Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Malam itu, perjalanan pulang mereka terhenti. Bukan karena hujan atau kelelahan. Tapi karena sosok pria yang muncul di jalan berbatu yang mereka lalui, berdiri diam di bawah pohon besar, tubuhnya dibalut kain abu-abu, dan wajahnya tak terlihat jelas.
"Itu dia," bisik Radit. "Orang yang tadi siang... dia yang bilang kita sudah masuk ke lingkaran."
Mobil berhenti. Kirana turun pertama.
"Siapa kau sebenarnya? Apa maksud ucapanmu soal 'lingkaran'?" tanyanya lantang.
Pria itu tidak menjawab. Ia melangkah mundur, masuk ke dalam rimbunnya hutan di samping jalan. Seakan mengundang mereka.
Tanpa berpikir panjang, Kirana dan kelima sahabatnya mengikuti langkahnya. Mereka menyusuri jalan kecil hingga sampai di sebuah area batu-batu besar yang tersusun membentuk lingkaran kuno. Di tengahnya, ada tonggak kayu penuh ukiran aneh, dan genta kecil berkarat tergantung di sana.
"Selamat datang di Lingkaran Pengikat," ucap pria itu akhirnya. Suaranya berat dan tenang. "Tempat ini bukan hanya penghubung dunia, tapi juga penutupnya. Setiap sekolah yang kalian selamatkan, sejatinya adalah penjaga pintu. Tapi kalian... sudah membuka tiga. Dan itu cukup untuk membuat pintu utama mulai retak."
Kirana melangkah maju. "Kami hanya ingin menolong arwah yang terjebak."
"Dan kalian telah melakukannya. Tapi kalian juga... membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Kezia menatap pria itu curiga. "Kalau memang berbahaya, kenapa baru sekarang kau muncul?"
"Karena hanya yang sudah membebaskan tiga pintu yang bisa melihatku. Kalian terikat sekarang. Dan satu-satunya jalan keluar... adalah ke dalam."
"Ke dalam apa?" tanya Nila.
"Ke dalam lingkaran ini. Dan menutupnya dari pusatnya."
---
Tiba-tiba, tanah bergetar. Batu-batu di lingkaran itu menyala samar. Di tengahnya, muncul bayangan-bayangan tubuh manusia... bukan arwah. Tapi seperti penjaga—makhluk setengah bayangan, bertaring, mata kosong.
Radit mundur. "Mereka bukan arwah biasa."
"Mereka adalah penjaga waktu. Mereka ada untuk memastikan kalian tidak melangkah lebih dalam... kecuali siap."
Pria itu menatap Kirana.
"Dan kau, gadis indigo, adalah pusat dari semua ini. Kau adalah pintu utama."
Semua mata menoleh pada Kirana.
"Aku?"
"Karena kau... cucu dari pelindung terakhir lingkaran ini. Darahmu mengandung kunci."
---
Kirana terduduk. Ia teringat akan mimpi-mimpi masa kecilnya. Tentang tangga menuju lorong gelap. Tentang suara genta. Dan tentang sosok wanita tua berbisik,
"Jangan pernah ke pusatnya."
Tapi kini, ia tahu... pusat itu harus ditutup. Dan hanya dia yang bisa.
Diriya memegang bahunya. "Kalau kau masuk, kita semua ikut. Kita mulai ini bersama, dan akan selesai bersama."
---
Pria penjaga bayangan melangkah mundur. Genta di tengah batu mulai berbunyi sendiri— ting... ting... ting...
Batu-batu bergetar.
Di bawah kaki mereka, tanah terbelah perlahan, memperlihatkan tangga menurun menuju gua cahaya merah redup.
Kirana berdiri. "Kita selesaikan ini. Kita tutup pintu utama."
Dan satu per satu, mereka turun ke bawah. Tak tahu apa yang menunggu, tapi yakin bahwa mereka tidak sendiri.
Mereka kini telah mengetahui bahwa setiap misi sebelumnya adalah bagian dari lingkaran besar, dan Kirana ternyata merupakan kunci dari gerbang utama yang mulai terbuka.
...----------------...
Tangga batu yang mereka lalui menurun tajam dan berputar seperti spiral. Semakin dalam mereka melangkah, udara menjadi lembap dan bau tanah basah semakin menyengat. Cahaya merah samar yang tadi terlihat dari atas kini mengelilingi lorong batu.
"Tempat ini... bukan hanya gua," gumam Radit. "Ini seperti... lorong waktu."
Kirana memimpin di depan. Sesekali ia menempelkan tangan ke dinding batu yang terasa hangat, seolah ada aliran energi di dalamnya.
Di ujung lorong, mereka tiba di sebuah ruangan batu berbentuk lingkaran. Di tengahnya terdapat jam matahari raksasa yang tertancap ke tanah. Jarumnya tidak bergerak, namun bayangannya terus bergeser, meski tidak ada cahaya.
"Ini pusat waktu itu?" tanya Nila pelan.
"Bisa jadi," jawab Kezia. "Bayangannya terus bergerak tanpa cahaya... waktu di sini tidak normal."
Kirana melangkah mendekat. Tiba-tiba, bayangan dari jarum jam matahari itu menyambar seperti kilat dan menabraknya.
Semua berteriak.
Namun Kirana tidak terluka. Sebaliknya, tubuhnya... mulai berubah.
Cahaya putih menyelimuti dirinya. Di matanya muncul simbol seperti matahari dan bulan saling bersilangan. Suara lembut memenuhi ruangan.
"Penerus telah tiba. Pengikat dan pembuka telah bersatu. Waktu akan memilih... apakah tertutup atau terbuka."
Radit maju dengan panik. "Apa maksudnya?!"
Bayangan di dinding mulai bergerak. Menampilkan potongan-potongan masa lalu. Sosok Kirana kecil bermain di pelataran rumah kayu, diapit oleh seorang wanita tua dan pria berjubah hitam.
Diriya menatap tajam. "Itu... nenekmu?"
Kirana mengangguk lemah. "Nenekku... dulu penjaga lingkaran. Tapi aku tidak pernah tahu dia menyegelku dengan kunci... darah."
---
Tiba-tiba, seluruh ruangan terguncang. Batu-batu runtuh dari atas. Dari lorong belakang, muncul makhluk bayangan seperti yang mereka temui di atas—tapi kini lebih besar, dengan taring panjang dan mata merah membara.
"Mereka penjaga batas terakhir!" teriak pria abu-abu yang tiba-tiba muncul di pintu lorong. "Kalau kalian ingin menutup gerbang ini, kalian harus bertahan sampai bayangan matahari di jam ini berhenti!"
---
Pertempuran pun dimulai.
Jalu dan Radit melindungi Kirana yang duduk bersila di depan jam matahari, membaca mantra dari kitab peninggalan neneknya yang entah sejak kapan muncul di tangannya.
Kezia dan Nila menahan dua makhluk dengan senjata sederhana dari besi dan garam. Diriya memanggil api dari batu jimat kecil yang disimpan dari sekolah sebelumnya.
"Tahan sampai bayangannya berhenti!" teriak Radit.
Satu per satu makhluk bayangan lenyap diserang cahaya yang keluar dari tubuh Kirana. Dan perlahan, bayangan jarum jam itu mulai melambat... semakin lambat... hingga akhirnya—
BERHENTI.
Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Semua makhluk menghilang. Jam matahari retak dan berubah menjadi debu. Lorong tempat mereka masuk mulai bergetar.
"Cepat! Kita harus keluar!" seru Kezia.
Mereka semua berlari menaiki tangga batu, meninggalkan pusat waktu yang kini runtuh perlahan. Begitu tiba di permukaan, suara genta di tengah Lingkaran Pengikat berbunyi satu kali—
TING.
Lalu hening.
---
Pria berjubah abu-abu menatap mereka dengan pandangan berbeda.
"Kalian telah memilih. Waktu telah ditutup. Tapi pintu-pintu kecil akan tetap ada. Itu sudah kodrat. Yang penting... pusatnya tidak lagi terbuka."
Kirana menatap ke arah langit. "Apakah... ini akhir dari perjalanan kami?"
Pria itu tersenyum. "Ini akhir dari satu lingkaran... dan awal dari pelindung baru. Dunia akan terus menyimpan misteri, dan kalian akan selalu dibutuhkan."
Bersambung