan proyek yang saya serahkan pada Bapak tahu kan kalau itu belum final, karena saya baru akan menyerahkan hasil finalnya hari ini. Tapi seperti yang bapak tahu, saya bukan lagi pegawai di perusahaan ini. Semoga saja Laura tidak mengacau di Singapura.”
Senyum tipis kembali menghiasi wajah Audy saat dia melangkah pergi, meninggalkan ruangan itu dengan keanggunan seorang pemenang.
Di balik meja kerjanya, Teddy mendadak terdiam. Wajahnya pucat, matanya membesar. Untuk pertama kalinya pagi itu, dia benar-benar panik.
***
Teddy terduduk kaku, menatap kosong pada kartu identitas yang tergeletak di meja. Benda mungil itu memantulkan cahaya lampu neon, dingin dan kaku, tetapi di matanya seakan berubah menjadi bom waktu yang baru saja diaktifkan.
Jemarinya gemetar ketika meraihnya, merasakan dingin plastik itu menempel di kulitnya, berat—terlalu berat untuk sesuatu yang seharusnya ringan. Seakan kartu itu menanggung seluruh beban dari keputusan gegabahnya.
“Rancangan proyek itu belum final… semoga saja Laura tidak mengacau di Singapura.”
Kata-kata Audy kembali menancap di telinganya, seperti bisikan kutukan yang tak bisa dia usir. Jantungnya berdetak tak beraturan, menghantam dadanya seperti ingin keluar.
Dia tahu benar apa yang sedang dipertaruhkan: proyek bernilai triliunan, kontrak jangka panjang, hubungan dengan investor asing. Segala sesuatunya bertumpu pada satu presentasi penting di Singapura. Dan semua fondasinya… ada di kepala seorang wanita yang baru saja meninggalkan pekerjaannya.
Teddy merasa dadanya mengerut. Bagaimana jika file itu hanyalah kerangka kasar? Bagaimana jika Audy sengaja meninggalkan jebakan? Investor asing bukanlah pihak yang bisa diminta memaklumi kesalahan sekecil apa pun. Satu cacat dalam presentasi, satu data yang tidak sinkron, bisa menjatuhkan reputasi perusahaan sekaligus kariernya.
Panik merayapi nadi. Dia meraih telepon dengan gerakan kasar. “Ratna! Hubungi Laura sekarang juga. Saya ingin laporan terbaru tentang persiapan presentasi di Singapura. Cepat!” suaranya pecah, sarat dengan ketegangan yang tidak lagi bisa disembunyikan.
Beberapa menit terasa seperti jam. Hingga akhirnya, suara Laura terdengar di ujung sambungan—ceria, percaya diri, terlalu ringan untuk beban sebesar ini.
“Tenang saja, Pak. Semua dokumen sudah di tangan saya. Saya akan presentasikan sesuai file yang saya terima dari bapak.”
Teddy menegang. “Kamu sudah cek semuanya? Detail teknis sudah dicek?”
Keheningan menyusul. Sebuah jeda yang terlalu lama, cukup untuk membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya.
“Ehm… saya yakin file itu sudah final, Pak. Saya mungkin bukan yang merancang proyek ini, tapi… ya, saya akan usahakan semaksimal mungkin.”
Suara itu terdengar ragu, goyah—dan bagi Teddy, bagaikan bunyi paku terakhir di peti mati.
Dia menutup telepon dengan kasar. Tubuhnya jatuh ke sandaran kursi, wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Ini bisa berakhir buruk. Sangat buruk. Jika Laura gagal, investor tidak akan peduli siapa yang salah. Nama yang pertama kali dipertaruhkan adalah Teddy—orang yang menandatangani laporan, yang memberi jaminan, yang sengaja bermain licik dengan mengirim Laura untuk menggantikan Audy.
Tangannya menghantam meja, menimbulkan dentuman keras yang membuat map-map berhamburan. “Sial!”
Tanpa pikir panjang, dia meraih ponselnya dan menghubungi Audy. Sekali. Dua kali. Lima kali. Setiap nada sambung yang berakhir tanpa jawaban seperti cambuk yang menghajar egonya. Dia mencoba lagi, kali ini dengan suara tercekat, penuh keputusasaan.
Tetap nihil.
Teddy menunduk, jemarinya meremas ponsel hingga buku-bukunya memutih. Tidak boleh begini. Aku harus mendapatkan dia kembali. Dengan cara apa pun.
Pikirannya berputar, liar. Membujuk dengan janji manis? Atau menekan dengan ancaman? Audy bukan tipe yang mudah digoyahkan, ia tahu itu. Namun waktu yang dia miliki terlalu sedikit. Presentasi tinggal hitungan jam.
Di balik kaca jendela yang menghadap ke kota Jakarta, langit sudah memutih disinari matahari siang. Lalu lintas di bawahnya mulai padat, klakson-klakson bersahutan. Dunia bergerak seperti biasa—seolah tidak ada yang salah.
Tapi di ruangannya, Teddy merasa dikelilingi badai dingin. Badai yang bisa meluluhlantakkan segalanya yang dia bangun selama bertahun-tahun.
Dan yang paling menakutkan dari semuanya adalah kenyataan sederhana ini: nasibnya kini berada di tangan seorang wanita yang baru saja membalikkan punggung, meninggalkannya dengan senyum tipis penuh kemenangan.
***