Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5 Trauma
Marwah menangis sejadi-jadinya, untuk ke dua kalinya dia harus menerima kesakitan dari lawan jenis. "Ya, Allah kenapa aku harus mengalaminya lagi? apa salah aku sehingga Engkau mengujiku sesakit ini?" gumam Marwah.
Dadang dengan cepat masuk ke dalam kamar Marwah dan lagi-lagi hatinya sakit melihat putrinya harus mengulang kesakitannya yang sama. "Nak," panggil Pak Dadang pelan.
Marwah mengangkat wajahnya dan langsung memeluk Bapaknya itu. "Ada apa dengan Marwah Pak? kenapa Marwah harus mengalami hal seperti ini terus?" ucap Marwah dengan tangisan yang tidak bisa dibendung lagi.
"Sabar Nak, sabar," sahut Pak Dadang.
Dadang bingung harus menjawab apa, dia hanya bisa mengucapkan kata sabar meskipun kata sabar itu tidak akan bisa mengobati luka putrinya. Ani pun ikut menangis, bahkan Nazwa juga merasakan sakit yang dirasakan oleh kakaknya itu. Iwan merangkul pundak istrinya yang sedang menangis itu.
"Aku sedih Kang, Aku merasa kasihan sama Teteh," ucap Nazwa.
"Akang juga sama, tapi mau bagaimana lagi," sahut Iwan.
Tangisan Marwah dipelukan Dadang terdengar sangat menyakitkan dan memilukan. "Istighfar Nak," ucap Bu Ani sembari mengusap kepala Marwah.
"Ya, Allah Pak rasanya sakit sekali," lirih Marwah.
Setelah sedikit tenang, semuanya meninggalkan Marwah dan membiarkan Marwah sendiri dulu. Sementara itu di kamar Safa, dia sedang mengobrol dengan suaminya.
"Kang, bagaimana kalau kita ngontrak saja? kasihan Teh Marwah jika kita terus berada di sini," ucap Nazwa.
"Tapi, penghasilan Akang sebagai ojeg tidak akan cukup untuk membayar kontrakan," sahut Iwan.
"Kok Akang jadi lepas tanggung jawab seperti itu sih? sekarang itu kita sudah punya anak Kang, masa kita mau numpang terus di rumah kedua orang tua aku!" ucap Nazwa dengan nada yang lumayan tinggi.
"Kamu sudah berani berkata dengan nada tinggi kepada Akang? kalau kamu ingin pergi dari sini, ayo kita tinggal di rumah kedua orang tuaku saja," sahut Iwan dengan kesalnya.
"Akang benar-benar tidak punya malu, sebelum nikah Akang sudah janji mau membahagiakan aku tapi sekarang apa buktinya?" geram Nazwa.
"Kamu 'kan tahu dari awal pekerjaan Akang itu apa? nafkah yang Akang berikan untuk kamu hanya segitu adanya, sekarang jika kita ngontrak, bagaimana dengan biaya makan?" seru Iwan.
Nazwa terdiam, ada sedikit perasaan menyesal di dalam hatinya. Coba dulu dia mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk melanjutkan kuliah, setidaknya dia bisa mencari kerja terlebih dahulu tanpa memikirkan urusan rumah tangga. Nazwa memang berbeda dengan Marwah, dia tidak punya keahlian dan kemauan sedangkan Marwah, dia selalu mencari kesibukan untuk berjualan.
Entah itu jualan kue basah, nasi kuning, bahkan sampai jualan gorengan keliling. Maka dari itu, dulu Marwah tidak mempermasalahkan pekerjaan Iwan karena dia berpikir setelah menikah nanti, dia dan Iwan bisa saling membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Marwah adalah anak yang rajin dan pandai dalam segala hal.
***
Keesokan harinya...
Marwah benar-benar merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak tahu dosa apa yang sudah dia perbuat sampai-sampai Allah mengujinya begitu dahsyat. Mental Marwah mulai terganggu, dia tidak bisa mengontrol emosinya.
Marwah keluar dari kamarnya dengan mata yang sembab. "Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Pak Dadang.
"Mau ke warung sebentar," lirih Marwah.
"Mau beli apa? biar Ibu yang belikan," seru Bu Ani.
"Tidak usah, Marwah bisa sendiri," sahut Marwah.
Marwah memang mau membeli pembalut karena saat ini dia sedang datang bulan. Dia memaksakan diri ke warung karena tidak mau menyuruh orang tuanya. Bagi dirinya, selama masih mampu dilakukan oleh diri sendiri maka dia pantang untuk menyuruh kepada orang tuanya apalagi memerintah kepada orang tua itu sangat berdosa.
Jarak warung dari rumahnya hanya beberapa meter saja. Tidak lama kemudian, Marwah pun sampai dan kebetulan pagi itu banyak sekali ibu-ibu yang sedang ngobrol di warung sembari memilih sayuran yang akan mereka beli.
"Bu, mau beli pembalut," seru Marwah.
"Eh, Neng Marwah. Kemarin ibu dengar Neng Marwah gagal menikah lagi ya? ya, ampun Neng kenapa bisa seperti itu?" tanya Ibu warung.
Marwah hanya menunduk tanpa berniat menjawab pertanyaan Ibu warung itu. "Banyak-banyak tobat Neng, kali aja Neng Marwah punya dosa makanya Allah memberikan peringatan kepada Neng Marwah," celetuk salah satu ibu-ibu.
"Iya, Neng. Sudah dua kali gagal menikah bukan hal yang kebetulan loh, berarti di dalam diri Neng Marwah ada masalah," timpal Ibu-ibu yang lainnya.
"Shalat tobat Neng, mudah-mudahan tidak terjadi kepada anak kita," ucapnya lagi.
"Aamiin." Semua ibu-ibu di sana serempak menjawab Aamiin.
Marwah tidak bisa menahan air matanya lagi, dia pun segera mengambil pembalut dan berlari pulang ke rumah. Marwah langsung masuk ke dalam kamarnya dengan deraian air mata membuat Dadang dan Ani dilanda panik.
"Nak, kamu baik-baik saja 'kan?" seru Pak Dadang dengan mengetuk pintu kamar Marwah.
"Aaaaaaaaaaa..... "
Tiba-tiba terdengar teriakan Marwah dari dalam kamar membuat Ani dan Dadang semakin panik. "Astagfirullah Nak, Istighfar Nak kamu gak boleh seperti itu," seru Pak Dadang sembari berusaha membuka pintu yang terkunci.
"Nak, Ibu mohon jangan nekad, jangan melakukan hal yang macam-macam," seru Ibu Ani dengan deraian air matanya.
"Marwah benci kepada laki-laki, Marwah benci!" teriak Marwah.
"Istighfar Nak, kamu gak boleh ngomong seperti itu," seru Pak Dadang.
Dadang mendobrak pintu kamar Marwah dibantu oleh Iwan, cukup lama mereka mendobrak hingga beberapa saat kemudian pintu pun berhasil terbuka. Dadang segera memeluk Marwah yang sedang menangis dan meraung di lantai.
"Sadar Nak, Istighfar," ucap Pak Dadang.
"Marwah sudah tidak percaya lagi kepada laki-laki Pak, hati Marwah sakit banget," sahut Marwah.
Ani menghapus air mata Marwah. "Jangan buat Ibu ikutan sakit Nak, Ibu tahu apa yang sedang kamu rasakan," ucap Ibu Ani.
Marwah menangis sejadi-jadinya, kali ini dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia butuh pelampiasan dan pelampiasannya dengan menangis lepas tanpa ditahan-tahan. Iwan bahkan sampai melongo melihat Marwah menangis seperti itu.
Dia tahu awal penderitaan Marwah adalah akibat dirinya. "Kasihan sekali kamu, Marwah. Padahal kamu adalah wanita yang sangat baik tapi dengan jahatnya aku melukai hati kamu," batin Iwan.
Nazwa memeluk anaknya di dalam kamar, dia tidak berani melihat keadaan kakaknya. Dari suara tangisannya saja sudah tahu jika Marwah begitu sangat terluka. "Maafkan aku, Teh. Semoga Teteh dipertemukan dengan laki-laki yang baik, sholeh, dan bisa menyayangi Teteh sepenuh hatinya karena Teteh berhak bahagia," batin Nazwa dengan deraian air matanya.