Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Ratu Tanpa Tahta
Claudia menyesap wine merahnya dengan gerakan lambat. Matanya tak lepas dari layar iPad, dari satu foto buram yang entah mengapa terasa seperti gempa kecil yang sedang menjalar dari ujung kaki ke ubun-ubunnya. Foto itu menunjukkan Paijo—atau lebih tepatnya, anak itu—duduk dengan seorang pria tua yang Claudia kenal betul bukan berasal dari lingkaran dunia hiburan, apalagi dunia malam. Bukan klien. Bukan wartawan. Bukan artis. Dan itu... masalah besar.
"Jatmiko," bisiknya. “Kau benar-benar kembali?”
Claudia bangkit dari kursinya, langkahnya pelan tapi penuh tekanan, seperti seekor kucing yang tahu kapan harus mencakar. Ia mengambil ponselnya, membuka kontak yang jarang ia sentuh, dan mengetik:
“Awasi semua pergerakan Joe Gregorius. Jangan terlalu dekat. Jangan terlalu jauh. Dan jangan biarkan dia bertemu siapa pun dari masa lalunya sebelum aku tahu siapa yang dia temui.”
Setelah itu, Claudia berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri. Perempuan yang sempurna, dengan segala yang bisa dibeli dan dikendalikan—uang, kuasa, bahkan rahasia.
"Kalau kamu tahu siapa kamu sebenarnya, Paijo," katanya pada bayangan di cermin, "maka aku harus pastikan kamu lupa siapa kamu sebelum kamu sempat membuka mulut."
Matanya menyipit.
“Aku sudah kehilangan Andy. Aku nggak akan kehilangan kamu juga.”
Claudia tahu benar betapa rapuhnya fondasi kekuasaannya. Dunia tempatnya berdiri dibangun dari rahasia dan tipu muslihat. Dan Paijo—yang selama ini dianggapnya cuma boneka tampan berotak udang—ternyata punya lapisan yang lebih dalam dari yang ia kira.
Ia membuka laci meja riasnya, mengeluarkan satu berkas tipis yang selama ini ia simpan hanya untuk berjaga-jaga. Berkas itu bertuliskan nama: Paijo Madindun. Isinya? Dokumen palsu. Identitas, kontrak, penghasilan, bahkan satu surat waris palsu yang sudah lama ia siapkan—jika sewaktu-waktu ia perlu mengaburkan asal-usul Paijo lebih jauh.
Claudia duduk kembali. Ia membuka laptop. Jari-jarinya menari cepat, menghubungi koneksi lamanya di imigrasi, lembaga hukum, bahkan satu dua orang di stasiun TV.
“Aku yang menciptakan Joe Gregorius. Dan kalau perlu... aku juga bisa menguburnya.”
Namun jauh di lubuk hati, Claudia tahu—game ini sudah memasuki babak baru. Ini bukan lagi sekadar mempertahankan citra. Ini tentang mempertahankan kekuasaan atas satu kebenaran.
Ia menyalakan satu video lama—rekaman Paijo saat casting pertama kali. Di layar, anak desa itu tampak kikuk, salah ucap dialog, dan tertawa karena gugup.
Claudia tersenyum. Bukan senyum lembut. Tapi senyum pemilik kandang yang menatap anak macan kecil yang mulai menggigit.
“Lucu ya, Paijo. Kamu pikir kamu bisa keluar dari dunia ini dengan kebenaran? Dunia kita nggak peduli siapa kamu sebenarnya. Yang mereka peduli cuma siapa yang berani membayar lebih. Dan selama aku masih di sini, akulah yang bayar paling mahal.”
Ia menekan tombol pause pada video.
Wajah Paijo berhenti di layar, tepat saat ia tertawa. Satu tawa yang tak lagi Claudia lihat sejak Suzy menghilang.
Dan itulah kelemahannya.
Suzy.
Claudia menatap layar dengan wajah keras. Ia tahu, selama Suzy masih jadi bayangan yang gentayangan di kepala Paijo, kekuasaannya tak pernah benar-benar penuh. Tapi menghancurkan kenangan tentang Suzy? Itu bukan hal yang mudah. Apalagi jika identitas Suzy sebenarnya—yang bahkan Paijo belum tahu—terkuak.
Claudia meremas gelas wine-nya perlahan.
"Aku sudah kehilangan satu anak. Aku tidak akan kehilangan satu lagi..."
Gelas itu retak. Pelan. Tapi cukup jelas terdengar di ruangan yang sunyi.
Ia berdiri. Lalu membuka jendela besar ruang kerjanya. Angin malam menyusup masuk. Angin yang sama yang membawa kabar bahwa kekuasaan bisa goyah, bahkan untuk ratu seperti Claudia.
Tapi Claudia bukan ratu biasa.
Ia adalah ratu yang akan membakar seluruh papan catur... sebelum membiarkan bidak-bidaknya bermain tanpa izin.
Claudia mengenakan gaun hitam malam itu. Bukan untuk pesta. Tapi untuk perang.
Ia duduk di depan meja rias, mengoleskan lipstik dengan ketenangan yang hampir menyeramkan. Wajahnya memantul di cermin seperti patung dewi tragedi Yunani—anggun, tenang, dan berbahaya.
Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Asisten pribadinya masuk, membawa satu map cokelat dan secangkir teh melati yang biasa menjadi ritual malam Claudia.
“Ini laporan terakhir tentang Pak Jatmiko. Dia menghilang dari apartemennya kemarin pagi. CCTV hotel pun mati di jam yang sama.”
Claudia mengangguk, lalu membuka map itu perlahan. Wajahnya tidak berubah, tapi matanya menyiratkan satu hal: ancaman.
"Kalau Jatmiko benar-benar sudah bicara pada Paijo... kita harus bertindak cepat."
Ia berdiri. “Siapkan panggung!”
Sementara itu, Paijo duduk di balkon apartemennya. Rokok tinggal setengah. Pandangannya kosong mengarah ke lampu-lampu kota Jakarta yang gemerlap—semacam ironi untuk batinnya yang makin suram.
Sejak bertemu Pak Jatmiko, tidurnya kacau. Makan pun hambar. Dunia yang dulu ia jalani tanpa berpikir kini terasa penuh tanda tanya.
Siapa aku sebenarnya?
Ibu kandungku... sudah meninggal?
Kenapa aku disembunyikan?
Dan... kenapa Claudia tidak pernah menceritakan apa pun?
Pertanyaan itu menggantung, hingga ponselnya berbunyi.
CL: Claudia
Paijo terdiam. Napasnya menahan. Tapi entah kenapa, jarinya menekan tombol hijau.
"Halo?"
“Paijo... kita perlu bicara,” suara Claudia terdengar lembut, nyaris mengayun seperti nyanyian ibu-ibu meninabobokan anaknya.
“Sekarang bukan waktunya, Claudia. Saya butuh waktu sendiri.”
“Tapi ini tentang Suzy.”
Dalam waktu dua jam, Paijo sudah tiba di mansion Claudia. Rumah itu tampak lebih megah dari biasanya, tapi terasa lebih dingin. Seperti istana kaca yang siap pecah kapan saja.
Claudia menyambutnya dengan pelukan hangat. Terlalu hangat.
“Maaf, aku terpaksa memanggilmu. Aku hanya nggak mau kamu terus menerus tersesat.”
Paijo menatap wanita itu penuh curiga. Tapi Claudia tersenyum seolah-olah tak ada yang salah di dunia ini.
“Aku tahu kamu bertemu seseorang. Aku tahu kamu lagi cari tahu tentang dirimu, Jo. Tapi... kamu yakin orang itu tidak memanipulasi kamu?”
“Dia bukan orang asing, Claudia.”
Claudia meletakkan tangannya di dada Paijo, lembut.
“Jo... kamu tahu, banyak orang di dunia ini suka main api. Mereka melihatmu bersinar, mereka iri. Mereka akan kasih kamu cerita-cerita manis yang dibuat-buat. Aku cuma takut kamu jatuh ke lubang yang lebih dalam.”
Paijo menahan diri. Ingin sekali ia bertanya langsung:
Kau menyembunyikan siapa aku, Claudia?
Tapi Claudia lebih dulu memeluknya. Lama. Lalu berbisik,
“Kau tahu kenapa aku tetap mempertahankanmu di dunia ini, Jo? Karena aku takut... kamu pergi, kamu akan dihancurkan oleh kenyataan yang tidak kamu siap terima.”
Paijo tak menjawab.
Claudia mundur, lalu mengambil satu map dari meja kaca.
“Ini. File tentang masa lalumu.”
Mata Paijo melebar. Tangannya ragu menerima.
Namun ketika ia membuka, isinya... hanya salinan-salinan dokumen palsu. Kartu identitas dengan nama samaran. Surat adopsi tak resmi dari Mbok Sarni. Semua terlihat meyakinkan, tapi hatinya tahu: ini palsu. Semua ini adalah panggung.
Claudia duduk di sampingnya, menatapnya dalam-dalam.
“Kalau kamu butuh kebenaran, ini. Tapi kalau kamu butuh kedamaian... lupakan semua ini, Jo. Kamu punya karier sekarang. Nama besar. Aku bisa buat kamu menjadi bintang paling mahal se-Asia Tenggara.”
Paijo terdiam. Di pikirannya, bayangan Suzy melintas, lalu suara Pak Jatmiko terngiang kembali.
Kamu bukan anak sembarangan, Jo. Ibumu menyembunyikanmu agar kamu tetap hidup.
Sementara Claudia masih bicara, tapi tak semua masuk ke telinganya. Sampai Claudia mendekat dan berbisik dengan manis:
“Atau... kamu lebih suka cari Suzy, yang bahkan nggak pernah menghubungimu lagi? Kamu pikir dia benar-benar cinta?”
Malam itu, Paijo kembali ke apartemennya. Sendirian. Matanya kosong.
Map itu masih ia bawa, tapi tak lagi ia buka.
Claudia berhasil—untuk sementara. Ia telah menanam keraguan dalam dada Paijo. Menyisipkan racun halus berupa pertanyaan:
Apa memang ada kebenaran, atau semua ini hanya luka lama yang tak penting?
Namun di meja ruang tamunya, Paijo masih menyimpan kartu nama Pak Jatmiko.
Ia menatapnya dalam-dalam.
Dan untuk pertama kalinya, ia sadar—kebenaran kadang memang menyakitkan, tapi kebohongan dari Claudia jauh lebih menyesakkan.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
next lah bang. jgn bikin kita kita penasaran terus😑😆
Tak apa jika kebenarannya tidak terungkap skrg. Cukup kenali dirimu sndiri dan berdamai dgn diri sndiri dlu ya dan obati luka yg sepertinya masih tersayat dlm batinmu, nnti kebenarannya akan mnemukan jalannya sndiri
Mangat Jo kmu bener² berberda skrg, beda pas awal yg klo celetuk lucu😭🤌
brarti stengah lgi cintanya kemana Jo😭🏃♀️🏃♀️