Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam dan Bunker
Malam turun seperti tirai tebal yang menelan suara.
Villa Pak Bram sudah terkunci rapat. Tak ada cahaya yang lolos keluar, hanya bunker di bawah tanah yang masih menyala terang yang mengisi ruangan luas dengan deretan senjata terpajang rapi di dinding. Mereka berempat duduk santai tapi waspada, masing-masing mencoba mengusir rasa gelisah.
Zean mengelus jidat, “Aku sih cuma pengen tidur. Ini tempatnya aman banget, kan?”
Dini tersenyum tipis, “Ya, aman... setidaknya lebih aman daripada di luar sana yang penuh mayat berjalan.”
Ayu membuka kotak P3K, “Kalau ada yang sakit, jangan harap aku bakalan jadi dokter. Aku cuma bisa kasih plester.”
Lira terkekeh, “Kalau gitu mending kamu jadi badut, biar kita nggak stres.”
Rio, duduk di pojok sambil menggambar, ikut tersenyum kecil tapi tetap menunduk.
Pak Bram duduk di depan layar pemantau. Matanya menyapu setiap sudut villa lewat kamera, tak ada pergerakan. Hanya bayangan pohon dan angin yang terus menjilat kaca.
Suara ventilasi bergema lembut.
Lalu tiba-tiba…
Beep. Beep. Beep.
Satu indikator menyala di panel radio. Pak Bram langsung menegakkan badan dan menekan tombol.
Suara statis.
Lalu, pecahan suara, lirih dan terengah.
“…halo… ada yang dengar? Gudang Lama… zona barat… mereka datang… kami terjebak… tolong… kalau ada yang hidup… jangan datang malam ini… mereka...”
KREEET.
Suaranya putus. Hilang seketika, seperti dijatuhkan dari tebing sunyi.
Mereka saling pandang. Tidak ada yang langsung bereaksi dramatis.
“Baru juga kita mau mulai ngelawak, langsung disuruh serius.
Dini berdiri perlahan. “ Itu gudang Lama dekat kompleks militer tua?”
Pak Bram mengangguk pelan. “Tiga kilometer dari sini.
Pak Bram mengangkat bahu, “Kalau mereka minta kita nggak keluar, ya sudah. Kita di sini saja. Ngapain juga mempertaruhkan nyawa buat hal yang nggak kita ngerti.”
Zean menghela napas, “Ya, aku sih setuju. Kita bukan pahlawan."
Dini tersenyum kecil, “Sama."
Rio membuka bukunya dan menunjuk gambar sosok gelap, “Mereka... ada di luar.”
Zean menatap gambar itu, “Yah, setidaknya kamu bisa gambarin mereka. Aku cuma bisa ngelamun.”
Mereka tertawa pelan, tipis, menekan rasa takut.
Malam semakin larut. Suhu di dalam bunker mulai turun meski tembok-tebal menyekat angin malam. Lampu Lampu bercahaya terang kini sudah berganti warna menjadi Kekuningan redup. Di satu sudut, Lira duduk bersandar di karpet tipis sambil memainkan korek api yang ditemukan di laci. Cahaya kecil itu menari-nari di wajahnya.
“Aku nggak nyangka ya,” gumam Lira pelan. “Kita beneran tidur di bunker, ditemani senjata dan anak kecil yang menggambar monster.”
“Jangan bilang monster. Nanti Rio nggak tidur tidur,” kata Dini sambil melirik ke bocah kecil itu yang masih belum tidur, tengah menggambar dengan serius.
Rio menjawab tanpa menoleh, “Mereka bukan monster. Mereka orang yang udah rusak.”
Zean yang kini rebahan di sofa membuka satu mata, “Kata-katamu dalam banget, Rio. Besok-besok kalau aku mati, kamu tolong jangan gambar aku ya. Takutnya aku jadi rusak juga.”
Rio mengangguk pelan, tak bercanda.
Suasana mendadak sunyi beberapa detik.
Dini berjalan perlahan duduk di samping Zean yang terbaring. Ayu memandang diam diam,matanya terlihat sayu.
Johan sibuk dengan ponselnya yang kini bisa di isi dayanya, walaupun entah ada internet atau tidak.
“Aku jadi ingat waktu camping bareng keluarga,” kata Johan tiba-tiba. “Bapakku suka ngeluh soal nyamuk dan makanan instan. Sekarang… aku kangen nyamuk.”
Tak ada yang menanggapi. Tapi Lira tersenyum tipis, lalu meletakkan koreknya.
Pak Bram berdiri, mengambil selimut tipis dari lemari di ujung bunker dan membagikannya satu per satu. “Tidurlah. Kita ada ada misi besok."
Zean menerima selimutnya. “ Terimakasih. Tidur dalam gua besi, ditemani anak kecil bijak, gadis sinis, dan tumpukan senjata. Rasanya nyaman dan aneh."
Lira menyusul: “Kalau aku sih, rasanya kayak tidur di perut robot. Hangat tapi juga serem.”
Pak Bram tersenyum tipis. “Robot yang menyelamatkan.”
Lalu satu demi satu lampu mulai diredupkan. Bunker tenggelam dalam senyap yang tidak pernah benar-benar kosong. Di luar, angin masih membawa bisikan. Entah dari siapa. Entah untuk apa.
Dan di pojok ruangan, Rio masih menggambar. Kali ini bukan makhluk, bukan wajah rusak, tapi... gambar itu belum selesai.