Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam
Setelah melewati jalanan dan bangunan dengan kecepatan luar biasa, Rian dan Ashley akhirnya tiba di lokasi yang telah dipersiapkan sebelumnya, sebuah restoran mewah di atap gedung pencakar langit, dengan pemandangan kota malam yang berkilau di kejauhan.
Seluruh restoran telah disewa khusus oleh Rian. Tak ada tamu lain, tak ada pelayan lalu-lalang selain satu chef profesional dan satu pelayan pribadi yang diam menunggu di sudut ruangan.
Suasana terasa tenang, eksklusif, dan intim. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, sementara alunan musik klasik mengisi udara.
Meja makan hanya untuk dua orang, dihiasi lilin kecil dan bunga segar. Kursi sudah ditarik, angin malam yang sejuk menyapu lembut.
Rian, masih mengenakan trench coat hitamnya, menarik kursi untuk Ashley. Dengan nada ramah berkata, "Silakan, Putri malam ini."
Ashley tersenyum malu dan duduk, sementara Rian ikut duduk di hadapannya.
Beberapa menit kemudian, obrolan ringan mulai mengalir.
"Jujur saja," ujar Rian sambil memutar gelas anggur berisi jus anggur, "laki-laki tampan ini sebenarnya lebih cocok makan martabak di pinggir jalan... tapi demi melihatmu tersenyum, restoran mahal pun jadi masuk akal."
Ashley menahan tawa. "Kau serius menyewa seluruh tempat ini?"
"Serius dan sepenuh hati." Rian menyandarkan dagu di telapak tangannya. "Soalnya... hanya orang bodoh yang mengajak gadis secantik dirimu makan malam... sambil rebutan kursi dengan orang lain."
Ashley tertawa pelan. "Itu gombalan murahan, tahu?"
"Tapi berhasil buatmu tersenyum, kan?" Rian mengedip. "Dan untuk laki-laki tampan ini, itu sudah cukup."
Tak lama kemudian, tiga pramusaji mendorong troli berisi hidangan, datang bergantian. Yang pertama membawa hidangan pembuka, disusul hidangan penengah, dan terakhir penutup.
Mereka menyajikan setiap hidangan dengan anggun di meja, lalu mundur sopan ke posisi semula.
Rian menatap hidangan pembuka di hadapannya: sebuah karya seni modern di atas piring putih elegan. Ia mengerutkan alis, menatapnya seperti sedang menilai benda asing.
'Desainnya aneh,' pikir Rian dalam benak.
Namun, Rian tetap mengambil garpunya, menusuk sepotong, dan menyodorkannya ke arah Ashley di seberang meja. "Cobalah. Menurut data di internet, rasanya enak."
"Menurut data di internet?" Ashley mengulang kata-katanya dengan ekspresi geli, lalu menerima potongan itu dan memakannya.
Rian masih dengan pose tangan terjulur, mengangguk perlahan. "Jujur saja, lidah laki-laki tampan ini agak kampungan. Terbiasa dengan hidangan warteg yang menurutku... sudah cukup mewah."
"Warteg? Apa itu?" tanya Ashley, bingung tapi tertarik.
Rian tersenyum santai. "Nanti, di lain waktu, laki-laki tampan ini akan mengajakmu makan di warteg dan warung nasi Padang. Rasanya... eksplosif."
'Warung nasi padang apalagi?' pikir Ashley, tidak paham lagi tempat makan yang pasangannya malam ini sebutkan.
Ashley mau tak mau tersenyum simpul, menggeleng pelan sambil berkata, "Kau ini... kadang aku benar-benar tak paham dengan pola pikirmu."
Kali ini, dengan senyum kecil di bibirnya, Ashley mengambil garpunya sendiri, memotong sedikit dari hidangan pembuka di piringnya, lalu menyodorkannya ke arah Rian.
"Kalau begitu, giliranmu. Cobalah ini."
Rian tersenyum menerima, "Selama bukan jengkol... laki-laki tampan ini siap menanggung risiko."
'Sekarang jengkol itu apa?' ujar Ashley, sambil menghela nafas imajiner.
Setelah berkata seperti itu, kali ini Ashley yang menyuapi Rian dengan hidangan pembuka di piringnya.
Dengan lembut, Ashley mengambil potongan kecil, lalu menyodorkannya ke arah Rian dengan senyum tipis.
"Kalau kau tidak mau mencoba sendiri," ucap Ashley lembut, "biar aku yang bantu mencicipkan untukmu."
Rian menatapnya sebentar, lalu perlahan membuka mulut dan menerima suapan itu dengan ekspresi dramatis yang berlebihan, seolah sedang menghadapi tantangan besar.
"Ugh... bentuknya aneh," ujar Rian sambil mengunyah perlahan. Namun beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. "Tapi... rasa ini... rasanya seperti... bukan makanan warteg."
Ashley tertawa pelan. "Tentu saja bukan. Ini makanan restoran bintang lima. Bukankah kau yang memesan seluruh restoran ini?"
Rian mengangkat jempol. "Kalau begini, laki-laki tampan ini rela naik level dari warteg jadi... warteg plus-plus."
Ashley menutup mulutnya sambil tertawa geli. "Apa itu artinya?"
"Artinya... aku mulai menerima kalau seleraku perlu evolusi, asal kamu tetap di depanku," jawab Rian, dengan pandangan lembut tapi nakal.
Setelah itu, pramusaji kedua menyajikan hidangan penengah, semangkuk sup bening dengan aroma rempah yang harum. Kali ini Rian mencicipinya duluan.
"Yang ini... mirip kuah bakso," ucap Rian polos sambil menyeruput pelan.
Ashley menyandarkan pipi di telapak tangannya sambil tersenyum. "Entahlah, rasanya baru... tapi kalau bersama orang seaneh dirimu, semua terasa menyenangkan."
Rian menatap Ashley dalam-dalam. Kali ini tidak ada komentar lucu. Hanya senyuman tulus dan diam sebentar, momen singkat yang penuh makna di antara lelucon dan rayuan.
Tak lama, pramusaji terakhir menyajikan hidangan penutup, kue coklat lembut dengan saus berry hangat dan taburan serpihan emas tipis. Ashley memotong sedikit, lalu menyuapkan ke arah Rian lagi.
"Untuk laki-laki tampan yang katanya punya lidah kampung," ucap Ashley, tersenyum.
Rian menerima suapan itu dan mengangguk pelan. "Lidah kampung laki-laki tampan ini bahagia sekarang..."
Semua hidangan telah mereka nikmati, dan sebelum beranjak ke tempat selanjutnya, spot yang telah Rian siapkan sebagai pemandu sekaligus pasangan malam ini, Ashley terlihat ragu.
Masih dalam posisi duduk, ia memandang Rian yang bersiap berdiri dan bertanya pelan, "Soal... kau membawaku seperti ini... Apa tidak akan jadi masalah?"
Rian terdiam sesaat. Ia menoleh ke arah pasangannya, lalu tersenyum ramah. Ia tahu pasti apa yang mengganggu pikiran Ashley, tentang bagaimana Rian membawanya secara diam-diam dari Gedung Putih, seolah-olah menculik anak presiden.
Dengan santai, Rian berdiri dan berjalan ke belakang Ashley, lalu membantu gadis itu berdiri sambil berkata, "Tidak masalah."
"Meskipun secara teknis laki-laki tampan ini membawamu seperti sedang melakukan penculikan," lanjutnya dengan nada santai, "sebetulnya... laki-laki tampan ini sudah izin pada Pak Presiden Graham."
Ashley menatapnya tak percaya. "Ayah... mengizinkan?"
Rian mengangguk pelan. "Iya. Bahkan beliau tertawa. Katanya, dan aku kutip langsung: ‘Baru kali ini ada spesial agent seabsurd dan seberani ini, ngajak anakku kencan lewat jendela, bukan pintu.’"
Ashley menutup mulutnya menahan tawa. "Jadi Ayah tahu?"
"Sudah sejak awal," jawab Rian, menatap Ashley dengan ekspresi bangga. "Laki-laki tampan ini tentu tahu cara meluluhkan hati calon mertua."
Ashley tersenyum geli, pipinya sedikit memerah. Ia memejamkan mata sesaat, lalu berkata pelan, "Calon mertua? Kau bicara seolah-olah aku sudah menerimamu."
"Jadi belum?" Rian menatapnya, satu alis terangkat, senyumnya penuh percaya diri.
Ashley tak menjawab. Ia hanya membuka matanya kembali dan menatap Rian dalam diam, senyum samar menggantung di bibirnya.
Rian pun menyisir rambut poninya ke belakang dengan gaya khas bintang iklan sampo. "Mau bagaimana pun… jalan cerita laki-laki tampan ini memang panjang. Bahkan untuk urusan memilih pasangan hidup."
Ashley terkekeh kecil mendengarnya.
Tanpa aba-aba, Rian tiba-tiba kembali menggendong Ashley dengan gaya putri -Princess Carry-, sama seperti saat membawanya keluar dari Gedung Putih.
Ashley terkejut, wajahnya memerah, terutama karena para pramusaji yang masih berada di sekitar restoran kini menatap mereka sambil menahan senyum.
"Baiklah, My Princess," ucap Rian dengan nada teatrikal, mulai melangkah mantap. "Karena perut sudah kenyang, mari kita pergi ke tempat selanjutnya."
Dengan itu, keduanya meninggalkan restoran mewah yang telah disewa khusus oleh Rian malam ini, malam yang ia dedikasikan hanya untuk satu orang: Ashley Graham.
***
Perjalanan mereka menuju tempat selanjutnya tidak sepanjang rute dari Gedung Putih ke restoran mewah bintang lima.
Cukup melewati dua blok kota, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah lokasi yang tidak kalah menarik, tepat di dekat kantor polisi, berdiri sebuah toko senjata yang juga memiliki area latihan menembak di dalamnya.
Toko senjata ini, seperti restoran sebelumnya, telah Rian sewa khusus untuk malam ini, untuk mereka berdua saja.
Sebenarnya, jika ia mau, Rian bisa saja langsung membawa Ashley ke mansion raksasa miliknya, atau bahkan ke fasilitas rahasia bernama Lab Eden, tempat yang jauh lebih megah dan menakjubkan dari restoran atau toko senjata manapun.
Tapi Rian memilih tidak melakukannya. Setidaknya, tidak untuk malam ini.
Karena malam ini adalah tentang janji. Tentang kencan yang ia janjikan kepada Ashley.
Dan Rian ingin menjalani semuanya selangkah demi selangkah, menikmati momen sepenuhnya. Toh, Rian tidak hanya tinggal sehari di dunia ini. Masih ada waktu esok, dan hari-hari setelahnya.
Alasan Rian membawa Ashley ke toko senjata sederhana: untuk mengajarkannya cara menggunakan senjata, sebagai bentuk persiapan.
Siapa tahu, kejadian mengerikan seperti yang terjadi di Resident Evil 4 bisa saja terulang, dan kali ini, Rian ingin Ashley bisa membela diri sendiri.
Lagian, Leon pasti sudah pernah menyarankannya, terlihat jelas sebelumnya ketika Rian mengajak Ashley ke Toko Senjata.
Di area tembak yang tenang dan hanya diisi suara mekanis dari target otomatis, Rian berdiri di belakang Ashley, tangan besarnya membimbing kedua tangan kecil gadis itu, membantu membidik dan menembakkan pistol ke arah sasaran.
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?