Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 TEROR LEAK Part 24
Tahun-tahun berlalu dengan tenang di desa Banjaran. Bagus, yang dulunya dijuluki "si pendatang dari Jakarta" dengan cerita-cerita tentang gedung tinggi dan kemacetan, kini telah sepenuhnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari desa Banjaran. Warga tidak lagi memandangnya sebagai orang asing, dia adalah Bagus, tetangga yang bisa diandalkan, saudara mereka.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit sepenuhnya, Bagus bergabung dengan Pak Wayan, tetua desa berusia lanjut, untuk mengelola kebun luas yang menjadi sumber penghidupan banyak keluarga. Dari seorang profesional kota yang terbiasa dengan rapat dan email, Bagus belajar menjadi petani yang cakap, memahami rahasia tanah, kapan menanam bibit padi agar tumbuh kuat, atau bagaimana mengatasi serangan hama dengan ramuan alami dari daun sirih.
Tangan-tangannya yang dulu lembut memegang pena untuk menulis buku kini mahir menggenggam cangkul berat, mengaduk tanah lembab, dan menyabet rumput liar dengan sabit yang diasah tajam. Setiap gerakan itu terasa seperti ritual, menghubungkannya lebih dalam dengan alam dan desa yang kini menjadi rumahnya.
Bagus juga berperan sebagai sekretaris tidak resmi bagi Kepala Desa Tulus. Bagus membantu mencatat sejarah lisan desa, duduk berjam-jam dengan para tetua di bawah pohon beringin, mendengar kisah-kisah tentang leluhur yang membangun pura, atau bencana alam yang pernah menguji ketangguhan mereka.
Bagus mengelola arsip-arsip sederhana dengan teliti, menyusun dokumen di lemari kayu tua, memastikan bahwa arsip desa itu tidak pudar seiring berjalannya waktu. Tugas ini memberinya tujuan hidup, seakan dia menjaga jiwa Banjaran tetap hidup.
Buku yang ditulis Bagus, sebuah mahakarya yang lahir dari duka dan inspirasi, disimpan dengan baik di perpustakaan kecil balai desa, sebuah ruangan sederhana dengan rak-rak bambu dan aroma kertas tua.
Buku itu menceritakan kisah Marni dengan detail yang menyentuh, tapi tidak semua warga bisa membacanya. Beberapa di antaranya buta huruf, terbiasa dengan cerita lisan daripada tulisan, sedangkan yang lain merasa kisah itu terlalu dekat dan sakral, seperti membuka tabir rahasia yang lebih baik dibiarkan tertutup untuk menghormati yang telah tiada.
Meski begitu, mereka semua tahu bahwa buku itu ada, sebuah memoir abadi bagi Marni dan perjuangan warga desa Banjaran. Buku itu menjadi simbol harapan, mengingatkan bahwa dari kegelapan bisa lahir cahaya. Kadang-kadang, sekelompok anak-anak sekolah datang dengan tas anyaman di punggung dan mata mereka penuh rasa ingin tahu. Bagus dengan senang hati bercerita tentang "dewi penjaga" desa mereka, mengubah narasi kompleks menjadi dongeng sederhana yang penuh warna.
Bagus menggambarkan Marni sebagai pahlawan yang melawan leak dengan keberanian hati, menyampaikan pesan tentang pengorbanan dan ketabahan dengan bahasa yang bisa dipahami anak-anak, agar benih nilai-nilai itu tumbuh di hati mereka.
Hidup Bagus kini dipenuhi kepuasan sederhana yang mendalam. Dia menikmati secangkir kopi hitam panas saat fajar, berbagi tawa dengan tetangga di pasar pagi, atau menyaksikan matahari terbenam di balik bukit. Namun, di balik kedamaian itu, ada kerinduan yang tak pernah benar-benar padam, seperti sungai bawah tanah yang terus mengalir meski tak terlihat.
Setiap kali Bagus duduk di bawah pohon beringin atau mencium aroma dupa harum yang dibakar di pura setiap pagi, hatinya berdesir tidak karuan. Saat mendengar gemerisik daun kelapa dia berharap, dengan secercah harapan yang rapuh, untuk melihat bayangan Marni sekali lagi, bukan sebagai perasaan samar yang menghantui mimpi, tapi sebagai wujud nyata yang bisa Bagus sentuh dan peluk seperti dulu.
Suatu malam, bertahun-tahun setelah kepulangannya ke Banjaran, sesuatu yang luar biasa terjadi, seakan roh-roh alam merespons doanya. Bulan purnama bersinar terang di langit gelap, membanjiri desa dengan cahaya perak yang lembut dan magis, membuat dedaunan berkilau seperti perak cair.
Bagus terbangun dari tidurnya yang gelisah di gubuk sederhana, oleh sebuah desisan lembut yang menyusup ke telinga, seperti namanya dipanggil oleh angin malam. Suara itu bukan dari luar, melainkan dari dalam mimpinya yang penuh misteri.
Dalam mimpi itu, Bagus mendapati dirinya berdiri di tepi danau yang tenang dan misterius, airnya sehitam kaca yang sempurna, memantulkan bulan purnama dan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya. Udara sejuknya membawa rasa kedamaian yang aneh, seperti pelukan dari dunia lain.
Lalu, dari balik kabut tipis yang menyelimuti permukaan danau, seorang gadis muncul perlahan dengan langkah ringan. Gadis itu mengenakan kain putih sederhana yang berkibar lembut, rambut panjangnya dihiasi bunga melati segar yang wangi. Dialah Marni, tapi bukan Marni yang Bagus kenal dari kenangan duniawi yang penuh tawa dan air mata.
Wajah Marni memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan yang abadi, seperti dewi yang turun dari altar pura. Cahaya lembut memancar dari seluruh tubuhnya, menerangi sekitar dengan kehangatan yang menenangkan jiwa.
"Bagus," panggilnya seperti gemerisik daun beringin dan gemercik air sungai yang jernih.
Bagus terdiam untuk sesaat. Air mata kebahagiaan mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang penuh kerinduan. Bagus ingin berlari ke arah Marni, memeluk sosok yang begitu dirindukannya, tapi kakinya terpaku di tempat, tertahan...
"Marni," akhirnya Bagus berhasil berucap, suaranya serak oleh emosi yang meluap. "Aku... aku sangat merindukanmu. Setiap hari rasanya seperti kehilangan."
"Aku tahu," jawab Marni sambil tersenyum lembut. Senyuman itu penuh dengan kerinduan jua. "Dan aku selalu ada di sini, menyaksimu dari sisi dunia lain. Kau telah menjalani hidup dengan baik, Bagus. Ayahmu bahagia di hari-hari tuanya, desa ini damai dan makmur. Kau telah menepati janjimu kepada kami semua."
"Apakah kau... apakah kau baik-baik saja di sana?" tanya Bagus, hatinya dipenuhi ribuan pertanyaan yang selama ini terpendam dalam diam.
"Lebih dari baik-baik saja," jawab Marni, tangannya yang bercahaya meraih Bagus dengan anggun, meski tidak pernah benar-benar menyentuh. "Di sini tidak ada rasa sakit yang menyiksa, tidak ada waktu yang mengejar seperti bayangan. Aku adalah bagian dari cahaya yang membimbingmu melalui kegelapan malam."
Marni melangkah lebih dekat, "Pertemuan kita ini singkat, batasnya hanya sebentar seperti embun pagi. Tapi aku memohon izin alam untuk menemuimu malam ini, untuk mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Untuk melepaskanmu sepenuhnya."
"Melepaskan?" Bagus berbisik, hatinya terasa hancur oleh kata itu.
"Bukan lepas dari cintamu," Marni cepat menjelaskan, matanya bersinar penuh kelembutan. "Cinta kita abadi, takkan pernah pudar. Tapi dari rasa rindu yang menyakitkan ini, dari bayangan masa lalu yang membuatmu terjebak dan tak bisa maju. Aku ingin kau benar-benar hidup, Bagus. Buka hatimu untuk cinta yang baru, untuk kehidupan yang utuh dan bahagia. Itulah yang paling kuinginkan untukmu, lebih dari segalanya."
Bagus mengerti. Ini adalah pembebasan terakhir yang Marni berikan untuknya.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa," bisiknya jujur, suaranya gemetar.
"Kau pasti bisa," ucap Marni dengan penuh keyakinan. "Karena cintamu padaku telah membentukmu menjadi pria yang lebih kuat dan penuh kasih. Dan pria seperti itu layak untuk dicintai di dunia ini."
Perlahan, sosok Marni mulai pudar, "Waktuku hampir habis. Tapi ketahuilah, aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku hanya berbeda sekarang. Dan kita akan bertemu lagi, suatu saat nanti."
"Tunggu!" teriak Bagus, tangannya terulur ke udara kosong.
Senyum Marni melebar, penuh janji abadi. "Selamat tinggal, cintaku. Hiduplah dengan bahagia. Untukku."
Dan kemudian, Marni menghilang. Bagus terbangun di kamarnya, wajahnya basah oleh air mata.
Tapi kali ini, air matanya bukan keputus-asaan yang pahit. Beban berat yang selama ini menindih hatinya akhirnya terangkat. Marni telah memberinya hadiah terakhir, sebuah kebebasan untuk melanjutkan hidup.
Bagus bangkit lalu melihat keluar jendela, ke desa tenang di bawah sinar rembulan. Dia merasakan Marni di mana-mana, dalam angin, dalam cahaya, dan untuk pertama kalinya, perasaan itu tanpa rasa sakit, tapi syukur yang mendalam. Bagus lantas menarik nafas panjang, dan tersenyum...
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰