Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
📝 Diary Mentari – Bab 29
“Keberanian tak selalu tentang berteriak di tengah keramaian. Kadang ia adalah langkah sunyi, meninggalkan kenyamanan demi jadi versi terbaik dari diri sendiri.”
...****************...
Tinggal tiga hari lagi. Tak terasa, sudah hampir satu bulan aku berada di Ubud. Satu bulan sejak aku pertama kali meninggalkan Kampung Karet dengan membawa mimpi dan sepotong tekad yang kutanam dalam-dalam di dada.
Satu bulan juga sejak aku menahan tangis di kamar belakang ‘istana’ Pak Kartika, menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Lebih ringan, lebih bersinar, karena aku tahu… sebentar lagi aku akan menerima gaji pertamaku.
Sejak hari-hari pertamaku yang canggung dan penuh rasa minder karena hanya memiliki satu setelan baju, banyak hal berubah. Aku kini telah mengenakan seragam resmi toko—dengan atasan biru lembut dan rok hitam selutut, dan papan nama mungil bertuliskan: Mentari. Seragam itu bukan sekadar pakaian, tapi lambang bahwa aku sudah mulai diterima di dunia baru ini.
Teman-teman pun mulai akrab. Aku, Yuli, Mba Eka, dan Tina sering makan siang bersama, berbagi cerita tentang pelanggan aneh, bule yang suka menawar, hingga kisah asmara mereka. Bahkan Mba Ketut, yang dulu hanya diam dan memerintah, kini kadang ikut tertawa dan meminjamkan minyak kayu putih ketika aku mengeluh pusing.
Tina adalah yang paling dekat denganku saat ini. Dia bukan orang asli Ubud, jadi sejak awal sudah kos di dekat toko. Suatu sore, setelah kami menyusun rak souvenir, dia menghampiriku dan berkata dengan wajah ceria:
“Tari, kamu mau nggak kos bareng aku? Kamar kosku bisa untuk berdua. Daripada kamu susah terus di rumah Pak Kartika, mending kita patungan. Cuma 250 ribu per bulan, jadi per orang 125 ribu aja.”
Aku memandangnya sambil berpikir. Sebenarnya, aku sudah lama ingin pindah dari ‘istana’. Bukan karena tidak bersyukur, tapi karena aku merasa tidak bebas. Setiap malam aku harus pulang cepat, pintu gerbang sudah dikunci. Pernah suatu malam, aku menunggu hampir satu jam di luar, membeku dalam udara dingin Ubud, takut membangunkan Nenek atau Ipar Pak Kartika.
Aku tidak ingin terus merasa seperti beban. Dan kos bersama Tina terdengar seperti solusi yang sempurna.
“Aku pengin mandiri, Pak Yan. Nggak mau merepotin siapa-siapa lagi,” kataku suatu hari saat meminta izin pada Pak Wayan Kartika. Beliau hanya mengangguk dan berkata:
“Kalau kamu sudah siap, silakan. Tapi ingat tanggung jawabmu ya, Tari.”
Aku berterima kasih padanya. Tapi aku tidak berani memberi tahu Bapak dan Ibu. Kalau mereka tahu aku pindah kos, pasti mereka khawatir. Atau lebih tepatnya, tidak akan mengizinkan. Jadi, aku memutuskan menyimpannya sendiri. Aku percaya ini keputusan yang benar, dan aku tidak ingin membuat mereka semakin cemas.
⸻
Kos Tina sederhana tapi nyaman. Sebuah kamar kecil dengan jendela menghadap jalan, taman kecil yang indah di depan kos, dan kipas angin yang berbunyi berdecit pelan di teras kos. Di dindingnya tergantung kaligrafi dan kalender Bali. Dapur kecil dan kamar mandi di dalam rumah, cukup bersih walau airnya dingin seperti es. Kamar kos yang cukup besar untuk menampung 2 orang.
Yang paling kusukai dari kos ini adalah kebebasan. Aku bisa bangun lebih pagi, bersiap tanpa terburu-buru. Sepuluh menit berjalan kaki menyusuri trotoar Ubud yang rindang, melewati galeri seni dan artshop warna-warni. Turis-turis asing dengan topi lebar dan kamera menggantung menyapaku ramah. Aku tersenyum, merasa seperti bagian dari dunia yang lebih besar.
Di toko, suasana juga semakin menyenangkan. Tina dan aku satu shift pagi. Yuli sering mampir walau dia shift sore, dan kami sempat makan batagor bersama di depan toko. Mba Eka pun memberi banyak tips soal menghadapi bule yang cerewet. Bahkan Mba Ketut, yang katanya galak, kadang memberiku buah tangan kecil dari rumahnya.
⸻
Suatu malam, aku duduk di lantai kos, menyusun uang kertas yang kuterima di amplop gaji. Jumlahnya 400.000, Mataku basah. Jumlah ini adalah jumlah uang terbesar yang kulihat selama 16 tahun.
“Ini uang dari kerja keras aku sendiri… Bapak, aku bisa, Tan bisa!” bisikku dalam hati.
Besok aku ingin menelepon Bapak. Mengabari bahwa aku tidak menyerah. Bahwa anakmu yang dulu pemalu ini kini sedang belajar berdiri sendiri. Bahwa meski jalannya belum mulus, aku sudah mulai melangkah.
⸻
“Langkah kecil pertama adalah keberanian terbesar. Bukan seberapa jauh kita berjalan, tapi seberapa besar tekad yang kita genggam dalam setiap pijakan.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.