NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 29 Cahaya yang Diperebutkan

Udara di dalam gua terasa berat, lembap, dan dingin menusuk tulang. Setiap tetesan air yang jatuh dari stalaktit terdengar begitu keras di telinga mereka, seolah-olah alam sengaja menegaskan keheningan yang rapuh.

Di hadapan mereka, sebuah genangan air berkilau samar, dan dari dasar genangan itu memancar cahaya biru yang berdenyut pelan seperti jantung yang berdetak.

Mauryn tertegun, matanya membesar. Nafasnya tercekat, dan tangannya gemetar ketika ia mengangkatnya ke arah cahaya itu.

“Aku bisa merasakannya… seperti ada sesuatu yang memanggilku.”

Ardan, masih basah kuyup, menggigil sambil memeras pakaiannya.

“Bagus. Cahaya misterius di gua gelap. Kita pasti dalam cerita horor. Aku benci cerita horor.”

Revan berdiri sedikit di depan Mauryn, menatap cahaya dengan sorot waspada. Bahunya yang terluka masih berdarah, tapi ia menahannya dengan rahang mengeras.

“Itu bukan cahaya biasa.”

Mauryn menoleh padanya.

“Revan, aku yakin itu liontin yang ditinggalkan ayahku. Aku bisa mendengarnya… suaranya samar, tapi jelas. Seperti… seperti suara yang memanggil dari masa lalu.”

Revan menatapnya, matanya melembut sedikit.

“Kalau begitu, kita harus berhati-hati. Kamu tahu, benda yang punya kekuatan seperti itu tidak mungkin dibiarkan tanpa penjaga.”

Ardan mendengus pelan, lalu melangkah hati-hati di lantai gua yang licin.

“Penjaga? Maksudmu makhluk air barusan belum cukup? Aku sudah hampir mati digigit belut raksasa itu, Revan. Kalau ada ‘penjaga’ lagi, aku serius akan menulis surat protes pada takdir.”

Mauryn tersenyum tipis meski wajahnya masih pucat.

“Kau bisa saja.”

Ardan menunjuk cahaya itu dengan dagunya.

“Tapi jujur, itu cantik sekali. Menyeramkan, tapi cantik. Seperti Mauryn, sebenarnya.”

Mauryn menoleh cepat dengan wajah memerah.

“Ardan!”

Ardan hanya mengangkat bahu.

“Hei, aku cuma jujur. Setidaknya aku masih bisa jujur meski hampir mati tiga kali hari ini.”

Revan menghela napas panjang, matanya menatap tajam ke arah Ardan.

“Fokus. Kalau mulutmu terus bicara tanpa henti, kau yang pertama jadi umpan kalau mereka datang.”

Ardan memutar bola matanya.

“Lihat? Selalu saja aku yang jadi umpan.”

Mauryn melangkah maju, mendekati cahaya. Setiap langkah terasa berat, seakan udara di sekelilingnya semakin padat. Ia berlutut di tepi genangan, menatap kilau biru itu yang berputar lembut seperti pusaran kecil.

Tangannya terulur, hampir menyentuh permukaan. Tapi tiba-tiba, tangan Revan mencengkeram lengannya dengan cepat.

“Mauryn, tunggu.”

Ia menoleh dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa? Aku harus menyentuhnya. Aku merasa ini milikku. Ayahku meninggalkannya untukku.”

Revan menunduk sedikit, suaranya lebih lembut.

“Aku tahu kau ingin melakukannya. Tapi benda ini… bisa saja terkutuk. Bisa saja berbahaya. Aku tidak mau melihatmu terluka.”

Mauryn menatap matanya. Ada kehangatan di balik kekerasan wajahnya.

“Dan aku tidak bisa hanya berdiri diam. Sejak kecil, aku dianggap aib. Ayahku satu-satunya yang mempercayaiku. Jika ini peninggalannya… aku tidak akan membiarkannya sia-sia.”

Ardan yang mendengarkan dari belakang mengangkat tangan.

“Oke, oke. Aku tahu ini momen menyentuh antara dua orang keras kepala. Tapi kalian sadar kan kalau kita tidak sendirian?”

Revan langsung menoleh.

“Apa maksudmu?”

Ardan menunjuk ke arah lorong air di belakang.

“Aku dengar suara. Bukan suara air. Lebih berat, seperti… logam.”

Mauryn mengerutkan dahi.

“Logam?”

Revan mengangguk pelan, tubuhnya tegang.

“Pedang.”

Suasana mendadak membeku. Hanya suara tetesan air yang terdengar.

Beberapa detik kemudian, dari lorong air yang baru mereka lewati, dua sosok muncul perlahan. Mereka mengenakan mantel hitam panjang yang basah kuyup, wajah mereka tertutup kain gelap.

Obor kecil yang mereka bawa memantulkan cahaya redup, menari di dinding gua yang licin.

“Bagus sekali,” salah satu dari mereka berkata, suaranya berat, dingin, penuh ejekan.

“Kalian sudah menemukan jalannya untuk kami.”

Ardan mendesah panjang.

“Aku tahu ini akan terjadi. Sungguh, aku tahu.”

Mauryn berdiri cepat, tubuhnya gemetar tapi suaranya lantang.

“Siapa kalian?”

Sosok itu maju beberapa langkah.

“Kami hanya pewaris kegelapan yang kamu tolak. Dan kamu, gadis kecil, adalah bagian yang hilang dari kami.”

Revan bergerak ke depan, tubuhnya berdiri tegak meski terluka.

“Jangan mendekat. Satu langkah lagi, aku akan pastikan kamu tidak keluar dari gua ini hidup-hidup.”

Orang itu tertawa kecil, suaranya menusuk.

“Berani sekali. Tapi sayangnya, keberanian saja tidak cukup.”

Mauryn menatapnya, lalu tiba-tiba mendengar gema samar dalam pikirannya bukan suaranya, melainkan hatinya.

“Liontin itu harus diambil… darahnya harus ditumpahkan… hanya dengan begitu perjanjian bisa ditepati.”

Ia terkejut, hampir terhuyung mundur.

“Kamu… kamu ingin liontin ini untuk perjanjian darah?”

Sosok itu tersenyum miring.

“Ah, jadi kamu sudah mendengarnya. Kemampuanmu tidak mengecewakan, Mauryn.”

“Mauryn, jangan terprovokasi. Jangan biarkan mereka masuk ke kepalamu.” Revan menoleh tajam.

Ardan melambaikan tangannya cepat.

“Hei, hei, kenapa kita tidak kembali saja? Maksudku, siapa yang peduli dengan cahaya biru bercahaya? Kita bisa cari suvenir lain di tempat yang lebih aman, kan?”

Mauryn menoleh pada Ardan dengan senyum getir.

“Kalau saja sesederhana itu.”

Pria bermantel mengangkat pedangnya, cahaya biru dari kristal memantul di bilahnya.

“Berikan liontin itu, atau kalian semua mati di sini.”

Mauryn menggenggam erat perkamen peninggalan ayahnya. Matanya bersinar dengan keteguhan.

“Tidak. Ayahku mempercayakan ini padaku. Aku tidak akan menyerahkannya.”

Revan melangkah lebih maju, pisau di tangannya berkilat meski kusam.

“Kalau begitu, kalian harus melewati aku dulu.”

Ardan mendesah, lalu menarik napas panjang.

“Aku benar-benar menyesal ikut dalam perjalanan ini. Tapi ya sudah. Kalau kita semua akan mati, setidaknya aku mati dengan teman.”

Revan menatapnya singkat, senyum tipis muncul di bibirnya.

“Jangan bicara seperti itu. Kita akan keluar dari sini.”

Mauryn menatap Revan, matanya basah tapi penuh keyakinan.

“Aku percaya padamu.”

Revan membalas tatapannya, suaranya rendah namun penuh janji.

“Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu.”

Suara air dari lorong makin keras, seperti tanda kedatangan sesuatu yang lebih besar. Dan cahaya kristal semakin terang, berdenyut cepat, seakan ikut menunggu siapa yang akan menjadi pemiliknya.

Bersambung…

Jangan lupa Like, komen dan Vote untuk support othor

1
Estella🍂
aku mampir Thor semangat nulisnya💪
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Terimakasih udah mampir kak 😊
total 1 replies
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!